Wanita Dalam Kepercayaan Islam Klasik

Banyak argumen sudah diajukan bahwa Islam memperlihatkan kedudukan yang tinggi pada wanita. Dalam kenyataannya, salah satu hadis Nabi Muhammad SAW menyampaikan bahwa nirwana berada di telapak kaki ibu. Dalam hadis lain dikatakan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW ditanya siapa orang pertama yang harus dihormati di dunia ini. Nabi menjawab “ibumu”. Jawaban tersebut diulangi hingga tiga kali oleh Nabi untuk memperlihatkan nilai pentingnya. Hanya dalam balasan keempat seseorang harus menghormati ayahnya.

Meski demikian, kesulitan muncul ketika seseorang juga menemukan beberapa hadis sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari, al-Tirmidzi, dan al-Natsir yang menegaskan bahwa suatu masyarakat tidak akan pernah mencapai posisi puncak selama dipimpin oleh wanita. Hadis-hadis semacam ini dilihat oleh beberapa kalangan sangat merendahkan derajat kaum wanita.

Ungkapan-ungkapan kontradiktif lainnya perihal perempuan juga ditemukan dalam al-Qur’an. Di satu sisi, al-Qur’an membuat pernyataan yang sanggup dipahami memperlihatkan status yang sederajat antara laki-laki dan wanita. Dalam surat al-Hujurat (al-Qur’an 49:13) disebutkan bahwa Allah sudah membuat laki-laki dan perempuan dalam suku dan bangsa yang berbeda-beda, sehingga mereka satu sama lain sanggup saling mengenal. Dalam surat an-Nisa (Qur’an 4: 124), juga disebutkan bahwa perbuatan yang mulia baik dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan akan diberikan imbalan yang sederajat oleh Allah di alam abadi selama mereka beriman kepada Allah. Logika yang muncul adalah, kalau Allah saja tidak membedakan pahala bagi laki-laki dan wanita, mengapa kita harus membedakan honor kerja mereka di dunia ini hanya alasannya yaitu dilema jenis kelamin.

Namun di sisi lain ada juga ayat al-Qur’an yang memperlihatkan bahwa kedudukan perempuan berada di bawah pria. Dalam surat an-Nissa (Qur’an 4:1), dipahami bahwa Siti Hawa, istri Nabi Adam, diciptakan dari tulang rusuk yang pertanda sifat dasar perempuan yang lebih rendah daripada pria.

Dalam surat yang sama (an-Nissa, 4: 34) juga disebutkan bahwa laki-laki yaitu pemimpin (qawwamun) bagi wanita. Ini memperlihatkan bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya daripada wanita. Masih dalam ayat yang sama, disebutkan bahwa suami boleh memukul istrinya alasannya yaitu alasan istri tidak taat kepadanya; hal ini pertanda sifat dasar dari rendahnya kedudukan perempuan di hadapan pria. Lagi, dalam surat yang lain (an-Nissa) ada ayat yang merendahkan derajat perempuan bahwa anak laki-laki mendapat dua kali bab perempuan dalam hal harta warisan. Akhirnya, ayat yang merendahkan status perempuan ditemukan dalam surat al-Baqarah (Qur’an 2: 282), yang menyatakan bahwa kesaksian perempuan dalam perjanjian utang piutang separo dari kesaksian pria, sebuah inspirasi yang tidak mungkin bagi masyarakat modern.

Setelah melihat pernyataan-pernyataan yang saling bertentangan dalam sumber-sumber di atas, baik al-Qur’an maupun hadis, sebuah pernyataan muncul ke dalam kelompok mana (tingginya derajat perempuan atau rendahnya derajat mereka di bawah pria) iman Islam yang standar dan mapan masuk? Tampaknya, di sini jawabannya Islam yang lebih bersifat historis dan sosiologis ketimbang doktrinal atau berasal sumber kitab suci. Dalam sepuluh tahun kelahiran Islam, yakni pada masa Nabi Muhammad dan para sobat besar, perempuan tampak menikmati kebebasan yang besar dalam menjalani kehidupan mereka. Namun hal ini tidak berlangsung lama, khususnya sesudah kemunculan para penafsir al-Qur’an. Sudah umum diterima bahwa para penafsir al-Qur’an memainkan peranan yang cukup besar dalam membentuk tafsiran atas kemauan dan perintah Tuhan. Secara khusus, hal ini benar dilihat dari sisi al-Qur’an yang tidak terperinci sifat dasarnya, atau bahkan saling bertentangan satu sama lain baik antara ayat al-Qur’an itu sendiri maupun dengan hadis. Generasi pertama penafsir al-Qur’an ini tentunya merupakan orang-orang yang pintar dengan kedekatan tertentu pada Nabi atau pada masa Nabi. Namun pada ketika yang sama mereka juga yaitu orang-orang dari kelas atau segmen masyarakat tertentu dengan disertai bias termasuk salah satunya yaitu bias patriarki*. Ketika mereka melihat Islam memperlihatkan bab separo pada anak perempuan dalam dilema warisan, mereka eksklusif merasa puas bahwa hal ini merupakan iman standar dari Islam. Hal ini terjadi alasannya yaitu sistem semacam ini sudah banyak diterapkan dan merupakan praktik yang terjadi pada masa sebelum Islam, di mana perempuan sangat tidak dihargai sehingga mereka mungkin tidak berpikir bahwa ketentuan tersebut menaik ditinjau dari karakteristik dasarnya, artinya bahwa suatu ketika bab perempuan harus sama dengan bab pria.

Bias patriarki* semacam ini kemudian diperkuat lagi oleh para perawi hadis. Meskipun beberapa perawi hadis (isnad) yaitu wanita, tetapi perawi hadis (perawi kutub al-sittah) yaitu laki-laki dengan latar belakang sosial mereka. Enam perawi ini hidup di kurun kedelapan hingga kesepuluh, waktu di mana struktur keluarga patriarki* yang tradisional muncul di semua sudut dunia muslim. Ternyata kenyataan ini tidak hanya terjadi dalam masyarakat muslim tapi juga terjadi di masyarakat agama lain. Oleh alasannya yaitu itu, mungkin secara tidak sadar hal ini sudah menjadi perilaku mereka untuk melihat superioritas laki-laki sebagai suatu yang diterima begitu saja (taken for granted) sebagaimana diperlihatkan dalam beberapa hadis yang mereka kumpulkan.

Peran final dalam pembentukan iman Islam yang mapan (established doctrine) perihal perempuan dimainkan oleh para sarjana aturan Islam, fuqaha melalui karya-karya kitab fiqh mereka yang dinamakan kutub al-fiqhiyah (kitab yang bersisi yurisprudensi Islam). Kejadian ini terjadi mula-mula dengan pembentukan mazhab aturan Islam rasional dan tradisional (ahlal-rayi dan ahlal-hadis) yang kemudian ditransformasikan ke dalam empat mazhab sunni: Maliki, hanafi, Syafi’i dan Hambali. Dengan menguatnya posisi aturan Islam di antara disiplin ilmu pengetahuan keislaman lainnya, kitab-kitab fiqh ini menjadi petunjuk otoritas dan sumber utama bagi iman yang mapan perihal wanita. Sekali lagi, kitab-kitab fiqh ini bukan tanpa bias etnik, pedesaan, perkotaan dan bias gender. Karya-karya aturan Islam ini sudah mengambil posisi untuk mendukung kelompok ayat-ayat Qur’an maupun hadis yang cenderung menyukai superioritas laki-laki. Oleh alasannya yaitu itu, sempurnalah aksara patriarki* dalam iman Islam yang mapan perihal perempuan ini, dan kenyataan ini tidak dipertanyakan lagi selama beberapa kurun dalam dunia muslim hingga permulaan kurun ke-20.

Sumber
M. Atho Mudzhar. 2007. Islam dan Humanisme; Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Pustaka Pelajar. Yogyakarta


Download

Baca Juga

Baca Juga

Perempuan dalam Masyarakat Muslim

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel