Ibnu Rusyd. Wacana Kebangkitan Jasmani
Untuk menangkis serangan Al-Ghazali*, Ibnu Rusyd menyebutkan bahwa terdapat kontradiksi dalam goresan pena Al-Ghazali mengenai kehidupan insan pada hari akhirat. Menurut Ibnu Rusyd, Al-Ghazali* dalam bukunya, Tahaful Al-Falasifah, menyatakan bahwa tidak ada ulama yang beropini bahwa kebangkitan pada hari alam abadi hanya bersifat rohani, tetapi dalam buku lainnya, ia menyatakan bahwa kaum sufi beropini bahwa yang akan terjadi pada hari alam abadi yakni kebangkitan jasmani. Menurut Ibnu Rusyd, tidak ada ijma (kesepakatan) ulama wacana kebangkitan jasmani pada hari akhirat, dan alasannya itu, paham yang menyatakan kebangkitan di alam abadi hanya bersifat rohani, tidak sanggup dikafirkan dengan alasan adanya ijma.
Untuk memulai bahasan ini, berikut sanggahan Al-Ghazali* wacana kebangkitan rohani ketika insan dibangkitkan. Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan itu yakni jasmani. Ia berkata: “... yakni bertentangan dengan seluruh keyakinan Muslim, keyakinan mereka yang menyatakan bahwa tubuh jasmani insan tidak akan dibangkitkan pada Hari Kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari tubuh yang akan diberi pahala dan hukuman. Pahala dan eksekusi itu pun bersifat spiritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar dalam menguatkan adanya pahala dan eksekusi yang bersifat spiritual alasannya hal itu ada secara pasti; tetapi secara salah mereka menolak adanya pahala dan eksekusi yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh aturan yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu”.
Menanggapi tudingan itu, Ibnu Rusyd mencoba menggambarkan kebangkitan rohani dengan analog tidur. Sebagaimana tidur, jiwa tetap hidup, begitu pula ketika insan mati, tubuh hancur, jiwa tetap hidup dan jiwalah yang akan dibangkitkan. Kutipan lengkapnya yakni sebagai berikut: “... perbandingan antara final hidup dan tidur dalam problem ini yakni bukti yang terang bahwa jiwa itu hidup terus, alasannya kegiatan dari jiwa berhenti bekerja pada ketika tidur dengan cara menghentikan kegiatan organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa tidaklah terhenti, maka keadaannya pada ketika final hidup sama dengan keadaannya pada ketika tidur... dan bukti inilah yang sanggup dipahami oleh seluruh orang dan diyakini oleh orang banyak atau orang awam, dan menunjukkan jalan bagi orang-orang yang cerdik bahwa keberlangsungan hidup jiwa itu yakni satu hal yang pasti. Hal ini pun terang gamblang dari firman Tuhan, ‘Tuhan mengambil jiwa-jiwa pada ketika kematiannya untuk kembali kepada-Nya; dan jiwa-jiwa orang yang belum mati pada ketika tidur mereka’”.
Pertentangan keduanya menjadi lembaran hiasan yang panjang dalam sejarah filsafat Islam. Akan tetapi, apabila diteliti lebih dalam, intinya Ibnu Rusyd masih “ragu” wacana keabadian jiwa. Secara lengkap, sebagai berikut. “... Akan halnya keberatan Al-Ghazali*, bahwa insan mengetahui jiwanya bahwa beliau itu ada dalam tubuh jasmaninya, meskipun beliau tidak sanggup memerinci di bab mana—tentu saja benar, alasannya orang-orang terdahulu pun mempunyai perbedaan pendapat wacana daerah atau letak kedudukannya, tetapi pengetahuan kita bahwa jiwa yakni ada di dalam tubuh jasmani tidak berarti bahwa kita tahu bahwa beliau memperoleh keberadaannya alasannya kebersamaannya dengan tubuh jasmani. Keadaan ini bukan berarti terperinci dengan sendirinya, dan perbedaan pendapat para filsuf kuno dan yang modern alasannya jikalau tubuh jasmani sebagai sebagai alat bagi keberadaan jiwa, jiwa tidak memperoleh keberadaannya melalui tubuh jasmani; tetapi jikalau tubuh serupa dengan lapisan bawah atau landasan bagi kejadian-kejadian yang dilakukannya, jiwa hanya sanggup ada melalui perantaraan jasmani”.
Hasil penelitian Olver Leaman menunjukkan bahwa alasan yang dikemukakan keduanya, intinya mempunyai kelemahan masing-masing. Hal itu terbukti, pada akhirnya, Al-Ghazali* mengakui adanya kebangkitan rohani. Demikian pula, Ibnu Rusyd mengakui adanya kebangkitan jasmani.
Hal itu diperkuat pula oleh goresan pena Abdul Azis Dahlan, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa mengakui adanya hidup kedua pada hari alam abadi kendati ada perbedaan pendapat mengenai bentuknya. Yang terperinci yakni kehidupan insan di alam abadi itu berbeda dengan kehidupannya di dunia, sesuai dengan arahan hadis Nabi SAW., “Di akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata, tak pernah didengar telinga, dan tak pernah terlintas pada pikiran”. Kehidupan insan di alam abadi yakni berbeda dan lebih tinggi dari kehidupan di dunia. Ibnu Rusyd beropini bahwa kehidupan insan di alam abadi lebih baik digambarkan dalam bentuk jasmani daripada digambarkan dalam bentuk rohani. Mengenai kebangkitan pada hari akhirat, ia beropini bahwa yang ada di alam abadi yakni tubuh yang serupa dengan yang ada di dunia dan bukan tubuh yang semula di dunia alasannya yang sudah hancur tidak akan tiba kembali.
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Download
Baca Juga
1. Ibnu Rusyd. Riwayat Hidup
2. Ibnu Rusyd. Karya Filsafat
3. Ibnu Rusyd. Pemikiran Filsafat
4. Ibnu Rusyd. Tentang Qadim-nya Alam
5. Ibnu Rusyd. Tentang Pengetahuan Tuhan
Untuk memulai bahasan ini, berikut sanggahan Al-Ghazali* wacana kebangkitan rohani ketika insan dibangkitkan. Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan itu yakni jasmani. Ia berkata: “... yakni bertentangan dengan seluruh keyakinan Muslim, keyakinan mereka yang menyatakan bahwa tubuh jasmani insan tidak akan dibangkitkan pada Hari Kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari tubuh yang akan diberi pahala dan hukuman. Pahala dan eksekusi itu pun bersifat spiritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar dalam menguatkan adanya pahala dan eksekusi yang bersifat spiritual alasannya hal itu ada secara pasti; tetapi secara salah mereka menolak adanya pahala dan eksekusi yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh aturan yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu”.
Menanggapi tudingan itu, Ibnu Rusyd mencoba menggambarkan kebangkitan rohani dengan analog tidur. Sebagaimana tidur, jiwa tetap hidup, begitu pula ketika insan mati, tubuh hancur, jiwa tetap hidup dan jiwalah yang akan dibangkitkan. Kutipan lengkapnya yakni sebagai berikut: “... perbandingan antara final hidup dan tidur dalam problem ini yakni bukti yang terang bahwa jiwa itu hidup terus, alasannya kegiatan dari jiwa berhenti bekerja pada ketika tidur dengan cara menghentikan kegiatan organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa tidaklah terhenti, maka keadaannya pada ketika final hidup sama dengan keadaannya pada ketika tidur... dan bukti inilah yang sanggup dipahami oleh seluruh orang dan diyakini oleh orang banyak atau orang awam, dan menunjukkan jalan bagi orang-orang yang cerdik bahwa keberlangsungan hidup jiwa itu yakni satu hal yang pasti. Hal ini pun terang gamblang dari firman Tuhan, ‘Tuhan mengambil jiwa-jiwa pada ketika kematiannya untuk kembali kepada-Nya; dan jiwa-jiwa orang yang belum mati pada ketika tidur mereka’”.
Pertentangan keduanya menjadi lembaran hiasan yang panjang dalam sejarah filsafat Islam. Akan tetapi, apabila diteliti lebih dalam, intinya Ibnu Rusyd masih “ragu” wacana keabadian jiwa. Secara lengkap, sebagai berikut. “... Akan halnya keberatan Al-Ghazali*, bahwa insan mengetahui jiwanya bahwa beliau itu ada dalam tubuh jasmaninya, meskipun beliau tidak sanggup memerinci di bab mana—tentu saja benar, alasannya orang-orang terdahulu pun mempunyai perbedaan pendapat wacana daerah atau letak kedudukannya, tetapi pengetahuan kita bahwa jiwa yakni ada di dalam tubuh jasmani tidak berarti bahwa kita tahu bahwa beliau memperoleh keberadaannya alasannya kebersamaannya dengan tubuh jasmani. Keadaan ini bukan berarti terperinci dengan sendirinya, dan perbedaan pendapat para filsuf kuno dan yang modern alasannya jikalau tubuh jasmani sebagai sebagai alat bagi keberadaan jiwa, jiwa tidak memperoleh keberadaannya melalui tubuh jasmani; tetapi jikalau tubuh serupa dengan lapisan bawah atau landasan bagi kejadian-kejadian yang dilakukannya, jiwa hanya sanggup ada melalui perantaraan jasmani”.
Hasil penelitian Olver Leaman menunjukkan bahwa alasan yang dikemukakan keduanya, intinya mempunyai kelemahan masing-masing. Hal itu terbukti, pada akhirnya, Al-Ghazali* mengakui adanya kebangkitan rohani. Demikian pula, Ibnu Rusyd mengakui adanya kebangkitan jasmani.
Hal itu diperkuat pula oleh goresan pena Abdul Azis Dahlan, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa mengakui adanya hidup kedua pada hari alam abadi kendati ada perbedaan pendapat mengenai bentuknya. Yang terperinci yakni kehidupan insan di alam abadi itu berbeda dengan kehidupannya di dunia, sesuai dengan arahan hadis Nabi SAW., “Di akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata, tak pernah didengar telinga, dan tak pernah terlintas pada pikiran”. Kehidupan insan di alam abadi yakni berbeda dan lebih tinggi dari kehidupan di dunia. Ibnu Rusyd beropini bahwa kehidupan insan di alam abadi lebih baik digambarkan dalam bentuk jasmani daripada digambarkan dalam bentuk rohani. Mengenai kebangkitan pada hari akhirat, ia beropini bahwa yang ada di alam abadi yakni tubuh yang serupa dengan yang ada di dunia dan bukan tubuh yang semula di dunia alasannya yang sudah hancur tidak akan tiba kembali.
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Baca Juga
1. Ibnu Rusyd. Riwayat Hidup
2. Ibnu Rusyd. Karya Filsafat
3. Ibnu Rusyd. Pemikiran Filsafat
4. Ibnu Rusyd. Tentang Qadim-nya Alam
5. Ibnu Rusyd. Tentang Pengetahuan Tuhan