Nawal El-Saadawi. “Perempuan Di Titik Nol”
Nawal el-Saadawi seorang pejuang hal-hak wanita dari Mesir, yang berusaha membongkar budaya patriarkhi* di Mesir, melalui karya -karya novelnya yang kontroversial. Kesetaraan gender menurutnya yaitu universal. Selain itu, Nawal juga mengkritik pemerintah berkaitan dengan kebijakan di bidang ekonomi. Karena hal tersebut dinilainya sangat merugikan kaum wanita pada masanya.
Karya novelnya yang begitu kelihatan dalam hal ini yaitu “Perempuan di Bawah Nol” yang juga ternyata di angkat dari dongeng nyata (non fiksi) hanya saja dibumbui dengan bahasa sastra oleh El-Saadawi. Novel ini berkisah wacana perjalanan hidup seorang wanita Mesir berjulukan Firdaus, yang karena ketiadakberdayaannya untuk membela diri, maka dongeng Firdaus ini berakhir tragis yaitu mati diujung tiang gantungan. Firdaus mempunyai masa kecil di desa, sampai ketika sampaumur menjadi pelacur, kemudian mendapat vonis eksekusi mati dikarenakan ia membunuh seorang germo. Firdaus dituliskan Nawal sebagai wanita korban budaya patriarki*, budaya yang menomorduakan perempuan. Sosok wanita yang biasanya di anggap lemah, tapi bisa melahirkan kekuatan yang hebat, mendatangkan ketakutan karena telah membuka tameng kemunafikan yang terselimuti oleh religi dan prasangka.
Sejak masih kecil Firdaus telah di tinggal mati oleh kedua orang tuanya, kemudian ia hidup dan tinggal bersama pamannya. Hingga suatu ketika sehabis beranjak dewasa, pamannya jualah yang pertama memperkosanya. Pamannya ini kemudian mengawinkannya dengan seorang yang menjadi algojo penyiksaannya, yang menyiksa Firdaus setiap saat. Firdaus melarikan diri dari suami penyiksa tersebut, namun berlanjut pertemuan dengan pria-pria pemerkosa. Sampai alhasil Firdaus bertemu dengan germo yang menjual dirinya untuk mendapat keuntungan, tanpa peduli pada Firdaus. Dari germo inilah kemudian Firdaus mendapat pelajaran bahwa kita sendirilah yang memilih harga untuk diri kita. Hingga kemudian Firdaus bisa mematok harga tertinggi dari pelacurannya. Pada alhasil Firdaus meninggalkan sang germo, untuk mencari pekerjaan layak. Bermodal ijasah sekolah dasar dan sekolah menengahnya, Firdaus berjuang sampai menjadi seorang karyawati biasa. Sampai ketika Firdaus mencicipi jatuh cinta pada Ibrahim, cinta yang membawa rasa sakit yang terlalu dalam buat Firdaus.
Itulah sepenggal dongeng dari novel “Perempuan di Titik Nol”, karya Nawal El Saadawi yang mengungkap besarnya beban hidup wanita Arab oleh karena budaya yang menomorduakan wanita atau patriarkhi*, yang merupakan temuan dari penelitian Nawal wacana wanita yang dipenjara. Tapi tidak sebatas wanita di penjara, Nawal El Saadawi juga mengadakan penelitiaan wacana aborsi. Hasil penelitiaan ini sangatlah mengejutkan dimana tindakan pengguguran marak dilakukan oleh keluarga yang mampu, tiga kali lipat lebih banyak dibanding dengan keluarga yang tidak mampu.
Melihat dari itu semua kasus-kasus di atas bisa terjadi karena sangat berafiliasi erat dengan problem konsep patriarki*. Kaum wanita berada pada pihak yang termarginalkan, tertindas, terkekang sementara kaum lelaki malah melanggengkan kekuasaan penindasan tersebut. Dalam tradisi sunat perempuaan, khususnya di tempat Arab yang pernah El Saadawi jelajahi, wanita ada pada pihak yang termarjinalkan dan menderita. Dalam masalah kekerasan seksual perempuanlah yang menjadi korbannya dan berada pada pihak yang sangat dirugikan. Begitu juga dalam masalah pengguguran perempuanlah yang menjadi objek masalahnya dan menyampingkan kaum lelaki yang sebenarnya menjadi subjek utama dari masalah ini semua. Perempuan selalu harus berhadapan dengan hukum, sedangkan kaum lelaki begitu gampang bebas dan lepas dari jeratan aturan tersebut.
Di Mesir nuansa patriarkhi begitu kuat, baik secara struktur atau kultur masyarakat yang masih menomerduakan wanita dalam segala aspek kehidupan. El-Saadawi, dengan karya novelnya merupakan suatu refleksi pemaknaan seksualitas dan posisi wanita dalam kaitannya dengan kekuasaan posisi sosial laki-laki, dengan novelnya tersebut El-Saadawi memunculkan penokohan abjad pemberontak terhadap apa yang sudah dijalani masyarakat wacana kebebasan dan hak dari jenis kelamin wanita di mana Firdaus sebagai tokoh utama mencoba merekonstruksi diri dari kekuasaan badan wanita yang berbeda dengan norma masyarakat dan nilai kesucian agama dalam suatu titik pembahasan mengenai privilege laki-laki dalam konteks pelacuran dan pernikahan. Hal ini, berdasarkan El-Saadawi, seksualitas dalam norma masyarakat yang berlaku yaitu privilege bagi laki-laki dalam konteks poligami.
Konsep kekuasan, dan dominasi laki-laki dalam ranah domistik (keluarga) terlihat dalam ranah perkawinan. Hal ini sanggup dilihat dari novel el-Saadawi “Perempuan di Titik Nol”,
“Semua wanita yaitu korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan kepada wanita dan kemudian menghukum mereka alasannya sudah tertipu, menindas mereka ketingkat terbawah, dan menghukum mereka karena telah jatuh begitu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan dan menghukum mereka dengan kerja bernafsu sepanjang umur mereka, atau menghantam mereka dengan penghinaan atau dengan pukulan”.
“Kini saya sadari bahwa yang paling sedikit diperdayakan dari semua wanita yaitu pelacur. Perkawinan yaitu forum yang dibangun atas penderitaan yang paling kejam untuk kaum perempuan”.
Paragraf di atas yaitu kritik tajam terhadap banyak sekali aspek kehidupan sosial (publik) dalam perspektif patriarkhi* yang masuk dalam ranah domistik dan personal bahkan merambah ke ranah penafsiran teks-teks agama dalam masyarakat yang mengagungkan nilai-nilai maskulinitas. Pandangan ini menunjukkan kebebasan berpikirnya dalam melihat dan mencicipi pengalaman dunianya yang kemudian sastra menjustifikasi pemikiran El-Saadawi juga menjadi mediasi sosialisasi pemikiran tersebut. Paragraf di atas menggambarkan menguatnya paham patriarkhi, sehingga memberi kebebasan bagi laki- laki untuk bertindak dan memasung wanita untuk bekerja di ranah publik. Budaya patriarkhi* secara struktur dan kultur masyarakat serta teks-teks nash, yang ditafsirkan secara misoginis, memberi efek ketidakberdayaan wanita atas dirinya sendiri, ia tidak merdeka dengan dirinya secara personal karena sudah diambil alih hak-haknya oleh laki-laki yang berjulukan suami. Dan keputusan terakhir yang dipilih lebih besar hati menjadi pelacur, karena kebebasan dirinya sudah dirampas dan harga dirinya pun sebagai wanita sudah tidak ada artinya lagi di mata laki-laki (suami). “Istri yaitu pelacur yang dibayar paling murah”, demikian tutur Firdaus dalam Perempuan di Titik Nol. Firdaus yaitu hasil inses, tokoh pelacur menjelang eksekusi mati yang menciptakan sebuah rumusan Timur Tengah. Atas nama susila dan agama, para wanita mengalami penzaliman sehari-hari oleh suami dan keluarganya.
Itulah sebabnya nyawa Saadawi berulang kali terancam. Kalangan garis keras yang murka dan menganggap darahnya halal mendorong Saadawi mengasingkan diri dari Mesir dan mengajar di Universitas Washington di Seattle AS, buku nonfiksinya berjudul “Women dan Sex” (1972) yaitu awal Saadawi dimasukkan ke dalam daftar hitam. Buku ini memaparkan data-data nyata pengecilan dan penyiksaan para wanita di pedesaan Mesir. Maka pemerintah Mesir melarang penerbitan buku tersebut karena dianggap berbahaya bagi masyarakat. Saadawi dipecat dari jabatannya sebagai Direktur Pendidikan Kesehatan Mesir dan sebagai pemimpin jurnal kesehatan. Namun justru karena kejadian itulah, hal yang tabu dibicarakan di masyarakat Mesir menjadi perbincangan hangat dalam publik, yang tak lain karena jasa Saadawi. Buku ini bagai membuka belakang layar gelap masyarakat Arab yang selama ini disembunyikan. Pergumulan makna kemerdekaan Saadawi mencapai kematangannya ketika ia ditahan selama setahun pada masa penerintahan Anwar Sadat.
Saadawi yaitu seorang pemberontak semenjak lahir. Ia yaitu wanita yang mencicipi tubuhnya dikucilkan, tak bermakna semenjak bayi. Itu lantaran, ketika ia lahir, kehadirannya tak diharapkan. Dalam catatan hariannya yang begitu jujur, berjudul “The Daughter of Isis”. Ketika jabang bayi itu keluar dari rahim, sang dukun anak di Desa Katr Tahla, Delta Mesir, bersahabat Kairo, kampung halaman Saadawi, tidak mengekpresikan sorak sorai kegemberiaan. Dengan nada menyesal ia memberitahu bahwa sang anak bukan laki-laki. Lalu sang orok bayi Saadawi di masukkan ke dalam baskom. Mereka meminta petunjuk kepada Tuhan apakah lebih baik membiarkan hidup atau menghanyutkan ke sungai untuk meringankan beban semua orang. “Lahir sebagai wanita yaitu dosa” dalam buku “The Daughter of Isis”.
Sumber
• Jurnal Lentera: Kajian Keagamaan, Keilmuan dan Teknologi Volume 3, Nomor 1, March 2017
• http://cendrawasih11.com//search?q=konsep-sosiologi-patriarki" target="_blank">Nawal El-Saadawi. Biografi dan Pemikiran
Karya novelnya yang begitu kelihatan dalam hal ini yaitu “Perempuan di Bawah Nol” yang juga ternyata di angkat dari dongeng nyata (non fiksi) hanya saja dibumbui dengan bahasa sastra oleh El-Saadawi. Novel ini berkisah wacana perjalanan hidup seorang wanita Mesir berjulukan Firdaus, yang karena ketiadakberdayaannya untuk membela diri, maka dongeng Firdaus ini berakhir tragis yaitu mati diujung tiang gantungan. Firdaus mempunyai masa kecil di desa, sampai ketika sampaumur menjadi pelacur, kemudian mendapat vonis eksekusi mati dikarenakan ia membunuh seorang germo. Firdaus dituliskan Nawal sebagai wanita korban budaya patriarki*, budaya yang menomorduakan perempuan. Sosok wanita yang biasanya di anggap lemah, tapi bisa melahirkan kekuatan yang hebat, mendatangkan ketakutan karena telah membuka tameng kemunafikan yang terselimuti oleh religi dan prasangka.
Sejak masih kecil Firdaus telah di tinggal mati oleh kedua orang tuanya, kemudian ia hidup dan tinggal bersama pamannya. Hingga suatu ketika sehabis beranjak dewasa, pamannya jualah yang pertama memperkosanya. Pamannya ini kemudian mengawinkannya dengan seorang yang menjadi algojo penyiksaannya, yang menyiksa Firdaus setiap saat. Firdaus melarikan diri dari suami penyiksa tersebut, namun berlanjut pertemuan dengan pria-pria pemerkosa. Sampai alhasil Firdaus bertemu dengan germo yang menjual dirinya untuk mendapat keuntungan, tanpa peduli pada Firdaus. Dari germo inilah kemudian Firdaus mendapat pelajaran bahwa kita sendirilah yang memilih harga untuk diri kita. Hingga kemudian Firdaus bisa mematok harga tertinggi dari pelacurannya. Pada alhasil Firdaus meninggalkan sang germo, untuk mencari pekerjaan layak. Bermodal ijasah sekolah dasar dan sekolah menengahnya, Firdaus berjuang sampai menjadi seorang karyawati biasa. Sampai ketika Firdaus mencicipi jatuh cinta pada Ibrahim, cinta yang membawa rasa sakit yang terlalu dalam buat Firdaus.
Itulah sepenggal dongeng dari novel “Perempuan di Titik Nol”, karya Nawal El Saadawi yang mengungkap besarnya beban hidup wanita Arab oleh karena budaya yang menomorduakan wanita atau patriarkhi*, yang merupakan temuan dari penelitian Nawal wacana wanita yang dipenjara. Tapi tidak sebatas wanita di penjara, Nawal El Saadawi juga mengadakan penelitiaan wacana aborsi. Hasil penelitiaan ini sangatlah mengejutkan dimana tindakan pengguguran marak dilakukan oleh keluarga yang mampu, tiga kali lipat lebih banyak dibanding dengan keluarga yang tidak mampu.
Melihat dari itu semua kasus-kasus di atas bisa terjadi karena sangat berafiliasi erat dengan problem konsep patriarki*. Kaum wanita berada pada pihak yang termarginalkan, tertindas, terkekang sementara kaum lelaki malah melanggengkan kekuasaan penindasan tersebut. Dalam tradisi sunat perempuaan, khususnya di tempat Arab yang pernah El Saadawi jelajahi, wanita ada pada pihak yang termarjinalkan dan menderita. Dalam masalah kekerasan seksual perempuanlah yang menjadi korbannya dan berada pada pihak yang sangat dirugikan. Begitu juga dalam masalah pengguguran perempuanlah yang menjadi objek masalahnya dan menyampingkan kaum lelaki yang sebenarnya menjadi subjek utama dari masalah ini semua. Perempuan selalu harus berhadapan dengan hukum, sedangkan kaum lelaki begitu gampang bebas dan lepas dari jeratan aturan tersebut.
Di Mesir nuansa patriarkhi begitu kuat, baik secara struktur atau kultur masyarakat yang masih menomerduakan wanita dalam segala aspek kehidupan. El-Saadawi, dengan karya novelnya merupakan suatu refleksi pemaknaan seksualitas dan posisi wanita dalam kaitannya dengan kekuasaan posisi sosial laki-laki, dengan novelnya tersebut El-Saadawi memunculkan penokohan abjad pemberontak terhadap apa yang sudah dijalani masyarakat wacana kebebasan dan hak dari jenis kelamin wanita di mana Firdaus sebagai tokoh utama mencoba merekonstruksi diri dari kekuasaan badan wanita yang berbeda dengan norma masyarakat dan nilai kesucian agama dalam suatu titik pembahasan mengenai privilege laki-laki dalam konteks pelacuran dan pernikahan. Hal ini, berdasarkan El-Saadawi, seksualitas dalam norma masyarakat yang berlaku yaitu privilege bagi laki-laki dalam konteks poligami.
Konsep kekuasan, dan dominasi laki-laki dalam ranah domistik (keluarga) terlihat dalam ranah perkawinan. Hal ini sanggup dilihat dari novel el-Saadawi “Perempuan di Titik Nol”,
“Semua wanita yaitu korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan kepada wanita dan kemudian menghukum mereka alasannya sudah tertipu, menindas mereka ketingkat terbawah, dan menghukum mereka karena telah jatuh begitu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan dan menghukum mereka dengan kerja bernafsu sepanjang umur mereka, atau menghantam mereka dengan penghinaan atau dengan pukulan”.
“Kini saya sadari bahwa yang paling sedikit diperdayakan dari semua wanita yaitu pelacur. Perkawinan yaitu forum yang dibangun atas penderitaan yang paling kejam untuk kaum perempuan”.
Paragraf di atas yaitu kritik tajam terhadap banyak sekali aspek kehidupan sosial (publik) dalam perspektif patriarkhi* yang masuk dalam ranah domistik dan personal bahkan merambah ke ranah penafsiran teks-teks agama dalam masyarakat yang mengagungkan nilai-nilai maskulinitas. Pandangan ini menunjukkan kebebasan berpikirnya dalam melihat dan mencicipi pengalaman dunianya yang kemudian sastra menjustifikasi pemikiran El-Saadawi juga menjadi mediasi sosialisasi pemikiran tersebut. Paragraf di atas menggambarkan menguatnya paham patriarkhi, sehingga memberi kebebasan bagi laki- laki untuk bertindak dan memasung wanita untuk bekerja di ranah publik. Budaya patriarkhi* secara struktur dan kultur masyarakat serta teks-teks nash, yang ditafsirkan secara misoginis, memberi efek ketidakberdayaan wanita atas dirinya sendiri, ia tidak merdeka dengan dirinya secara personal karena sudah diambil alih hak-haknya oleh laki-laki yang berjulukan suami. Dan keputusan terakhir yang dipilih lebih besar hati menjadi pelacur, karena kebebasan dirinya sudah dirampas dan harga dirinya pun sebagai wanita sudah tidak ada artinya lagi di mata laki-laki (suami). “Istri yaitu pelacur yang dibayar paling murah”, demikian tutur Firdaus dalam Perempuan di Titik Nol. Firdaus yaitu hasil inses, tokoh pelacur menjelang eksekusi mati yang menciptakan sebuah rumusan Timur Tengah. Atas nama susila dan agama, para wanita mengalami penzaliman sehari-hari oleh suami dan keluarganya.
Itulah sebabnya nyawa Saadawi berulang kali terancam. Kalangan garis keras yang murka dan menganggap darahnya halal mendorong Saadawi mengasingkan diri dari Mesir dan mengajar di Universitas Washington di Seattle AS, buku nonfiksinya berjudul “Women dan Sex” (1972) yaitu awal Saadawi dimasukkan ke dalam daftar hitam. Buku ini memaparkan data-data nyata pengecilan dan penyiksaan para wanita di pedesaan Mesir. Maka pemerintah Mesir melarang penerbitan buku tersebut karena dianggap berbahaya bagi masyarakat. Saadawi dipecat dari jabatannya sebagai Direktur Pendidikan Kesehatan Mesir dan sebagai pemimpin jurnal kesehatan. Namun justru karena kejadian itulah, hal yang tabu dibicarakan di masyarakat Mesir menjadi perbincangan hangat dalam publik, yang tak lain karena jasa Saadawi. Buku ini bagai membuka belakang layar gelap masyarakat Arab yang selama ini disembunyikan. Pergumulan makna kemerdekaan Saadawi mencapai kematangannya ketika ia ditahan selama setahun pada masa penerintahan Anwar Sadat.
Saadawi yaitu seorang pemberontak semenjak lahir. Ia yaitu wanita yang mencicipi tubuhnya dikucilkan, tak bermakna semenjak bayi. Itu lantaran, ketika ia lahir, kehadirannya tak diharapkan. Dalam catatan hariannya yang begitu jujur, berjudul “The Daughter of Isis”. Ketika jabang bayi itu keluar dari rahim, sang dukun anak di Desa Katr Tahla, Delta Mesir, bersahabat Kairo, kampung halaman Saadawi, tidak mengekpresikan sorak sorai kegemberiaan. Dengan nada menyesal ia memberitahu bahwa sang anak bukan laki-laki. Lalu sang orok bayi Saadawi di masukkan ke dalam baskom. Mereka meminta petunjuk kepada Tuhan apakah lebih baik membiarkan hidup atau menghanyutkan ke sungai untuk meringankan beban semua orang. “Lahir sebagai wanita yaitu dosa” dalam buku “The Daughter of Isis”.
Sumber
• Jurnal Lentera: Kajian Keagamaan, Keilmuan dan Teknologi Volume 3, Nomor 1, March 2017
• http://cendrawasih11.com//search?q=konsep-sosiologi-patriarki" target="_blank">Nawal El-Saadawi. Biografi dan Pemikiran