Ibnu Rusyd. Perihal Pengetahuan Tuhan
Masih untuk menangkis serangan Al-Ghazali* terhadap para filsuf Muslim, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa para filsuf Muslim tidaklah mempersoalkan apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang juz’i (perincian yang terjadi) pada alam semesta ini atau tidak mengetahuinya. Seperti halnya setiap ulama Islam, para filsuf Muslim juga berpandangan bahwa Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i pada alam ini. Yang mereka persoalkan yaitu cara Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i. Menurut Ibnu Rusyd, para filsuf Muslim beropini bahwa pengetahuan Tuhan wacana hal-hal yang bersifat juz’i itu tidak menyerupai pengetahuan insan wacana hal-hal demikian lantaran pengetahuan insan mengambil bentuk imbas (akibat dari memerhatikan hal-hal juz’i itu), sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebab, yaitu alasannya bagi munculnya hal-hal yang bersifat juz’i.
Selain itu, ketidaksamaan tersebut disebabkan pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim, yaitu semenjak azali Tuhan mengetahui hal-hal bersifat juz’i di alam semesta ini, betapa pun kecilnya hal tersebut, sedangkan insan tidak mempunyai pengetahuan sama sekali, tetapi secara berangsur-angsur memperoleh pengetahuan sehabis memerhatikan kepingan demi kepingan alam secara seksama.
Kritik Al-Ghazali* kedua yaitu wacana apakah Tuhan mengetahui hal-hal kecil atau tidak? Al-Ghazali* memandang bahwa Tuhan Mahatahu segalanya, baik besar maupun kecil. Berbeda dengan Ibnu Rusyd, Tuhan hanya tahu yang universal bukan kasus yang kecil (partikular). “Yang menjadi dilema yaitu pernyataan mereka, “Tuhan yang Mahamulia mengetahui hal-hal yang bersifat universal, tetapi tidak hal-hal yang bersifat partikular”. Pernyataan ini memperlihatkan ketidakimanan mereka. Sebaliknya, yang benar yaitu tidak ada sebutir atom pun di langit ataupun di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya”.
Ibnu Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil, tidaklah menyerupai yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat apakah pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim atau hadits terhadap insiden kecil itu. ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu gres terhadap hal kecil tersebut. “Bagi kami, cara untuk menghilangkan keragu-raguan yaitu mengetahui bahwa keadaan ilmu-qadim terhadap wujud, berbeda dengan keadaan ilmu-baru terhadap wujud. Adanya wujud tersebut menjadi alasannya dan illat bagi ilmu kita, sedangkan ilmu-qadim menjadi illat dan alasannya bagi wujud. Jika wujud tersebut terjadi sehabis tidak ada, timbullah ilmu pelengkap terhadap ilmu yang qadim, yang menjadi musabbab (akibat) dari wujud, bukan menjadi illatnya. Oleh lantaran itu, tidak sanggup terjadi perubahan, menyerupai yang terjadi pada ilmu yang baru. Kesalahan ini disebabkan pengiasan (mempersamakan) kasus yang mistik (Tuhan) atas kasus yang konkret (manusia), sedangkan pengiasan semacam itu tidak benar. Sebagaimana pada diri pembuat tidak terjadi perubahan dikala kasus yang dibuatnya itu terjadi, yaitu perubahan yang sebelumnya tidak ada, demikianlah pada ilmu-qadim tidak perlu terjadi perubahan dikala kasus yang diketahuinya keluar dari padanya. Dengan demikian, keragu-raguan telah sanggup dihilangkan, dan kita tidak perlu memegangi pendirian bahwa apabila pada ilmu yang qadim tidak terjadi perubahan, artinya Tuhan tidak mengetahui kasus tersebut dengan ilmu yang baru, tetapi dengan ilmu yang qadim, lantaran adanya perubahan pada ilmu dikala terjadi perubahan pada kasus yang wujud hanya menjadi syarat bagi ilmu yang diakibatkan (menjadi musabbab) dari kasus yang wujud, yaitu bagi ilmu yang baru. Jadi, ilmu-qadim hanya bekerjasama dengan kasus yang wujud berdasarkan keadaan yang tidak berlaku bagi relasi ilmu-hadits dengan kasus yang wujud, bukannya tidak bekerjasama sama sekali, menyerupai yang biasa dikatakan bahwa lantaran adanya keragu-raguan tersebut, para filsuf menyampaikan bahwa Tuhan tidak mengetahui peristiwa-peristiwa kecil...”
Pernyataan di atas mengisyaratkan perlunya pemetaan terhadap eksistensi Tuhan dikala dihadapkan pada realitas sehabis alam ini terbentuk. Tuhan bukan berarti tidak tahu, bukan berarti lepas tangan terhadap partikular. Semua ini bergantung pada cara melihat apakah partikular itu muncul sehabis alam itu terbentuk atau semenjak azali (dulu kalanya). Ibnu Rusyd memisahkan pengetahuan Tuhan semenjak azali dan pengetahuan Tuhan semenjak alam itu terbentuk. Misalnya, Tuhan telah memilih nasib seseorang semenjak qidam, kemudian apakah Tuhan juga memilih proses nasib seseorang dikala orang tersebut lahir? Gambaran ini tersurat dari ungkapan Ibnu Rusyd, sebagai berikut: “... Keadaannya bukan menyerupai yang mereka sangka, melainkan filsuf tersebut menyampaikan bahwa Tuhan tidak mengetahui insiden kecil dengan ilmu-baru. Syaratnya yaitu kebaharuan ilmu itu dengan kebaharuannya peristiwa-peristiwa kecil tersebut bukan menjadi tanggapan (musabab) darinya, menyerupai halnya dengan ilmu-baru. Ini yaitu penyucian yang setinggi-tingginya yang harus diakui lantaran Tuhan mengetahui segala sesuatu, lantaran keluarnya segala sesuatu tersebut lantaran kedudukan-Nya sebagai Dzat yang mengetahui, bukan dari kedudukan-Nya sebagai Dzat yang wujud saja, atau wujud dengan sifat tertentu, melainkan kedudukannya sebagai Dzat yang mengetahui”.
Menarik untuk dikutip di sini, goresan pena Oliver Leaman mencoba memahami kedua pemikir tersebut dengan pendekatan pemikiran agama. Menurutnya, pembahasan kedua pemikir tersebut didasarkan pada pembedaan pengetahuan; pengetahuan Tuhan dan manusia. “Tuduhan yang menarik ini timbul dari cara filsuf membedakan antara pengetahuan kita dan pengetahuan Tuhan. Dari sudut pandang agama, Islam mengajarkan bahwa Tuhan mengetahui setiap dan segala sesuatu yang ada di atas dunia yang sementara ini. Orang boleh menerka bahwa pengetahuan menyerupai itu penting sekali untuk tindakan penentuan keputusan wacana nasib jiwa insan sehabis mati. Bagaimanapun, suatu pikiran yang menyampaikan bahwa Tuhan membuat alam semesta kemudian melupakannya bukanlah pikiran yang menarik bagi paham ortodoks Islam. Dapat saja ada keraguan, bagaimanakah pandangan Al-Qur’an wacana hakikat kekuasaan Tuhan (Quadrat. Pen). Bahkan Tuhan mengetahui semua pikiran “Sesungguhnya Kami telah membuat insan dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih erat kepadanya daripada urat lehernya”. Dia mengetahui setepatnya individu-individu gres yang dilahirkan”.
Ringkasnya, dalam goresan pena Harun Nasution, Ibnu Rusyd berpandangan bahwa Al-Ghazali* salah paham; lantaran kaum filsuf tidak pernah menyampaikan demikian (kutipan di atas). Mereka menyampaikan bahwa pengetahuan Tuhan wacana perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan insan wacana perincian itu. Pengetahuan insan dalam hal ini mengambil bentuk efek, sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebab, yaitu alasannya bagi wujudnya perincian tersebut. Selanjutnya, pengetahuan insan bersifat gres dan pengetahuan Tuhan bersifat qadim, yaitu semenjak azali, Tuhan mengetahui hal-hal yang terjadi di alam, betapa pun kecilnya.
Ibnu Rusyd mengakhiri penjelasannya dengan tema-tema psikologis dan epistemologis filsafat peripatetik. Ini patut dicatat karena, dalam kepingan filsafat lainnya, Ibnu Rusyd memahami perbedaan tajam antara Plato* dan Aristoteles* dan tidak mencoba menyelaraskan kedua pemikiran itu menyerupai dilakukan Al-Farabi. Ia mengikuti cara Al-Farabi dalam hal memperlakukan kesesuaian antara filsafat politik dan aturan agama. Akan tetapi, sebagai seorang faqih, ia menekankan keunggulan yang terakhir. Ia mendapatkan kesimpulan penting politik Plato*, walaupun Aristoteles* mengoreksinya, bahkan mengklaim bahwa gagasan politik Plato sanggup diterapkan, tetapi bagi Plato*, syarat-syarat yang diharapkan tidak sanggup direalisasikan jikalau tidak ada penguasa yang tercerahkan. Ia mengadaptasi uraian wacana degradasi rezim-rezim politik dengan sejarah negerinya. Ia melihat peperangan tidak kenal henti sebagai syarat bagi pelaksanaan kebajikan negerinya. Bahkan, ia lebih menyukai pilihan Plato* yang sangat radikal, bukan hanya berkenaan dengan Aristoteles*, melainkan juga bagi tradisi Muslim. Ia juga mencela keras, contohnya ketidakmanfaatan perempuan yang dipaksakan pada masanya.
Pemikiran politik juga merupakan sarana untuk menyatukan analisis-analisis yang dibentuk sebelumnya dalam bidang logika dan retorika (yang pada era pertengahan dijadikan sebagai kepingan dari Organon). Dengan menyepakati cara paham Al-Muwahhidun dalam membentuk hierarki, Ibnu Rusyd yang menolak hal-hal yang tidak meyakinkan dalam filsafat, tetapi mempertahankan—bagi orang awam—sebagian besar argumen retoris untuk membimbing mereka pada kepercayaan yang baik sehingga menjadikan perbuatan baik. Karena itu, warga negara yang merasa terpanggil untuk bertanggung jawab harus berjuang melawan argumen-argumen persuasif yang pada mulanya melatih mereka, dengan membangkitkan argumen-argumen demonstratif. Ini, sekali lagi merupakan serangan atas metode-metode kalam. Misalnya, teori wacana eksekusi seharusnya ditafsirkan dengan cermat. Menurut Ibnu Rusyd, jikalau diartikan secara harfiah, teori itu bertentangan dengan keseimbangan baik dan jelek lantaran ia bermetamorfosis tindakan jikalau pahalanya tampak cukup atau ketakutan itu cukup mengganggu.
Pernyataan Platonik wacana keniscayaan pengetahuan yang tetap untuk menjaga bahasa bersama sehingga komunitas sosial, jelas-jelas menjadi basis pemikiran Rusydian. Dari yang tertuang dalam risalah wacana aturan sampai komentarnya atas Republic, pemikiran Ibnu Rusyd tidak hanya meliputi karya-karya logika, tetapi juga karya ilmiah. Seperti Plato*, Ibnu Rusyd juga membandingkan penguasa politik dengan dokter, dan yang terakhir ini (menurut Kulliyat) bertindak sesuai dengan masing-masing kasus, seraya mempertimbangkan tatanan alam, dalam rangka memperlihatkan pendekatan yang diatur oleh hukum-hukum untuk menemukan kebenaran. Semua itu berpuncak pada penegasan terhadap kesatuan kebijaksanaan yang “mengejawantahkan” stabilitas pemikiran ini dalam diri manusia.
Sekalipun demikian, sintesis ini tetap mengandung paradoks dalam dirinya sendiri lantaran bersifat publik sekaligus elitis. Paradoks dalam pengungkapannya, lantaran Ibnu Rusyd berhasil membawa filsafat keluar dari kekumuhan daerah yang selama ini dipasung. Hal ini memperlihatkan bahwa Ibnu Rusyd yaitu seorang guru yang sangat menonjol lantaran jumlah muridnya, tetapi kurang berhasil dalam menyesuaikan dengan sistem pendidikan, dan tetap terkucil sekalipun cukup terkenal (Urvoy, 1978:178-179). Bahkan, murid-muridnya tidak berbagi filsafatnya. Ahli logika, Ibn Thumlus, salah satu muridnya, tidak mengutipnya, bahkan mengaku sebagai murid Al-Farabi, atau melaksanakan penggabungan paham Al-Muwahhidun dan pemikiran Al-Ghazali*. Ibn Sab’in menyatakan bahwa Ibnu Rusyd gampang mendapatkan apa saja dari Aristoteles*. Ibnu Arabi menceritakan kepada kita kisah dikala ia pada masa belianya pernah menyerang filsuf renta itu dengan memperlihatkan kontradiksinya dalam semua karyanya. Baru pada era ke-13 H/abad ke-19 M, orang-orang Arab tertarik lagi pada Ibnu Rusyd dan dalam iklim polemik yang telah usang menyelewengkan makna inovasi kembali ini. Keistimewaannya hanya lantaran ia diterima d luar dunia Muslim, khususnya di kalangan penulis Yahudi, yang mempunyai andil dalam memperkenalkannya ke Barat Latin, yang balasannya mengkhianatinya, meskipun mereka juga tahu cara memperlihatkan penghargaan yang semestinya baginya.
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Download
Baca Juga
1. Ibnu Rusyd. Riwayat Hidup
2. Ibnu Rusyd. Karya Filsafat
3. Ibnu Rusyd. Pemikiran Filsafat
4. Ibnu Rusyd. Tentang Qadim-nya Alam
5. Ibnu Rusyd. Tentang Kebangkitan Jasmani
Kritik Al-Ghazali* kedua yaitu wacana apakah Tuhan mengetahui hal-hal kecil atau tidak? Al-Ghazali* memandang bahwa Tuhan Mahatahu segalanya, baik besar maupun kecil. Berbeda dengan Ibnu Rusyd, Tuhan hanya tahu yang universal bukan kasus yang kecil (partikular). “Yang menjadi dilema yaitu pernyataan mereka, “Tuhan yang Mahamulia mengetahui hal-hal yang bersifat universal, tetapi tidak hal-hal yang bersifat partikular”. Pernyataan ini memperlihatkan ketidakimanan mereka. Sebaliknya, yang benar yaitu tidak ada sebutir atom pun di langit ataupun di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya”.
Ibnu Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil, tidaklah menyerupai yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat apakah pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim atau hadits terhadap insiden kecil itu. ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu gres terhadap hal kecil tersebut. “Bagi kami, cara untuk menghilangkan keragu-raguan yaitu mengetahui bahwa keadaan ilmu-qadim terhadap wujud, berbeda dengan keadaan ilmu-baru terhadap wujud. Adanya wujud tersebut menjadi alasannya dan illat bagi ilmu kita, sedangkan ilmu-qadim menjadi illat dan alasannya bagi wujud. Jika wujud tersebut terjadi sehabis tidak ada, timbullah ilmu pelengkap terhadap ilmu yang qadim, yang menjadi musabbab (akibat) dari wujud, bukan menjadi illatnya. Oleh lantaran itu, tidak sanggup terjadi perubahan, menyerupai yang terjadi pada ilmu yang baru. Kesalahan ini disebabkan pengiasan (mempersamakan) kasus yang mistik (Tuhan) atas kasus yang konkret (manusia), sedangkan pengiasan semacam itu tidak benar. Sebagaimana pada diri pembuat tidak terjadi perubahan dikala kasus yang dibuatnya itu terjadi, yaitu perubahan yang sebelumnya tidak ada, demikianlah pada ilmu-qadim tidak perlu terjadi perubahan dikala kasus yang diketahuinya keluar dari padanya. Dengan demikian, keragu-raguan telah sanggup dihilangkan, dan kita tidak perlu memegangi pendirian bahwa apabila pada ilmu yang qadim tidak terjadi perubahan, artinya Tuhan tidak mengetahui kasus tersebut dengan ilmu yang baru, tetapi dengan ilmu yang qadim, lantaran adanya perubahan pada ilmu dikala terjadi perubahan pada kasus yang wujud hanya menjadi syarat bagi ilmu yang diakibatkan (menjadi musabbab) dari kasus yang wujud, yaitu bagi ilmu yang baru. Jadi, ilmu-qadim hanya bekerjasama dengan kasus yang wujud berdasarkan keadaan yang tidak berlaku bagi relasi ilmu-hadits dengan kasus yang wujud, bukannya tidak bekerjasama sama sekali, menyerupai yang biasa dikatakan bahwa lantaran adanya keragu-raguan tersebut, para filsuf menyampaikan bahwa Tuhan tidak mengetahui peristiwa-peristiwa kecil...”
Pernyataan di atas mengisyaratkan perlunya pemetaan terhadap eksistensi Tuhan dikala dihadapkan pada realitas sehabis alam ini terbentuk. Tuhan bukan berarti tidak tahu, bukan berarti lepas tangan terhadap partikular. Semua ini bergantung pada cara melihat apakah partikular itu muncul sehabis alam itu terbentuk atau semenjak azali (dulu kalanya). Ibnu Rusyd memisahkan pengetahuan Tuhan semenjak azali dan pengetahuan Tuhan semenjak alam itu terbentuk. Misalnya, Tuhan telah memilih nasib seseorang semenjak qidam, kemudian apakah Tuhan juga memilih proses nasib seseorang dikala orang tersebut lahir? Gambaran ini tersurat dari ungkapan Ibnu Rusyd, sebagai berikut: “... Keadaannya bukan menyerupai yang mereka sangka, melainkan filsuf tersebut menyampaikan bahwa Tuhan tidak mengetahui insiden kecil dengan ilmu-baru. Syaratnya yaitu kebaharuan ilmu itu dengan kebaharuannya peristiwa-peristiwa kecil tersebut bukan menjadi tanggapan (musabab) darinya, menyerupai halnya dengan ilmu-baru. Ini yaitu penyucian yang setinggi-tingginya yang harus diakui lantaran Tuhan mengetahui segala sesuatu, lantaran keluarnya segala sesuatu tersebut lantaran kedudukan-Nya sebagai Dzat yang mengetahui, bukan dari kedudukan-Nya sebagai Dzat yang wujud saja, atau wujud dengan sifat tertentu, melainkan kedudukannya sebagai Dzat yang mengetahui”.
Menarik untuk dikutip di sini, goresan pena Oliver Leaman mencoba memahami kedua pemikir tersebut dengan pendekatan pemikiran agama. Menurutnya, pembahasan kedua pemikir tersebut didasarkan pada pembedaan pengetahuan; pengetahuan Tuhan dan manusia. “Tuduhan yang menarik ini timbul dari cara filsuf membedakan antara pengetahuan kita dan pengetahuan Tuhan. Dari sudut pandang agama, Islam mengajarkan bahwa Tuhan mengetahui setiap dan segala sesuatu yang ada di atas dunia yang sementara ini. Orang boleh menerka bahwa pengetahuan menyerupai itu penting sekali untuk tindakan penentuan keputusan wacana nasib jiwa insan sehabis mati. Bagaimanapun, suatu pikiran yang menyampaikan bahwa Tuhan membuat alam semesta kemudian melupakannya bukanlah pikiran yang menarik bagi paham ortodoks Islam. Dapat saja ada keraguan, bagaimanakah pandangan Al-Qur’an wacana hakikat kekuasaan Tuhan (Quadrat. Pen). Bahkan Tuhan mengetahui semua pikiran “Sesungguhnya Kami telah membuat insan dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih erat kepadanya daripada urat lehernya”. Dia mengetahui setepatnya individu-individu gres yang dilahirkan”.
Ringkasnya, dalam goresan pena Harun Nasution, Ibnu Rusyd berpandangan bahwa Al-Ghazali* salah paham; lantaran kaum filsuf tidak pernah menyampaikan demikian (kutipan di atas). Mereka menyampaikan bahwa pengetahuan Tuhan wacana perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan insan wacana perincian itu. Pengetahuan insan dalam hal ini mengambil bentuk efek, sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebab, yaitu alasannya bagi wujudnya perincian tersebut. Selanjutnya, pengetahuan insan bersifat gres dan pengetahuan Tuhan bersifat qadim, yaitu semenjak azali, Tuhan mengetahui hal-hal yang terjadi di alam, betapa pun kecilnya.
Ibnu Rusyd mengakhiri penjelasannya dengan tema-tema psikologis dan epistemologis filsafat peripatetik. Ini patut dicatat karena, dalam kepingan filsafat lainnya, Ibnu Rusyd memahami perbedaan tajam antara Plato* dan Aristoteles* dan tidak mencoba menyelaraskan kedua pemikiran itu menyerupai dilakukan Al-Farabi. Ia mengikuti cara Al-Farabi dalam hal memperlakukan kesesuaian antara filsafat politik dan aturan agama. Akan tetapi, sebagai seorang faqih, ia menekankan keunggulan yang terakhir. Ia mendapatkan kesimpulan penting politik Plato*, walaupun Aristoteles* mengoreksinya, bahkan mengklaim bahwa gagasan politik Plato sanggup diterapkan, tetapi bagi Plato*, syarat-syarat yang diharapkan tidak sanggup direalisasikan jikalau tidak ada penguasa yang tercerahkan. Ia mengadaptasi uraian wacana degradasi rezim-rezim politik dengan sejarah negerinya. Ia melihat peperangan tidak kenal henti sebagai syarat bagi pelaksanaan kebajikan negerinya. Bahkan, ia lebih menyukai pilihan Plato* yang sangat radikal, bukan hanya berkenaan dengan Aristoteles*, melainkan juga bagi tradisi Muslim. Ia juga mencela keras, contohnya ketidakmanfaatan perempuan yang dipaksakan pada masanya.
Pemikiran politik juga merupakan sarana untuk menyatukan analisis-analisis yang dibentuk sebelumnya dalam bidang logika dan retorika (yang pada era pertengahan dijadikan sebagai kepingan dari Organon). Dengan menyepakati cara paham Al-Muwahhidun dalam membentuk hierarki, Ibnu Rusyd yang menolak hal-hal yang tidak meyakinkan dalam filsafat, tetapi mempertahankan—bagi orang awam—sebagian besar argumen retoris untuk membimbing mereka pada kepercayaan yang baik sehingga menjadikan perbuatan baik. Karena itu, warga negara yang merasa terpanggil untuk bertanggung jawab harus berjuang melawan argumen-argumen persuasif yang pada mulanya melatih mereka, dengan membangkitkan argumen-argumen demonstratif. Ini, sekali lagi merupakan serangan atas metode-metode kalam. Misalnya, teori wacana eksekusi seharusnya ditafsirkan dengan cermat. Menurut Ibnu Rusyd, jikalau diartikan secara harfiah, teori itu bertentangan dengan keseimbangan baik dan jelek lantaran ia bermetamorfosis tindakan jikalau pahalanya tampak cukup atau ketakutan itu cukup mengganggu.
Pernyataan Platonik wacana keniscayaan pengetahuan yang tetap untuk menjaga bahasa bersama sehingga komunitas sosial, jelas-jelas menjadi basis pemikiran Rusydian. Dari yang tertuang dalam risalah wacana aturan sampai komentarnya atas Republic, pemikiran Ibnu Rusyd tidak hanya meliputi karya-karya logika, tetapi juga karya ilmiah. Seperti Plato*, Ibnu Rusyd juga membandingkan penguasa politik dengan dokter, dan yang terakhir ini (menurut Kulliyat) bertindak sesuai dengan masing-masing kasus, seraya mempertimbangkan tatanan alam, dalam rangka memperlihatkan pendekatan yang diatur oleh hukum-hukum untuk menemukan kebenaran. Semua itu berpuncak pada penegasan terhadap kesatuan kebijaksanaan yang “mengejawantahkan” stabilitas pemikiran ini dalam diri manusia.
Sekalipun demikian, sintesis ini tetap mengandung paradoks dalam dirinya sendiri lantaran bersifat publik sekaligus elitis. Paradoks dalam pengungkapannya, lantaran Ibnu Rusyd berhasil membawa filsafat keluar dari kekumuhan daerah yang selama ini dipasung. Hal ini memperlihatkan bahwa Ibnu Rusyd yaitu seorang guru yang sangat menonjol lantaran jumlah muridnya, tetapi kurang berhasil dalam menyesuaikan dengan sistem pendidikan, dan tetap terkucil sekalipun cukup terkenal (Urvoy, 1978:178-179). Bahkan, murid-muridnya tidak berbagi filsafatnya. Ahli logika, Ibn Thumlus, salah satu muridnya, tidak mengutipnya, bahkan mengaku sebagai murid Al-Farabi, atau melaksanakan penggabungan paham Al-Muwahhidun dan pemikiran Al-Ghazali*. Ibn Sab’in menyatakan bahwa Ibnu Rusyd gampang mendapatkan apa saja dari Aristoteles*. Ibnu Arabi menceritakan kepada kita kisah dikala ia pada masa belianya pernah menyerang filsuf renta itu dengan memperlihatkan kontradiksinya dalam semua karyanya. Baru pada era ke-13 H/abad ke-19 M, orang-orang Arab tertarik lagi pada Ibnu Rusyd dan dalam iklim polemik yang telah usang menyelewengkan makna inovasi kembali ini. Keistimewaannya hanya lantaran ia diterima d luar dunia Muslim, khususnya di kalangan penulis Yahudi, yang mempunyai andil dalam memperkenalkannya ke Barat Latin, yang balasannya mengkhianatinya, meskipun mereka juga tahu cara memperlihatkan penghargaan yang semestinya baginya.
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Download
Baca Juga
Baca Juga
1. Ibnu Rusyd. Riwayat Hidup
2. Ibnu Rusyd. Karya Filsafat
3. Ibnu Rusyd. Pemikiran Filsafat
4. Ibnu Rusyd. Tentang Qadim-nya Alam