Filsafat Islam. Jalan Menuju Kebenaran

Para filsuf sebelum Ibnu Rusyd* telah setuju bahwa alat dan sarana yang dibutuhkan untuk mengetahui belakang layar alam dan segala yang maujud ini yaitu logika, dengan logika terpeliharalah referensi pemikiran insan dari kesalahan. Merupakan hal yang masuk akal bilamana Ibnu Rusyd, sebagai pemikir, terpengaruh oleh filsafat Aristoteles*, terutama logikanya. Ibnu Rusyd* menyatakan bahwa mengetahui Sang Pencipta alam dengan cara taklid yaitu merupakan ciri-ciri orang awam, hal itu tidak berkhasiat bagi mereka yang memakai akal—nikmat Sang Pencipta yang terbesar. Tidak pelak lagi bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar wacana Pencipta alam ini hanya dengan daypikir yang benar dan sungguh-sungguh. Penalaran ini akan gampang dilakukan oleh mereka yang mendalami dan menguasai alat yang sangat dibutuhkan yaitu logika. Logika yang dikuasai secara mendalam akan memudahkan mencari kebenaran itu, sehingga hasil selesai yang disimpulkan sangat meyakinkan. Logika yang dimaksud yaitu metode burhani (demonstratif).

Ibnu Rusyd* menyatakan bahwa syara’ memerintahkan mengenal Allah dan sekalian ciptaan-Nya dengan cara burhani. Sebelum memasuki pemahaman burhani, ada baiknya diketahui terlebih dahulu jenis-jenis burhan itu dan syarat-syaratnya, serta dalam hal mana suatu qiyas burhani berbeda dengan qiyas jadali (dialektik), khitabi (retorik) dan mughalipi (sofistik). Tidak kalah pentingnya sebelum itu harus terlebih dahulu diketahui apakah qiyas itu sendiri, berapa macamnya, mana yang benar-benar qiyas dan mana pula yang bukan dan apa pula yang merupakan bagian-bagian qiyas itu.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, Ibnu Rusyd* memakai teori burhani dalam usahanya untuk mencapai suatu kebenaran, namun demikian ia tidak menafikan kebenaran yang dicapai melalui jalan lain. Hal itu berarti Ibnu Rusyd mengakui keberagaman insan dalam tingkat pemikirannya untuk menuju kebenaran tunggal yakni Pencipta alam semesta. Demikian, bahwa jalan menuju kebenaran tidak hanya melalui refleksi filsafat (burhani), namun ada jalan lain, yakni melalui analisis mendalam terhadap kitab suci (bayani). Dalam hal ini objektivitas Ibnu Rusyd* wacana jalan menuju kebenaran tampak menonjol, terbukti bahwa ia tidak mengkonfrontasikan pencapaian kebenaran yang dicapai oleh masing-masing orang. Dalam bahasa epistemologi kontemporer, kebenaran bagi seseorang boleh jadi menjadi kurang benar bagi orang lain. Kebenaran erat kaitannya dengan ruang dan waktu, artinya bahwa suatu kebenaran yang dicapai pada suatu dikala di daerah tertentu, boleh jadi kualitas kebenaran tersebut menjadi berbeda di dikala dan daerah yang lain. Ini bukan berarti Ibnu Rusyd* tidak mengakui kebenaran mutlak. Kebenaran mutlak akan tercapai melalui perkembangan kebenaran dan pengetahuan di sepanjang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan. Ilmu-ilmu itu berkembang, dalam arti bahwa kebenaran-kebenarannya semakin bertambah dan kesalahan-kesalahannya semakin berkurang.

Jika Dr. ‘Abid al-Jabiri menyampaikan teori kebenaran melalui tiga: al-Burhan, al-Bayan dan al-Irfan, maka Ibnu Rusyd* tidak memasuki wilayah yang ketiga. Di sinilah letak perbedaan dengan para filsuf muslim sebelumnya, dan sekaligus memperlihatkan rasionalitas Ibnu Rusyd. Jalan menuju kebenaran yang dilalui Ibnu Rusyd* terkesan bahwa ia telah membangun tangga menuju kebenaran dengan cara alami dan tidak meloncat-loncat. Cara menuju kebenaran dimulai dengan mempertanyakan apakah teori itu sudah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya atau belum. Kalau belum, para pemikir muslim harus memulainya. Kalau telah dimulai orang lain, para pemikir muslim boleh memanfaatkannya dengan menghindari taqlid buta serta tidak memandang agama yang dipeluknya. Ibnu Rusyd* mengingatkan bahwa memanfaatkan inovasi orang lain tersebut bukan berarti mengekor ibarat hamba sahaya di depan tuannya, tetapi harus mempunyai kebebasan untuk mendapatkan yang benar dan menolak yang salah. Di sinilah Ibnu Rusyd telah mendahului delapan era dari para teoretisi era modern yang mengajukan metode historis kritis.

Ibnu Rusyd* telah lebih dahulu mengedepankan apa yang kini disebut “never ending process” dalam filsafat ilmu. Demikian juga dengan terma-terma saling sapa, interdisiplin, multidisiplin serta konsep yang menyatakan bahwa teori yang ditemukan oleh seorang ilmuwan harus merupakan pertanyaan bagi ilmuwan lain. Para pakar filsafat ilmu zaman modern kini ini mengakui bahwa ilmu pengetahuan itu niscaya dan harus berkembang. Perkembangan itu semenjak dahulu kala dimulai dari mitos-mitos dan berkembang melalui logika pikiran, dari yang berdasar silogisme logis semata hingga kebenaran yang harus dibuktikan dengan eksperimentasi. Dengan demikian bergotong-royong esensi pengembangan ilmu itu telah dilakukan oleh Ibnu Rusyd*, meskipun materinya belum begitu kompleks ibarat kini ini.

Sikap dan pendekatan kritis, toleran demi pengembangan ilmu itu sendiri dengan menjauhkan truth claim yang membabi buta. Semua perilaku itu harus dimiliki oleh seorang ilmuwan sejati sebagai tanggung jawab ilmiah dan sosialnya. Sikap kritis yang seharusnya menjadi milik seorang ilmuwan yang dicetuskan oleh Ibnu Rusyd* itu, bisa dilihat dari ajakannya untuk mempelajari teori orang lain dengan perilaku waspada dan kritis. Apabila teori itu benar haruslah diikuti dan bila terjadi sebaliknya maka harus ditolak. Metode dan referensi pikir Ibnu Rusyd inilah yang memengaruhi referensi pikir Barat yang melahirkan apa yang disebut Renaissance pada era pertengahan.

Semenjak renaissance itu hingga era modern kini ini, ilmu mesti dipandang dari segi fenomenanya, yakni dimensi masyarakat ilmiah, dimensi proses, dimensi produk dan dimensi strukturalnya. Ditinjau dari dimensi masyarakat ilmiah (para ilmuwan), telah terjadi perubahan-perubahan dan perkembangan-perkembangan besar. Kalau ilmuwan-ilmuwan Yunani kuno terdiri dari oknum-oknum filsuf, dan ilmuwan-ilmuwan era pertengahan terdiri dari biarawan-biarawan yang terikat kepercayaan gereja, maka ilmuwan zaman renaissance hanya patuh pada universalisme, komunalisme, skeptisisme yang terarah dan teratur. Ilmu pengetahuan, mereka pandang sebagai proses yakni merupakan sesuatu yang belum selesai. Sebagai produk, ilmu pengetahuan berdiri sendiri dan terlepas dari manusia, ia menjadi bebas nilai. Sebagai proses, berarti ilmu pengetahuan merupakan proses eksistensi dan aktualisasi diri manusia, ia akan berada di bawah kontrol penciptanya biar selalu bisa diarahkan di bawah naungan moral dan etika. Mereka berupaya menemukan penemuan-penemuan gres melalui penelitian-penelitian termasuk meneliti teori yang sudah mapan sebelumnya, hingga pada masa modern kini pun, perkembangan ilmu pengetahuan masih bercirikan renaissance. Hal itu bisa dilihat dari keterangan Van Melsen bahwa ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai keseluruhan yang secara logis koheren, tanpa pamrih, universal, objektif yang berarti sanggup dikembangkan oleh peneliti lain sehingga sanggup dikomunikasikan menuju progresivitas yang berkhasiat bagi kehidupan.

Ketanpapamrihan ilmu yang dijelaskan oleh Ibnu Rusyd* bisa dilihat ketika ia menyampaikan bahwa problem agama dari penemu atau pemilik teori tidak harus menjadi penghalang bagi peneliti lain. Hal ini memperlihatkan betapa usahanya yang tanpa pamrih demi ilmu dan pengembangannya. Lebih lanjut ia mempersamakan ilmu dengan alat potong yang digunakan untuk menyembelih binatang kurban. Ini memperlihatkan bahwa ilmu tidak hanya merupakan alat belaka. Kalau alat potong tersebut bukan milik orang Islam kemudian dipinjam untuk memotong binatang kurban, maka sembelihannya sah-sah saja. Demikian pula teori ilmu pengetahuan yang berasal dari non muslim, sah-sah pula untuk dipelajarinya, ditekuni dan dikuasai untuk kepentingan kaum muslimin. Menurut Ibnu Rusyd* yang perlu diperhatikan yaitu isi dan apa yang mereka katakan, bukan siapa yang mengatakannya (undhur ma qala wa la tandhur man qala).

Suatu hal yang patut pendapat perhatian yaitu suasana kebebasan intelektual di zaman klasik Islam itu. Interaksi antara orang-orang Islam Arab dengan kalangan nonmuslim itu sanggup terjadi dalam suasana penuh kebebasan, toleransi dan keterbukaan. Sebab meskipun orang-orang Arab muslim itu mempunyai fatwa agama yang sangat tegas dan gamblang, namun dengan penuh ikhlas membiarkan semua kegiatan intelektual di pusat-pusat yang ada semenjak sebelum kedatangan dan pembebasan mereka tetap berlangsung. C.A. Qadir dalam hal ini menyatakan: “... pusat-pusat pengajaran yang dipimpin oleh orang-orang Katolik terus berfungsi tanpa terusik bahkan sesudah dikuasai orang-orang Muslim. Ini memperlihatkan tidak saja kebebasan intelektual, tapi memperlihatkan kecintaan orang Islam kepada ilmu dan perilaku hormat kepada para sarjana tanpa memperdulikan agamanya”.

Dengan demikian, Ibnu Rusyd* seolah-olah telah mengucapkan apa yang kini diucapkan orang “Science for the sake science only”. Hal semacam ini tidaklah bertentangan dengan al-Qur’an, “Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jikalau kau tiada mengetahui”. Melalui perilaku kritisnya, Ibnu Rusyd secara tidak pribadi telah mengoreksi kesalahan mereka yang membenci filsafat, hanya alasannya yaitu filsafat berasal dari budaya absurd serta tidak pernah didalami oleh umat Islam masa awal. Sikap kritis inilah yang menjadi filter untuk menyaring apakah ilmu yang dipelajari itu memberi manfaat atau madarat bagi para peneliti muslim. Sikap inilah yang pernah dimiliki umat Islam pada zaman klasik hingga wafatnya Ibnu Rusyd*, yang dengannya mereka mencapai puncak kejayaan. Begitu umat Islam memasuki zaman pertengahan—sepeninggal Ibnu Rusyd—sikap kritis ini hilang dan berganti dengan perilaku fanatik buta serta mengagung-agungkan kebesaran masa lampau. Keadaan ibarat ini menimbulkan munculnya perilaku serah diri yang menjauhkan umat Islam dari penggunaan kemampuan kebijaksanaan untuk mencapai kemajuan yang lebih dari apa yang telah dicapai para pendahulunya. Umat Islam semakin karam alasannya yaitu dililiti perilaku fatalistik, mereka sangat mengagung-agungkan para pendahulunya dan tidak mengikuti jejak mereka dalam bidang ilmu pengetahuan, maka mereka hanya bisa mengkultuskan para tokoh pendahulunya. Hal ibarat itu terus berlanjut hingga lahirnya para pembaru muslim ibarat Jamaluddin al-Afghani*, Muhammad Abduh* dan lain sebagainya. Ketika mereka menyadari bahwa kejayaan yang pernah dicapai umat Islam telah berpindah ke Barat yang menguasai dunia Islam, maka bangkitlah al-Afghani* dengan memperlihatkan apresiasi yang jujur terhadap nilai-nilai intelektualisme Barat, khususnya sains dan teknologinya.

Sakit kronis usang yang diderita umat Islam semenjak wafatnya Ibnu Rusyd*, yakni sakit “demam” terhadap kebesaran masa lampau hingga munculnya para pembaru sepertinya sulit disembuhkan secara total. Kajian objektif kritis menjadi barang yang sangat mahal dan jarang dimiliki oleh umat Islam di mana saja berada. Pola pikir kritis sering kali mendapatkan tuduhan menjauh dan melompat dari pagar syari’at. Di Indonesia sendiri misalnya, bahwa misi dakwah (islamiyah) kurang berhasil dalam menuntaskan aneka macam kasus sosial. Hal itu tentu alasannya yaitu pendekatan keilmuan yang mengambil jarak tertentu dari objek penelitian kurang begitu diminati oleh para pelaku (aktor) dakwah yang sering kali lebih menekankan perilaku “terlibat” (involved), sehingga tampak atau terkesan “netral”. Analisis dan kritik kadang dirasa ‘tabu’ bagi aliran yang menjaga ortodoksi yang telah mengkristal dalam pikiran umat beragama. Pendekatan seorang “believer” lebih gampang mengarah “taqdis al-afkar ad-diniyyah”. Jika tanda-tanda ibarat itu benar adanya, maka misi keilmuan aneka macam akademi tinggi Islam akan tertindih oleh misi formal keagamaan, yang pada gilirannya akan mengabaikan kepada misi risalah yang menuntut adanya perubahan dan pengembangan pemikiran Islam.

Untuk menanggulangi dan mengobati sakit demam yang sudah kronis tersebut, maka pada era modern kini ini, paling tidak ada dua tren (aliran) atau kecenderungan pemikiran Islam Kontemporer. Pertama, tren pemikiran Islam yang menggarisbawahi perlunya melestarikan tradisi keilmuan Islam yang telah terbangun secara kokoh semenjak berabad-abad yang kemudian serta memanfaatkannya untuk membendung aspek negatif dari gerak arus pembangunan dan modernisasi dalam segala bidang. Terhadap tren pemikiran Islam yang ibarat ini diharapkan kecermatan dalam mengapresiasinya. Jika tidak, maka ia akan gampang terjerumus ke dalam perilaku mental taqlidy-dogmatis.

Sedangkan tren pemikiran Islam yang kedua yaitu tradisi pemikiran keagamaan yang bersifat kritis. Tradisi kritis ini bermula dari efek pemikiran filosofis-kritis terhadap segala bentuk pemikiran manusia, termasuk di dalamnya yaitu gagasan pemikiran keagamaan. Tradisi kritis filosofis melihat khazanah intelektual Islam dan pemikiran Islam pada umumnya tidak lain dan tidak bukan yaitu merupakan suatu “produk sejarah” biasa, yang sudah barang tentu qabilun li al-taqyir dan qabilun li an-niqas. Oleh alasannya yaitu pemikiran keagamaan yaitu juga produk sejarah yang berkembang pada zaman tertentu, maka sangat boleh jadi ia hanya mewakili nuansa pemikiran yang berkembang pada dikala tertentu pula. Tradisi kritis ini melihat al-kutub as-safra’ sebagai produk pemikiran insan biasa yang muncul pada era zaman tertentu. Ia yaitu produk zaman yang mengitarinya yang tentu harus dijadikan titik pemberangkatan menuju perkembangan lebih lanjut.

Tren pemikiran yang kedua ini cenderung untuk mengakomodir nuansa perkembangan ilmu pengetahuan insan dalam bidang apa pun (alam, sosial, ruang angkasa, kedokteran, dan iptek secara umum) dan mencoba menarik manfaat dari padanya untuk mencari penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan, khususnya untuk membangun sebuah tradisi keagamaan yang selalu up to date dan tanggap dengan tantangan zaman. Oleh alasannya yaitu itu jikalau umat Islam tidak mau selalu menjadi penonton dan tercengang dengan aneka macam kemajuan yang dicapai orang lain dan tidak terjebak terus menerus dalam referensi pikir yang logosentris, maka mereka wajib menyikapi secara positif tren pemikiran yang kedua ini secepat mungkin. Jalan menuju tren pemikiran yang kedua ini telah dibuka dan dikembangkan oleh tokoh Islam ibarat Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun*, Hasan Hanafi*, Wahbah Zuhaili dan yang lain-lain.

Apabila disimak secara saksama, bergotong-royong ada keterkaitan pemikiran rasional Islam semenjak Mu’tazilah* yang kemudian disistematisasikan oleh para filsuf muslim termasuk Ibnu Rusyd*, kemudian dilanjutkan pembaru Islam ibarat Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh hingga dengan para pembaru masa kita kini ini ibarat telah disebutkan sebelumnya, namun harus disadari bahwa antara Ibnu Rusyd hingga dengan para pembaru Islam era XIX terdapat stagnasi kurang lebih 700 tahun di mana pemikiran rasional kritis berhenti total.


Kemenangan gaung ortodoksi Imam al-Ghazali* menimbulkan dominasi kehidupan sufi yang merupakan refleksi tahap selesai kehidupan al-Ghazali begitu besar lengan berkuasa di dunia Sunni. Sumbangan sufisme dari al-Ghazali* yang telah dipadukan itu, secara resmi diterima oleh kaum Syari’ah dengan semua unsur orde emosional yang telah menghidupinya, demikian juga dari anjuran untuk berguru dalam bertasawwuf sehingga menimbulkan aliran-aliran tarekat atau orde-orde sufi, yang mana usang kelamaan semakin menyimpang dari apa yang dikehendaki al-Ghazali* sendiri.

Ibnu Rusyd* dengan metode rasional-kritisnya, telah mengkritik metode sufi yang mengandalkan dzauq. Hal itu sanggup ditelusuri melalui ucapannya dalam al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah yang dikutip Muhammad ‘Atif al-Iraqi sebagai berikut: “Sesungguhnya metode sufistik ini walaupun keberadaannya kita terima namun sesungguhnya ia tidak berlaku bagi insan secara umum. Seandainya metode sufistik ini dimaksudkan oleh syara’ untuk manusia, maka metode daypikir serta keberadaannya yaitu sia-sia. Sedangkan Al-Qur’an seluruhnya merupakan anjuran kepada daypikir dan perenungan serta aksentuasi atas dasar metode-metode daypikir itu. Memang tidak dipungkiri bahwa salah satu metode sufistik yaitu mematikan syahwat, alasannya yaitu mematikan syahwat itulah yang menimbulkan timbulnya pengetahuan (sufisme) yang berguna, sebagaimana kesehatan juga merupakan salah satu syarat dalam kegiatan belajar-mengajar”.

Dari uraian di atas, sanggup diambil kesimpulan bahwa solusi terhadap keterbelakangan umat Islam dalam bidang intelektualitas melalui metode sufistik tidaklah tepat. Dominasi sufisme harus dikurangi, akan tetapi ia juga diharapkan sebagai peredam materialisme dan sekularisme. Tampak terperinci dari ungkapan tersebut, bahwa Ibnu Rusyd berusaha mengetengahkan solusi terhadap dominasi efek al-Ghazali* dengan menampilkan metode rasional-kritis. Metode itu agaknya lebih sempurna dan memenuhi kriteria yang diharapkan untuk dikala kini ini.

Sumber
Syukur, Suparman. 2007. Epistemologi Islam Skolastik; Pengaruhnya Pada Pemikiran Modern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.


Download

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel