Islam Dan Demokrasi
Secara kepercayaan tidak ada persoalan untuk menyatukan doktrin-doktrin Islam dengan elemen-elemen masyarakat, wilayah dan pemerintahan. Tapi dalam banyak kasus terdapat persoalan dalam penyatuan kepercayaan Islam dengan konsep kedaulatan yang merupakan elemen terpenting negara-bangsa, khususnya bagi negara-negara Muslim yang penduduknya plural. Proses sekularisasi*, yang memperkenalkan demokrasi* dan kedaulatan rakyat, memerhatikan hal-hal tersebut. Sekarang, demokrasi menjadi satu sistem politik modern yang sering dibahas di negara-negara Muslim, terdapat majemuk respons di antara ulama dan intelektual serta penggerak Muslim mengenai terma dan konsep demokrasi*. Hafidz Saleh, misalnya, melarang penggunaan terma dan konsep demokrasi, alasannya konsep ini berarti penegasian terhadap kedaulatan Tuhan atas manusia. Lebih lagi term ini tidak bersumber dari terma Islam, dan alasannya itu harus dihindari, sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah: 104: “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kau katakan (kepada Muhammad): “Raa ‘ina” tetapi katakanlah “unzhurna”.
Sejalan dengan Saleh, Adnan Ali Ridha an-Nahwi menolak demokrasi* tetapi mengajukan syura (musyawarah), khususnya alasannya yang pertama bersinonim dengan perintah yang dibentuk manusia, sementara yang terakhir yaitu perintah Tuhan. Hasan at-Turabi, dalam hal ini, cenderung untuk membedakan antara demokrasi dengan syura menyerupai perkataannya: “Meskipun secara denotatif syura dan demokrasi serupa, konotasinya berbeda. Keduanya bermakna partisipasi publik dalam urusan-urusan politik. Tetapi demokrasi bermakna kedaulatan penuh manusia, syura, yaitu kedaulatan penuh Tuhan sebagaimana terdapat dalam otoritas tekstual yang diwahyukan Tuhan. Sementara demokrasi mempunyai banyak kekurangan alasannya nalar manusia, syura tidak. Jika dia berupaya berurusan dengan konstitusi, legal, sosial dan ekonomi sebagaimana tercantum dalam syari’ah”.
Meskipun demikian, menolak sistem demokrasi* tidak berarti bahwa mereka mendukung sistem otoritarian. Karena mereka juga mengajukan prinsip-prinsip yang menentang sistem-sistem tertentu menyerupai keadilan, musyawarah yang menguntungkan, hak asasi manusia, toleransi, dan lain-lain. Secara general sanggup dikatakan bahwa kelompok pertama (fundamentalis) menolak term dan konsep demokrasi. Tetapi Abul A’la al-Maududi tidak menolak demokrasi* begitu saja, dia membedakan konsep demokrasi secara filosofis dan bentuk organisasionalnya, menulis: “Pembahasan terdahulu cukup terang bahwa Islam, berbicara dari sudut pandang politik, menentang demokrasi sekuler Barat. Fondasi filosofis demokrasi Barat yaitu kedaulatan manusia... Islam, menyerupai telah dijelaskan, gotong royong menolak filsafat kedaulatan rakyat dan menyebarkan entitas politik fondasi kedaulatan Tuhan dan kekhalifahan manusia”.
"Nama yang paling cocok untuk entitas politik Islam yaitu “Kerajaan Tuhan” yang dalam bahasa Inggris disebut “Theocracy”, tetapi teokrasi Islam yaitu sesuatu yang cukup berbeda dari teokrasi yang pernah menjadi pengalaman pahit Eropa... Jika aku diizinkan untuk memperlihatkan satu term baru, aku akan mendeskripsikan sistem pemerintahan ini sebagai sebuah “teo-Demokrasi”, untuk menyampaikan pemerintahan demokrasi ke-Tuhanan, alasannya di bawahnya Muslim diberikan kedaulatan rakyat terbatas di bawah kedaulatan Tuhan. Eksekutif di bawah sistem pemerintahan ini diputuskan oleh harapan general Muslim yang juga mempunyai hak untuk membatalkannya. Semua urusan administratif dan semua pertanyaan wacana hal-hal yang tidak ada aturan eksplisit dalam syari’ah diputuskan melalui konsensus di antara pendapat kaum Muslim. Setiap Muslim yang bisa dan qualified memperlihatkan pendapat mengenai urusan aturan Islam, berhak menginterpretasikan aturan Tuhan saat penafsiran diperlukan. Dalam hal ini politik Islam yaitu demokrasi” (Abul A’la al-Maududi 1960: 147-148).
Banyak intelektual Muslim, termasuk dalam kelompok kedua (modernis dan neo-modernis), mendapatkan terma demokrasi* dengan modifikasi-modifikasi tertentu yang sejalan dengan anutan Islam, di antara mereka yaitu Fazlur Rahman, Hamid Enayat, Muhammad Asad dan Jafid Iqbal. Menurut Muhammad Asad: “Dewan legislatif—majelis syura—harus benar-benar merepresentasikan semua masyarakat pria dan perempuan, sifat representatif bisa diterima hanya melalui pemilihan bebas dan umum, oleh jadinya anggota dewan harus dipilih dengan sarana hak pilih terluas yang mungkin termasuk pria dan perempuan”.
Jafid Iqbal bahwasanya menyampaikan bahwa kedaulatan mutlak dan otoritas sewenang-wenang hanya milik Tuhan, oleh jadinya dia mendapatkan supremasi aturan Islam, tetapi mereka mendapatkan metode demokrasi sejauh pemilihan pemimpin Islam dan implementasi syari’ah diperhatikan. Dia juga menyatakan bahwa Islam menjamin ketidakterabaian hak-hak manusia, dan lain-lain, kesetaraan status dan kesempatan, kesetaraan di hadapan hukum, kebebasan berpikir, berekspresi, kepercayaan, iman, ibadah, asosiasi, karya, gerakan, perdagangan, bisnis, dan profesi, dan hak untuk mempunyai dan mengalihkan kepemilikan, menunjuk pada aturan Islam dan moralitas.
Lepas dari pembahasan di atas, sungguh terdapat problem dalam penerapan kepercayaan Islam dan demokrasi secara simultan. John L. Esposito dan James P. Piscatory telah meneliti bahwa kedua prinsip demokrasi dan proses demokratisasi merupakan subjek debat yang cukup ramai di antara kaum Muslim. Bagi yang lain, nilai-nilai Islam dan nilai-nilai demokratis merupakan antitesis secara inheren, menyerupai tampak pada isu-isu, misalnya, ketidaksetaraan antara mukmin dan non-mukmin, juga antara pria dan perempuan. Meskipun demikian, mereka juga mencatat bahwa, di samping beberapa Muslim radikal menolak bentuk apa pun dari demokrasi parlementer sebagai sebuah bentuk Westernisasi* dan ketimpangan dengan tradisi lokal, banyak, kalau tidak sebagian besar, intelektual dan penggerak Islam mencoba memasuki term dengan wangsit dan proses demokratis. Lebih lagi, dalam upaya menjalankan program-program politik mereka, gerakan Islam di banyak negara Muslim, menyerupai di Aljazair (sekarang di bawah pemerintahan Ban), Jordan, Pakistan, Yaman, Tunisia, dan Indonesia, memperlihatkan bergunanya bekerja dalam sistem politik dan mereka telah sukses memenangkan kursi-kursi dewan legislatif dan memegang posisi-posisi kabinet.
Berkaitan dengan nilai-nilai antitesis antara Islam dan demokrasi banyak intelektual Muslim yang termasuk kelompok kedua juga telah berupaya mereinterpretasi doktrin-doktrin Islam, khususnya mengenai kedudukan perempuan dan non-Muslim. Penafsiran gres cenderung menghapus diskriminasi antara mereka, meskipun kebanyakan dari mereka melanjutkan mendukung aturan Islam mengenai poligami dan warisan. Sementara itu, intelektual yang termasuk kelompok ketiga mendukung secara penuh demokrasi menurut sekularisme* dengan mengabaikan kepercayaan Islam, alasannya mereka memosisikan agama dalam urusan personal.
Sumber
Masykuri Abdillah. 2007. Islam dan Humanisme; Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Download
Meskipun demikian, menolak sistem demokrasi* tidak berarti bahwa mereka mendukung sistem otoritarian. Karena mereka juga mengajukan prinsip-prinsip yang menentang sistem-sistem tertentu menyerupai keadilan, musyawarah yang menguntungkan, hak asasi manusia, toleransi, dan lain-lain. Secara general sanggup dikatakan bahwa kelompok pertama (fundamentalis) menolak term dan konsep demokrasi. Tetapi Abul A’la al-Maududi tidak menolak demokrasi* begitu saja, dia membedakan konsep demokrasi secara filosofis dan bentuk organisasionalnya, menulis: “Pembahasan terdahulu cukup terang bahwa Islam, berbicara dari sudut pandang politik, menentang demokrasi sekuler Barat. Fondasi filosofis demokrasi Barat yaitu kedaulatan manusia... Islam, menyerupai telah dijelaskan, gotong royong menolak filsafat kedaulatan rakyat dan menyebarkan entitas politik fondasi kedaulatan Tuhan dan kekhalifahan manusia”.
"Nama yang paling cocok untuk entitas politik Islam yaitu “Kerajaan Tuhan” yang dalam bahasa Inggris disebut “Theocracy”, tetapi teokrasi Islam yaitu sesuatu yang cukup berbeda dari teokrasi yang pernah menjadi pengalaman pahit Eropa... Jika aku diizinkan untuk memperlihatkan satu term baru, aku akan mendeskripsikan sistem pemerintahan ini sebagai sebuah “teo-Demokrasi”, untuk menyampaikan pemerintahan demokrasi ke-Tuhanan, alasannya di bawahnya Muslim diberikan kedaulatan rakyat terbatas di bawah kedaulatan Tuhan. Eksekutif di bawah sistem pemerintahan ini diputuskan oleh harapan general Muslim yang juga mempunyai hak untuk membatalkannya. Semua urusan administratif dan semua pertanyaan wacana hal-hal yang tidak ada aturan eksplisit dalam syari’ah diputuskan melalui konsensus di antara pendapat kaum Muslim. Setiap Muslim yang bisa dan qualified memperlihatkan pendapat mengenai urusan aturan Islam, berhak menginterpretasikan aturan Tuhan saat penafsiran diperlukan. Dalam hal ini politik Islam yaitu demokrasi” (Abul A’la al-Maududi 1960: 147-148).
Banyak intelektual Muslim, termasuk dalam kelompok kedua (modernis dan neo-modernis), mendapatkan terma demokrasi* dengan modifikasi-modifikasi tertentu yang sejalan dengan anutan Islam, di antara mereka yaitu Fazlur Rahman, Hamid Enayat, Muhammad Asad dan Jafid Iqbal. Menurut Muhammad Asad: “Dewan legislatif—majelis syura—harus benar-benar merepresentasikan semua masyarakat pria dan perempuan, sifat representatif bisa diterima hanya melalui pemilihan bebas dan umum, oleh jadinya anggota dewan harus dipilih dengan sarana hak pilih terluas yang mungkin termasuk pria dan perempuan”.
Jafid Iqbal bahwasanya menyampaikan bahwa kedaulatan mutlak dan otoritas sewenang-wenang hanya milik Tuhan, oleh jadinya dia mendapatkan supremasi aturan Islam, tetapi mereka mendapatkan metode demokrasi sejauh pemilihan pemimpin Islam dan implementasi syari’ah diperhatikan. Dia juga menyatakan bahwa Islam menjamin ketidakterabaian hak-hak manusia, dan lain-lain, kesetaraan status dan kesempatan, kesetaraan di hadapan hukum, kebebasan berpikir, berekspresi, kepercayaan, iman, ibadah, asosiasi, karya, gerakan, perdagangan, bisnis, dan profesi, dan hak untuk mempunyai dan mengalihkan kepemilikan, menunjuk pada aturan Islam dan moralitas.
Lepas dari pembahasan di atas, sungguh terdapat problem dalam penerapan kepercayaan Islam dan demokrasi secara simultan. John L. Esposito dan James P. Piscatory telah meneliti bahwa kedua prinsip demokrasi dan proses demokratisasi merupakan subjek debat yang cukup ramai di antara kaum Muslim. Bagi yang lain, nilai-nilai Islam dan nilai-nilai demokratis merupakan antitesis secara inheren, menyerupai tampak pada isu-isu, misalnya, ketidaksetaraan antara mukmin dan non-mukmin, juga antara pria dan perempuan. Meskipun demikian, mereka juga mencatat bahwa, di samping beberapa Muslim radikal menolak bentuk apa pun dari demokrasi parlementer sebagai sebuah bentuk Westernisasi* dan ketimpangan dengan tradisi lokal, banyak, kalau tidak sebagian besar, intelektual dan penggerak Islam mencoba memasuki term dengan wangsit dan proses demokratis. Lebih lagi, dalam upaya menjalankan program-program politik mereka, gerakan Islam di banyak negara Muslim, menyerupai di Aljazair (sekarang di bawah pemerintahan Ban), Jordan, Pakistan, Yaman, Tunisia, dan Indonesia, memperlihatkan bergunanya bekerja dalam sistem politik dan mereka telah sukses memenangkan kursi-kursi dewan legislatif dan memegang posisi-posisi kabinet.
Berkaitan dengan nilai-nilai antitesis antara Islam dan demokrasi banyak intelektual Muslim yang termasuk kelompok kedua juga telah berupaya mereinterpretasi doktrin-doktrin Islam, khususnya mengenai kedudukan perempuan dan non-Muslim. Penafsiran gres cenderung menghapus diskriminasi antara mereka, meskipun kebanyakan dari mereka melanjutkan mendukung aturan Islam mengenai poligami dan warisan. Sementara itu, intelektual yang termasuk kelompok ketiga mendukung secara penuh demokrasi menurut sekularisme* dengan mengabaikan kepercayaan Islam, alasannya mereka memosisikan agama dalam urusan personal.
Sumber
Masykuri Abdillah. 2007. Islam dan Humanisme; Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Download