Filsafat Dan Metode Iluminasi

Metode Iluminasi
Mempercayai bahwa mengkaji filsafat tinggi (Ilahiah) atau ketuhanan, tidak cukup hanya dengan mengandalkan argumentasi (istidhal) dan daypikir (ta’aqqul), tetapi lebih dari itu, yaitu memerlukan menyucian jiwa serta usaha melawan hawa nafsu untuk menyingkap banyak sekali hakikat.

Metode iluminasi menerima santunan dari banyak pihak, terutama kalangan filsuf Islam. Penganut paham ini dinamakan dengan kelompok paham iluminasionis dengan tokohnya yang terkenal, yaitu Syekh Syihabuddin Syuhrawardi.


Filsafat Iluminatif
Secara keseluruhan, tujuan filsafat iluminasi diarahkan pada sasaran yang bersifat teoretis, di samping sisi simpel yang sanggup dicapai. Arah tersebut dimulai dengan penyucian diri dari segala kotoran, baik secara rohani maupun jasmani. Langkah ini ditempuh sebagai tahap awal penjalinan hubungan dengan cahaya murni kesepuluh yang menjadi medium dunia bahan dan imateri.

Cahaya murni kesepuluh ialah emanasi dari “wujud cahaya agung” yang akan menganugerahkan pengalaman visioner sesudah subjek berhasil menapaki syarat dan ritual-ritual yang telah ditentukan sebelumnya. Merasuknya cahaya-cahaya murni ke dalam subjek mengantarkan kita pada pengetahuan yang tidak diperoleh melalui proses berpikir. Kejadian ini berlangsung pada alam khusus, yang disebut dengan mundus imaginalis (A-Alam Al-Mitsali). Adapun tahapan selanjutnya ditempuh dengan pendemonstrasian dengan landasan logis, epistemologis, dan metafisika Aristotelian Timur (Al-Mayaiun Al-Syarqiyun) sebagai cara intensif menjabarkan dari simbol-simbol bahasa yang dimengerti, tetapi sulit diungkapkan.

Pada setiap diri (pribadi) terdapat potensi “olah dabadi” (al-khamirat al-azaliyyah), yaitu kebijaksanaan abadi (sophia perennis). Potensi ini disimpan oleh Allah SWT secara naluri—tersamar—dalam diri setiap insan, yang siap diolah dan diaktualisasikan melalui latihan intelektual dan penyucian hati. Para filsuf menyerupai Pythagoras* dan Plato* mengaktualisasikan dan mentransformasikan kepada seorang sufi kenamaan berjulukan Dzunnun Al-Misr dan Sahl At-Tausi.

Adapun orang-orang bijak Persia mengaktualisasikan dan mentransformasikan kepada Aba Yazid dan Mansur Al-Hallaj. Dua fatwa tersebut menyatu pada Suhrawardi*. Dengan kecermatan serta usaha untuk menyucikan hati, Suhrawardi mengombinasikan pengetahuan hati (inner knowledge) dari pada guru di atas, dengan intelektual dari guru, menyerupai Al-Farabi* dan Ibnu Sina*. Menurut Suhrawardi*, pencarian pengetahuan melalui Tuhan dan Kitab-Nya. Seorang filsuf dalam Islam tidak hanya diperlukan menjadi intelektual yang berwawasan luas, tetapi juga mempunyai kesucian hati.

Prinsip dasar pengetahuan iluminasionis ialah pengalaman visioner, yang dirasakan subjek pada tingkatan ketiga sesudah cahaya Ilahi merasuk ke dalam jiwanya. Pada ketika itu, ia mendapatkan pengetahuan melalui kehadiran yang tak terbatas. Hal itu diungkapkan dalam perkataan, “mengetahui sesuatu, berarti memperoleh pengalaman tentangnya”. Untuk memperoleh pengalaman visioner tersebut, seorang yang hendak menjadi filsuf harus melewati beberapa tahapan yang telah ditentukan. Dalam bukunya Al-Masyari wa Al-Mutharahat, Suhrawardi* menetapkan tiga tahapan masalah pengetahuan, dan diikuti oleh tahapan keempat yang memaparkan pendokumentasian pengalaman suprarasional.

Tahap awal ditandai dengan kegiatan persiapan para filsuf dalam menapaki dimensi-dimensi iluminasi. Dengan demikian, langkah yang harus ditempuh ialah meninggalkan kehidupan dunia, melaksanakan uzlah selama empat puluh hari, puasa (tidak makan yang bernyawa) dan acara lainnya yang tergolong praktik asketik dan mistik. Dengan tujuan sebagai persiapan diri subjek untuk mendapatkan wangsit dan wahyu, penyaksian (musyahadah) dan penyingkapan (mukasyafah) realitas cahaya murni serta mengenal kebenaran intuisinya.

Tahap kedua disebut tahap pencerahan, yang mengisyaratkan merasuknya cahaya Ilahi ke dalam wujud insan (subjek). Dalam proses ini, cahaya Ilahi mengambil tugas penting sebagai fondasi dasar pembangunan ilmu-ilmu sejati yang akan ditemukan melalui perantaraan kehadiran.

Tahap ketiga ialah tahapan konstruksi (perolehan) suatu ilmu yang benar dan pencapaian pengetahuan yang tidak terbatas. Dalam tahap ini, subjek dikatakan sebagai filsuf iluminasi yang mencapai tingkatan “melihat” cahaya Ilahi, serta mengajarkannya secara eksklusif tanpa mediator wangsit dan wahyu. Tahapan ini disempurnakan dengan pendemonstrasian Aristotelian dengan menggerakkan data-data indirawi (yang dilihat) pada budi sebagai sentra pengetahuan ilmiah diskursif.

Adapun tahapan terakhir ialah pendokumentasian pengalaman visioner ke dalam tulisan. Tahapan ini merupakan antisipasi ketika rasa ekstase itu hilang dan menjauh dari subjek. Menurut mereka yang telah merasakan, kejadian “ekstase” yang dirasakan para sufi hanyalah sebentar dan tidak dalam masa yang usang sehingga goresan pena wacana perasaan itu lebih terwakili oleh syair dan puisi-puisi alasannya ialah daya khayal dan pengungkapannya lebih menjiwai.

Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung


Download

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel