Joseph Butler. Refleksi Dan Emosi

Butler tidak termasuk filsuf besar. Ia tidak membuat sebuah sistem dan tidak menulis uraian lengkap wacana etika. Butler disebut di sini alasannya ialah di dalam sedikit yang ditulisnya, ia berhasil menyingkap beberapa pandangan filsafati serta menjelaskan beberapa struktur dalam insan yang pribadi relevan bagi etika.

Joseph Butler lahir pada tahun 1692 di Wantage di Inggris. Ia berguru di Oxford dan ditahbiskan imam dalam Gereja Anglikan. Pada tahun 1738 ia diangkat sebagai uskup di Bristol dan pada tahun 1751 di Durham. Tulisannya yang terpenting ialah Fifteen Sermons Preached at the Rolls Chapel dari tahun 1726.


Menurut Shaftesbury dan Hutcheson, kemampuan utama moralitas insan ialah perasaan moral spontan. Perasaan itu menyatakan diri, misalnya, dalam perasaan belas kasih dan simpati. Berdasarkan perasaan itu, mereka menolak anggapan Hobbes* bahwa insan mencari kepentingannya sendiri. Dengan demikian, mereka juga menolak anggapan bahwa insan pada hakikatnya bersifat egois. Manusia secara impulsif sanggup bersikap altruistik.

Kelemahan teori wacana perasaan moral ialah bahwa suatu perasaan hanyalah sebuah kesan, sebuah kenyataan faktual belaka. Merasakan sesuatu tidak menjawab pertanyaan bagaimana kita harus bersikap terhadap perasaan itu. apakah segenap perasaan harus diikuti? Jadi, jika moralitas tidak lebih dari sekedar perasaan yang kadang kala muncul, bagaimana moralitas sanggup dibutuhkan membimbing hidup kita? Apabila moralitas tidak lebih dari sebuah perasaan, apa alasannya kita merasa harus lebih taat terhadap perasaan itu daripada terhadap perasaan-perasaan lain, menyerupai contohnya hawa nafsu? Mengapa perasaan moral menunjukkan diri sebagai lebih penting dan lebih pantas ditaati daripada perasaan-perasaan lain? Mengapa moralitas harus didahulukan?

Salah satu jasa Butler ialah ia mengatasi anggapan bahwa moralitas pada hakikatnya merupakan perasaan. Menurut Butler, kita harus membedakan antara dua macam pengalaman batin; antara dorongan-dorongan impulsif pribadi di satu pihak dan kemampuan untuk merefleksikan dorongan-dorongan itu di lain pihak. Suatu perasaan termasuk dorongan spontan. Namun, inilah anggapan Butler, hakikat moralitas tidak terletak dalam banyak sekali perasaan yang barangkali menyertainya, melainkan dalam kenyataan bahwa ia mempertimbangkan dan menilai baik dorongan-dorongan impulsif maupun tantangan-tantangan lain yang kita alami. Jadi, moralitas pada hakikatnya bukan perasaan, melainkan kemampuan untuk berefleksi.

Mari kita melihat bagaimana Butler menjelaskan perbedaan antara dua macam kemampuan batin kita itu yang sering kurang diperhatikan. Yang pertama, dorongan-dorongan spontan, termasuk banyak sekali naluri, keinginan, perasaan, dan nafsu, yang muncul begitu saja dalam diri kita, tanpa kita menghendakinya. Dorongan-dorongan ini buta, dalam arti bahwa mereka pribadi terarah kepada sebuah objek tanpa pertimbangan apa-apa. Orang lapar terdorong makan, orang yang terangsang seksualitas terdorong untuk memuaskannya, orang yang terharu melihat pengemis ingin membantu. Semuanya tanpa pertimbangan apakah itu baik atau tidak, sempurna waktu atau tidak, menguntungkan bagi diri kita sendiri atau bagi orang lain. Dorongan itu sendiri, yang kita nilai “baik” dan yang kita nilai “buruk”, buta terhadap hal baik buruk.

Dalam dorongan impulsif itu termasuk dorongan-dorongan fisiologis tadi, kemudian takut atau marah, segala macam nafsu, menyerupai contohnya nafsu membalas dendam atau godaan untuk mencuri atau untuk menonjolkan diri. Begitu pula, dorongan untuk mencari kedudukan, kekayaan, atau nikmat. Dorongan-dorongan sosial menyerupai benevolence, rasa belas kasih, dan cita-cita untuk berbuat baik kepada orang lain termasuk juga di dalamnya. Yang khas bagi semua dorongan batin itu ialah bahwa mereka pribadi mengarah kepada satu sasaran tertentu, tanpa perhatian wacana sarana yang digunakan untuk mencapainya dan terhadap jawaban pemenuhan dorongan itu bagi kita dan bagi orang lain.


Moralitas justru tidak termasuk dorongan-dorongan itu. Dorongan-dorongan itu pada dirinya sendiri buta terhadap segi moral. Yang dimaksud jika kita bicara wacana moralitas ialah sebuah kemampuan yang menilai dorongan-dorongan itu. Jadi, suatu kemampuan refleksi sering bagaikan bunyi yang menyampaikan kepada kita apakah mengikuti suatu rasa ketertarikan itu baik atau tidak baik. Karena itu, Butler bicara wacana refleksi atau bunyi hati.

Kemampuan itu sangat penting bagi kedirian manusia. Hanya alasannya ialah insan sanggup mengambil jarak terhadap segala macam perasaan dan dorongan spontan, kemudian menilainya dan kesudahannya memilih bagaimana ia bersikap terhadapnya, insan itu bebas. Tanpa kemampuan refleksi atau bunyi hati itu insan hanyalah sekedar objek banyak sekali gerakan batin. Ia akan begitu saja mengikuti mana yang paling kuat, persis menyerupai binatang. Namun, alasannya ialah insan sanggup mengambil jarak dan menawarkan penilaian, ia menyetujui atau menolak nafsu dan dorongan-dorongan dalam dirinya itu, dan ia bebas terhadap mereka.

Karena itu, anggapan yang mengembalikan moralitas pada sebuah perasaan tidak tepat. Moralitas merupakan pelaksanaan kemampuan refleksi manusia, kemampuan untuk—dalam bahasa modern—bertanggung jawab. Suara hati bukan emosi, melainkan menyampaikan apa yang wajib kita lakukan.

Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta


Download

Baca Juga

Baca Juga

1. Joseph Butler. Kodrat Manusia
2. Joseph Butler. Cinta Diri Tenang

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel