Ibnu Sina. Filsafat Perihal Kenabian

Berbeda dengan Ar-Razi*, Ibnu Sina menegaskan adanya kenabian. Alasan logis yang disampaikan Ibnu Sina yakni adanya perbedaan keunggulan atau keutamaan pada segenap wujud. Ia menegaskan bahwa para nabi yang logika teoretis mereka mengaktual dengan tepat secara pribadi lebih utama dari mereka (filsuf), yang logika teoretisnya mengaktual tepat secara tidak pribadi (dengan perantaraan menyerupai latihan dan berguru keras). Uraian lengkap perihal hal itu yakni sebagai berikut: “Ada wujud yang bangun sendiri dan ada pula yang tidak bangun sendiri.
Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua. Ada bentuk dan substansi yang tidak berada dalam bahan dan ada pula yang berada dalam materi. Yang pertama lebih unggul dari yang kedua... selanjutnya, ada binatang yang rasional (manusia) dan ada juga binatang yang tidak rasional (binatang). Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua... selanjutnya, ada insan yang mempunyai logika kasatmata dengan tepat secara pribadi (tanpa latihan, tanpa kerja keras) dan ada pula yang mempunyai logika kasatmata dengan tepat secara tidak pribadi (melalui latihan dan studi). Yang pertama, para nabi yang lebih unggul daripada yang kedua, yakni para filsuf. Para nabi berada di puncak keunggulan atau keutamaan dalam lingkungan makhluk materi. Karena yang lebih unggul harus memimpin yang diungguli, nabilah yang harus memimpin segenap insan yang diunggulinya”.

Dengan demikian, sanggup dikatakan bahwa Ibnu Sina mengakui adanya nabi dan rasul serta kenabian dan kerasulan. Ibnu Sina pun menegaskan bahwa para nabi dan rasul lebih tinggi dari filsuf.

Menurut Ibnu Sina, nabi identik dengan logika aktif. Sepanjang identitas ini masih berlaku, logika aktif itu disebut ‘aql mustafad (akal yang telah dicapai). Akan tetapi, nabi qua manusia tidak identik dengan logika aktif. Dengan demikian, pemberi wahyu dalam satu internal dengan nabi, dalam hal lain, yaitu sepanjang pengertian pemberi wahyu itu yakni manusia, eksternal dengannya. Oleh alasannya yakni itu, Ibnu Sina menyampaikan bahwa nabi, dalam hal sebagai manusia, secara “aksidental” bukan esensial, yakni logika aktif (untuk pengertian istilah “aksidental”).

Meskipun wawasan intelektual-spiritual ini merupakan karunia tertinggi yang dimiliki nabi, beliau tidak sanggup bertindak kreatif dalam sejarah jikalau semata-mata menurut kekuatan wawasan itu. Sifat pembawaan kedudukan yang dijabatnya menghendaki biar beliau harus berbekal risalah dalam menghadap umat manusia, memengaruhi mereka, dan benar-benar berhasil dalam misinya. Syarat-syarat yang diharapkan yakni bahwa nabi mempunyai imajinasi yang sangat berpengaruh dan hidup, kekuatan fisiknya berpengaruh sehingga beliau harus tidak hanya memengaruhi pikiran orang lain, tetapi juga seluruh bahan pada umumnya, dan bahwa beliau harus bisa melontarkan suatu sistem sosial politik.

Dengan kualitas imajinasi yang luar biasa kuatnya, pikiran nabi, melalui keniscayaan psikologis yang mendorong, mengubah kebenaran logika murni dan konsep menjadi imaji dan simbol kehidupan yang demikian berpengaruh sehingga orang yang mendengar atau membacanya tidak hanya percaya, tetapi juga terdorong untuk berbuat sesuatu.

Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
 

Download

Baca Juga

Baca Juga
1. Ibnu Sina. Riwayat Hidup
2. Ibnu Sina. Karya Filsafat
3. Ibnu Sina. Pembagian Ilmu dan Filsafat
4. Ibnu Sina. Metafisika
5. Ibnu Sina. Tentang Wujud
6. Ibnu Sina. Hubungan Jiwa-Raga
7. Pengaruh Ibnu Sina di Timur dan Barat

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel