Hermeneutika Produktif Hans Georg Gadamer
Kata "hermeneutika" (Inggris: hermeneutics) berasal dari kata kerja Yunani hermeneuo: mengartikan, menginterpretasikan, menafsirkan, menerjemahkan. Baru dalam kurun ke-17 dan ke-18 istilah ini mulai digunakan untuk menunjukkan anutan perihal aturan-aturan yang harus diikuti dalam mengerti dan menafsirkan dengan sempurna suatu teks dari masa lampau, khususnya kitab suci dan teks-teks klasik (Yunani dan Romawi). Dalam filsafat remaja ini istilah hermeneutika digunakan dalam suatu arti yang sangat luas dan mencakup hampir semua tema filosofis yang tradisional, sejauh berkaitan dengan persoalan "bahasa". Pada pokoknya filsafat ini berefleksi perihal "mengerti" (verstehen). Filsafat sebagai hermeneutika membahas pertanyaan-pertanyaan menyerupai berikut ini. Apakah itu "mengerti" ? Apakah yang terjadi, kalau kita insan menjalankan "pengertian" ? Dan apakah yang harus diandaikan semoga "pengertian" itu mungkin? Dalam hal ini Gadamer meneruskan suatu pendirian Heidegger*.
Dalam buku ada dan waktu Heidegger* telah menunjukkan bahwa "mengerti" tidak merupakan salah satu perilaku yang dipraktekan insan di antara sekian banyak perilaku lain yang mungkin. Namun, "mengerti" harus dipandang sebagai perilaku yang paling mendasar dalam eksistensi manusia, atau lebih sempurna lagi kalau dikatakan bahwa "mengerti" itu tidak lain daripada cara berada insan sendiri.
"Mengerti" menyangkut seluruh pengalaman manusia. Justru lantaran itulah hermeneutika mempunyai suatu problematik yang sama sekali universal. Maka dari itu sanggup dipahami, kalau sudah pernah dikemukakan orang bahwa pemikiran Gadamer bukan saja merupakan suatu hermeneutika filosofis, melainkan juga suatu filsafat hermeneutis. Maksudnya ialah pemikiran Gadamer ini tidak memusatkan perhatiannya pada salah satu kiprah filsafat saja (teori hermeneutis), sambil melewati banyak kiprah lain yang mungkin juga, dengan pemikirannya tersebut memandang semua tema yang ada bagi filsafat dari suatu segi yang tertentu, yaitu hermeneutika.
Seperti sebelumnya sudah pernah diterangkan oleh Heidegger*, Gadamer menekankan juga bahwa "mengerti" mempunyai struktur lingkaran. Supaya orang mengerti, sudah harus ada pengertian. Untuk mencapai pengertian, satu-satunya cara ialah bertolak dari pengertian. Misalnya, untuk mengerti suatu teks, sebelumnya sudah mesti ada pengertian tertentu perihal apa yang dibicarakan dalam teks itu. Kalau tidak, sekali-kali tidak pernah akan mungkin memperoleh pengertian perihal teks tersebut. Tetapi di lain pihak dengan membaca teks itu prapengertian terwujud menjadi pengertian yang sungguh-sungguh. Proses ini oleh Heidegger* dan Gadamer disebut "lingkaran hermeneutis". Tetapi tidak sanggup ditarik kesimpulan bahwa bundar itu gres timbul kalau kita kita membaca teks-teks. Lingkaran ini sudah terdapat pada tarap yang paling fundamental. Lingkaran ini menandai eksistensi kita sendiri. "Mengerti" dunia hanya mungkin, kalau ada prapengertian perihal dunia dan perihal diri kita sendiri. Tetapi bundar ini tidak merupakan suatu bundar setan, melainkan justru memungkinkan eksistensi kita.
a. Hermeneutika kesenian
Gadamer mengawali bukunya dengan menganalisis kesenian secara hermeneutis. Ia menunjukkan bahwa perkembangan dalam ilmu pengetahuan alam menjadikan perubahan juga dalam evaluasi insan terhadap bentuk-bentuk pengenalan yang lain, contohnya pengalaman estetis. Ilmu pengetahuan mulai memonopoli pengenalan objektif, sehingga pengalaman perihal karya-karya seni hanya sanggup diinterpretasikan sebagai objektif belaka. Hal ini sanggup kita saksikan dalam filsafat kesenian Kant dalam kurun ke-18. Karya seni tidak lagi menyingkapkan kebenaran bagi kita, tetapi menyediakan kesenangan dalam memandang "yang bagus".
Tendensi ini setelah Kant diteruskan lagi. Tetapi Gadamer beropini bahwa dengan demikian pengalaman estetis menjauhkan diri dari realitas dan ia ingin menunjukkan bahwa karya seni betul-betul menyingkapkan kebenaran kepada kita dan menciptakan kita mengerti. Karena itu kesenian pun termasuk wilayah hermeneutika, sejauh hermeneutika membicarakan bagaimana insan mencapai pengertian perihal ada.
Sebagaimana pengalaman estetis menjadi suatu daerah tersendiri dalam perjuangan menyelamatkan diri terhadap "ancaman" yang berasal dari ilmu pengetahuan alam, demikian pun ilmu pengetahuan budaya telah mencoba untuk mencari suatu perilaku terhadap ilmu pengetahuan alam. Tetapi ilmu pengetahuan budaya ini, yang mulai berkembang dalam kurun ke-19, menentukan suatu jalan yang bertentangan dengan pengalaman estetis, yaitu dengan mengambil alih status ilmu pengetahuan alam. Bagi Gadamer, jalan yang ditempuh ilmu pengetahuan budaya ini yakni jalan buntu. Dalam penggalan kedua bukunya, Gadamer berusaha menganalisis pengertian (verstehen) yang dijalankan dalam ilmu pengetahuan budaya.
b. Hermeneutika ilmu pengetahuan budaya
Kita memandang beberapa detail dalam analisis Gadamer perihal pengertian yang berperanan dalam ilmu pengetahuan budaya (geisteswisenschaften). Sebagai teladan istimewa dalam bidang ini sanggup disebut ilmu sejarah. Ia menunjukkan bagaimana ilmu sejarah senantiasa berusaha untuk membicarakan perihal sejarah dengan menentukan tempatnya di luar sejarah. Hermeneutika yang dipraktekan dalam ilmu sejarah itu, mau merancang suatu metode ilmiah yang membahas fakta-fakta historis, sambil menyisihkan historisitas sang sejarawan sendiri. Hermeneutika ini berasal dari Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Bagaimana sanggup saya mengerti suatu teks yang berasal dari waktu lampau, jauh dari waktu di mana saya hidup sekarang? Atau, kalau teks tersebut tidak berasal dari zaman yang jauh dari saya kini ini, tinggal lagi pertanyaan, bagaimana sanggup saya mengerti suatu teks (surat, laporan atau dokumen lainya) yang berasal dari orang lain?
Pokoknya bagaimana mengerti suatu teks yang "asing" terhadap saya sebagai pembaca? Bagaimana mungkin untuk menjembatani "keasingan" teks itu? Dalam hal ini Schleiermacher menyadari bahwa "keasingan" itu tidak berarti keasingan total. Seandainya suatu teks seratus persen abnormal bagi saya, persoalan mengerti tidak akan timbul juga. Masalah hermenutis ditampilkan juga lantaran suatu teks tidak sama sekali asing, tidak sama sekali biasa bagi si pembaca. Menurut Schleiermacher, keasingan suatu teks harus diatasi dengan mencoba mengerti si pengarang. Dengan lain perkataan, bagi Schleiermacher interpretasi suatu teks yakni interpretasi psikologis.
Untuk mengerti suatu teks dari masa lampau, perlu saya keluar dari zaman di mana saya hidup sekarang, merekontruksi zaman si pengarang dan menampilkan kembali keadaan di mana pengarang berada pada dikala ia menulis teksnya. Saya harus menyamakan diri dengan pembaca yang asli, yang dulu ditujukan oleh teks bersangkutan, dan dengan demikian menjadi mitra sewaktu dengan si pengarang. Bila saya sudah menjadi mitra sewaktu dengan dia, tidak sulit untuk melangkah lebih jauh lagi dengan menyamakan diri dengan si pengarang. Untuk itu saya bayangkan bagaimana pemikiran, perasaan, dan maksud si pengarang. Saya seolah-olah harus pindah ke dalam hidup batin pengarang itu. Baru melalui jalan itu sanggup saya mengerti teks di mana tampak pemikiran, perasaan dan maksud tersebut.
Di kemudian hari Wilhelm Dilthey* (1833-1911) telah meneruskan dan meneguhkan hermeneutika Schleiermacher ini. Bagi Dilthey* pun kiprah hermeneutika ialah mengatasi "keasingan" suatu teks. Saya tidak sanggup menghayati (erleben) secara pribadi peristiwa-peristiwa dari masa lampau, tetapi saya sanggup membayangkan bagaimana orang dulu menghayati peristiwa-peristiwa tersebut (nacherleben). Ia mengemukakan teladan yang menjadi terkenal. Jika remaja ini kita membaca surat-surat Luther, maka kita dikonfrontasikan dengan peristiwa-peristiwa religius dari masa lampau yang terlalu emosional dan bergejolak untuk sanggup dihayati oleh orang modern. Kita tidak sanggup menghayati peristiwa-peristiwa itu, tetapi kita sanggup membayangkan bagaimana Luther sendiri menghayati peristiwa-peristiwa tersebut.
Dilthey membedakan "mengerti" dan "menjelaskan". "Menjelaskan" (erklaren, to explain) yakni metode yang khas bagi naturwissenschaften (ilmu pengetahuan alam), sedangkan "mengerti" (verstehen, to understand) yakni metode yang menandai Geisteswisenschaften (ilmu pengetahuan budaya). Kant* dulu secara filosofis telah mengesahkan metode ilmu pengetahuan alam, tetapi ilmu pengetahuan budaya masih tetap menunggu pendasaran filosofisnya. Maksud Dilthey* ialah mengisi kekurangan ini dengan menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan budaya yang berdasarkan metode "mengerti" tidak perlu kalah dengan ilmu pengetahuan alam. Tentu saja, ada perbedaan juga antara dua jenis ilmu pengetahuan ini.
Ilmu pengetahuan alam tidak berbicara perihal yang khusus dan yang kebetulan, tetapi hanya memperhatikan yang umum dan yang terikat berdasarkan hukum, sedangkan ilmu pengetahuan budaya (khususnya ilmu sejarah) mempelajari kejadian-kejadian berdasarkan individualitasnya. Kalau ilmu pengetahuan budaya tidak berbicara damai yang umum dan terikat berdasarkan hukum, bagaimana ilmu pengetahuan ini sanggup mencapai objektivitas? Dilthey* menjawab: "Karena saya ini suatu makhluk historis, sehingga orang yang mempelajari sejarah sama dengan orang yang mengadakan sejarah". Maksudnya bahwa dalam ilmu pengetahuan budaya subjek dan objek mempunyai kodrat yang sama, sehingga subjek itu sanggup untuk mengatasi keterbatasan historisnya. Sejauh insan melepaskan diri dari zamannya sendiri, ia membuka diri untuk mengerti secara luas. Sejauh ia meninggalkan situasi historisnya, sejauh itu juga objektivitas ilmu pengetahuan budaya semakin terjamin.
Apakah yang sanggup disimpulkan dari pandangan Schleiermacher dan Dilthey* ini? Bagi mereka, mengerti suatu teks yakni menemukan arti yang orisinil dari teks tersebut, dengan kata lain, menampilkan apa yang dimaksudkan pengarang bersangkutan, yaitu pikiran-pikiran, pendapat-pendapatnya, visi orang tersebut: pendeknya, perasaan-perasaan dan maksud-maksudnya. Karena itu seorang interpretator harus mempunyai pengetahuan yang luas perihal sejarah, di samping mempunyai talenta sebagai psikolog. Bagi Schleiermacher dan Dilthey* interpretasi suatu teks merupakan suatu pekerjaan reproduktif. Mencapai arti yang benar dari suatu teks ialah kembali kepada apa yang dihayati dan mau dikatakan oleh si pengarang. Interpretasi yakni suatu rekonstruksi. Oleh Gadamer pandangan perihal hermeneutika ini disebut pandangan romantis, artinya pandangan yang menandai zaman Romantik.
Karena setiap metode mempunyai praandaian-praandaian (persupositions) tertentu, sanggup ditanyakan praandaian-praandaian mana terdapat dalam metode yang dijalankan oleh hermeneutika romantis (dan jangan lupa bahwa kini juga hermeneutika ini masih dianut oleh banyak andal filologi, ilmu sejarah, dan pada umumnya orang-orang yang menginterpretasikan teks-teks dari masa lampau). Praandaian utama yang terdapat dalam hermeneutika romantis ialah bahwa seorang interpretator sanggup melepaskan diri dari situasi historisnya. Ia seolah-olah sanggup pindah ke zaman lain. Ia sanggup menjadi mitra sewaktu dengan setiap periode. Jadi, si interpretator sendiri dianggap tidak terikat dengan suatu horison historis. Praandaian pokok ini mencakup dua praandaian lebih lanjut lagi, yaitu praandaian perihal cara pengenalan insan dan perihal kodrat ada, dengan perkataan lain, suatu praandaian epistemologis dan suatu praandaian metafisis.
Tentang cara pengenalan insan diandaikan begitu saja bahwa insan sanggup menjalankan suatu pengenalan yang tak berhingga, lantaran pada prinsipnya ia sanggup menjadi mitra sewaktu dengan setiap zaman dan mengatasi segala keterbatasan. Yang mengherankan ialah bahwa pendirian ini masih terdapat pada Dilthey*, lantaran filsuf ini menginsafi kekhususan sejarah dan keterlibatan setiap teks atau pengarang dalam suatu konteks historis. Dan secara eksplisit ia mengakui bahwa keterlibatan ini menjadikan keberhinggaan manusia. Namun demikian, di lain pihak ia mengandaikan juga bahwa si sejarawan sanggup melepaskan diri dari sifat berhingga itu dan mengatasi segala batas historis. Di samping itu terdapat praandaian juga perihal Ada sendiri. Ada disamakan dengan kehadiran, lantaran pada setiap dikala Ada itu sanggup dihadirkan. Dengan demikian dimensi waktu lampau dan waktu depan sama sekali lenyap dari pandangan kita.
Gadamer tidak menutup mata bagi jasa-jasa hermeneutika romantis, tetapi ia melihat juga kelemahan-kelemahan di dalamnya. Dan bagi kita di sini hanya penting memperkenalkan kritik itu. Keberatannya yang pertama menyangkut pendapat mereka bahwa hermeneutika bertugas menemukan arti yang orisinil dari suatu teks. Bagi Gadamer interpretasi tidak sama dengan mengambil suatu teks, kemudian mencari arti yang oleh si pengarang diletakan di dalam teks itu. Bagi Gadamer arti suatu teks tetap terbuka dan tidak terbatas pada maksud si pengarang dengan teks tersebut. Karena itu interpretasi tidak bersifat reproduktif belaka, tetapi produktif. Interpretasi sanggup memperkaya arti suatu teks.
Tidak terlepas dari keberatan yang pertama tadi, keberatan berikut menyangkut pendapat hermeneutika romantis perihal waktu. Kita sebagai interpretator tidak sanggup melepaskan diri dari situasi historis di mana kita berada. Mustahilah setiap perjuangan untuk menjembatani jurang antara waktu kita dan waktu si pengarang. Tetapi perjuangan macam itu tidak perlu juga. Arti suatu teks tidak terbatas pada masa lampau (waktu teks tersebut ditulis), tetapi mempunyai keterbukaan juga terhadap masa depan. Dari lantaran itu menginterpretasikan suatu teks merupakan kiprah yang tidak pernah selesai. Setiap zaman harus mengusahakan interpretasinya sendiri. suatu interpretasi definitif tidak sanggup diharapkan.
Maksud Gadamer sanggup menjadi jelas, kalau kita mendengar pendiriannya bahwa penerapan (application) merupakan suatu unsur yang termasuk interpretasi sendiri. Untuk membuktikan maksudnya ia menunjuk pada pekerjaan seorang hakim. Seorang hakim tidak mengadili berdasarkan aturan yang berlaku di daerahnya dan secara ketat ia harus berpegang teguh pada aturan itu. Jadi, pekerjaannya ialah menerapkan undang-undang yang bersifat umum pada kasus-kasus nyata yang beraneka ragam. Gadamer beropini bahwa undang-undang itu gres dimengerti dalam dan dengan menerapkannya pada kasus-kasus konkret. Tidak sanggup dikatakan bahwa seorang hakim lebih dahulu sudah mengerti dan menyadari secara penuh arti ketetapan-ketetapan dalam undang-undang, kemudian menerapkannya dalam kasus-kasus konkret. Tetapi gres dengan menerapkan ketetapan-ketetapan itu ia melihat dan mengerti artinya, terutama bila penerapannya itu menyangkut situasi-situasi gres yang belum dikenal ketika undang-undang dirumuskan. Akibatnya pekerjaan seorang hakim tidak bersifat reproduktif belaka tetapi juga produktif (menambah arti). Demikian, apa yang berlaku bagi hermeneutika yuridis berlaku juga untuk setiap macam hermeneutika. Pengertian kita diperkaya dengan menerapkan suatu teks pada situasi-situasi baru. Menurut Gadamer, pengertian, interpretasi, dan penerapan merupakan tiga unsur yang tidak sanggup dipisahkan satu sama lain. Pengertian selalu merupakan interpretasi juga; dan interpretasi selalu merupakan penerapan juga.
Dalam rangka pemikiran Gadamer, masuk nalar saja kalau ia ingin merehabilitasikan dua kata yang mempunyai nada kurang baik semenjak masa pencerahan, yaitu "tradisi" dan "prasangka". Marilah kita mulai dengan yang terakhir. Hermeneutika romantis mau menghindari setiap prasangka. Bagi mereka prasangka (prejudice) hanya mempunyai arti yang kurang baik. Oleh mereka prasangka dipertentangkan dengan kebenaran. Menurut Gadamer, pengenalan kita tidak sanggup melepaskan diri dari prasangka. Menghindari setiap prasangka sama dengan mematikan pikiran. Dengan prasangka tidak berarti bahwa interpretasi menjadi suatu perjuangan yang subjektif saja dan tidak kritis. Justru sebaliknya, sebanyak mungkin harus kita sandarkan prasangka-prasangka yang menjuruskan pemikiran kita, tetapi yakni naif sama sekali kalau kita merasa sanggup mengambil perilaku tertentu tanpa prasangka apapun. Itulah sebabnya interpretasi gres menyingkirkan prasangka-prasangka kurang baik dari masa lampau tetapi mendapatkan begitu saja prasangka-prasangka yang baik dan wajar.
Jadi kita harus membedakan antara prasangka-prasangka legitim dan prasangka-prasangka yang tidak legitim, antara prasangka-prasangka yang sah dan prasangka-prasangka yang tidak sah. Prasangka-prasangka tidak legitim harus disingkirkan dan pengetahuan kita akan maju justru sejauh kita berhasil dalam mengatasi prasangka-prasangka tidak legitim tersebut. Tetapi prasangka-prasangka legitim harus diterima, lantaran prasangka-prasangka legitim ini merupakan dasar yang memungkinkan pemikiran itu sendiri.
Sekarang kita sanggup mengerti juga mengapa kata "tradisi" sepatutnya diberi suatu arti positif. Sebelum masa pencerahan kata "tradisi" (dan prasangka juga) tidak mempunyai nada peyoratif. Baru pada waktu pencerahan, otoritas yang dijunjung tinggi dalam tradisi dipertentangkan dengan kritik rasio. Bagi Gadamer tidak ada keberatan untuk mengakui otoritas suatu tradisi. Tradisi dibuat oleh prasangka-prasangka yang kita miliki bersama (maksudnya prasangka-prasangka yang benar), biasanya tanpa disadari.
c. Bahasa
Dalam penggalan ketiga bukunya, Gadamer membahas persoalan bahasa. "Mengerti" mustahil tanpa bahasa. Dan lantaran "mengerti" bukan saja dijalankan dalam pergaulan dengan teks-teks dari masa lampau, tetapi merupakan perilaku paling mendasar dalam eksistensi manusia, maka harus disimpulkan bahwa persoalan bahasa mempunyai relevansi ontologis. Dalam konteks ini Gadamer merumuskan suatu perkataan yang sering dikutip dan dikomentari: sein, das verstanden werden kann, ist sprache (Being that can be understood is language). Dalam perkataan ini diungkapkan cara bagaimana Ada tampak kepada manusia. Jika Ada menampakkan diri bagi manusia, terjadilah sesuatu. Jika Ada tampak bagi manusia, dikatakan sesuatu. Ada menampakkan diri sebagai bahasa. Dengan perumusan lain sanggup dikatakan juga bahwa dalam situasi hermeneutis Ada tampak sebagai percakapan, sebagai dialog. Mengerti itu sama dengan mengadakan percakapan dengan yang ada; suatu percakapan di mana sungguh-sungguh terjadi sesuatu.
Pemikiran Gadamer perihal bahasa merupakan penggalan filsafatnya yang paling sulit dan paling banyak mengakibatkan tanda tanya. Di sini kami berusaha menggoreskan beberapa garis saja dari pemikiran perihal bahasa yang amat kaya ini. Dalam hubungannya dengan bahasa salah satu hal yang sering ditekankan Gadamer ialah bahwa bahasa tidak terutama mengekspresikan pemikiran tetapi bahasa yakni objek itu sendiri. Dalam ini ia bereaksi melawan setiap pandangan idealitas perihal bahasa. Menurutnya, bahasa berbicara perihal benda-benda dalam dunia, dilarang dikatakan bahwa bahasa merupakan suatu realitas subjektif yang menghalangi kekerabatan kita dengan benda-benda. Tentu saja, tidak ada perkataan yang sanggup mengungkapkan suatu objek dengan tuntas. Tetapi hal itu tidak disebabkan oleh keterbatasan bahasa, melainkan oleh keberhinggaan subjek manusiawi.
Demikian, banyak problem perihal bahasa tidak sanggup dipecahkan, kalau orang berpegang teguh pada pendirian bahwa bahasa merupakan "alat" saja. Tentu saja, bahasa yakni suatu alat komunikasi dalam pergaulan antar manusia. Tetapi hal ini dilarang dianggap makna terdalam bahasa. Bahasa yakni lebih dari daripada suatu sistem gejala saja. Pendirian yang beranggapan demikian bertitik tolak dari adanya kata-kata dan memandang objek-objek sebagai sesuatu yang kita kenal lewat sumber lain. Tetapi objek dan kata tidak sanggup dipisahkan satu sama lain. Pengalaman kita tidak mulai dari kata-kata. Dalam pengalaman kita, tidak dicari suatu kata untuk menunjukkan objek-objek yang sudah dialami. Kalau kita mencari "kata yang tepat" (seperti yang sudah sering terjadi), itu tidak berarti bahwa kita mencari tanda untuk menunjukkan objek yang sudah hadir serba lengkap, melainkan bahwa objek belum nampak sepenuh-penuhnya. Antara kata dan benda terdapat kesatuan begitu erat, sehingga mencari suatu kata bersama-sama tidak lain daripada mencari kata yang seolah-olah menempel pada benda. Demikian pun bahasa dan pemikiran bagi Gadamer membentuk suatu kesatuan yang tak terpisahkan.
Download di Sini
Sumber.
Bertens, Kees. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta. Gramedia.
Baca Juga
1. Hans Georg Gadamer. Biografi dan Karya
2. Dilthey, Gadamer, dan Hermenutika
3. Hermeneutika dan Ilmu-ilmu Sosial
4. Sejarah Hermeneutika
Dalam buku ada dan waktu Heidegger* telah menunjukkan bahwa "mengerti" tidak merupakan salah satu perilaku yang dipraktekan insan di antara sekian banyak perilaku lain yang mungkin. Namun, "mengerti" harus dipandang sebagai perilaku yang paling mendasar dalam eksistensi manusia, atau lebih sempurna lagi kalau dikatakan bahwa "mengerti" itu tidak lain daripada cara berada insan sendiri.
Seperti sebelumnya sudah pernah diterangkan oleh Heidegger*, Gadamer menekankan juga bahwa "mengerti" mempunyai struktur lingkaran. Supaya orang mengerti, sudah harus ada pengertian. Untuk mencapai pengertian, satu-satunya cara ialah bertolak dari pengertian. Misalnya, untuk mengerti suatu teks, sebelumnya sudah mesti ada pengertian tertentu perihal apa yang dibicarakan dalam teks itu. Kalau tidak, sekali-kali tidak pernah akan mungkin memperoleh pengertian perihal teks tersebut. Tetapi di lain pihak dengan membaca teks itu prapengertian terwujud menjadi pengertian yang sungguh-sungguh. Proses ini oleh Heidegger* dan Gadamer disebut "lingkaran hermeneutis". Tetapi tidak sanggup ditarik kesimpulan bahwa bundar itu gres timbul kalau kita kita membaca teks-teks. Lingkaran ini sudah terdapat pada tarap yang paling fundamental. Lingkaran ini menandai eksistensi kita sendiri. "Mengerti" dunia hanya mungkin, kalau ada prapengertian perihal dunia dan perihal diri kita sendiri. Tetapi bundar ini tidak merupakan suatu bundar setan, melainkan justru memungkinkan eksistensi kita.
a. Hermeneutika kesenian
Gadamer mengawali bukunya dengan menganalisis kesenian secara hermeneutis. Ia menunjukkan bahwa perkembangan dalam ilmu pengetahuan alam menjadikan perubahan juga dalam evaluasi insan terhadap bentuk-bentuk pengenalan yang lain, contohnya pengalaman estetis. Ilmu pengetahuan mulai memonopoli pengenalan objektif, sehingga pengalaman perihal karya-karya seni hanya sanggup diinterpretasikan sebagai objektif belaka. Hal ini sanggup kita saksikan dalam filsafat kesenian Kant dalam kurun ke-18. Karya seni tidak lagi menyingkapkan kebenaran bagi kita, tetapi menyediakan kesenangan dalam memandang "yang bagus".
Tendensi ini setelah Kant diteruskan lagi. Tetapi Gadamer beropini bahwa dengan demikian pengalaman estetis menjauhkan diri dari realitas dan ia ingin menunjukkan bahwa karya seni betul-betul menyingkapkan kebenaran kepada kita dan menciptakan kita mengerti. Karena itu kesenian pun termasuk wilayah hermeneutika, sejauh hermeneutika membicarakan bagaimana insan mencapai pengertian perihal ada.
Sebagaimana pengalaman estetis menjadi suatu daerah tersendiri dalam perjuangan menyelamatkan diri terhadap "ancaman" yang berasal dari ilmu pengetahuan alam, demikian pun ilmu pengetahuan budaya telah mencoba untuk mencari suatu perilaku terhadap ilmu pengetahuan alam. Tetapi ilmu pengetahuan budaya ini, yang mulai berkembang dalam kurun ke-19, menentukan suatu jalan yang bertentangan dengan pengalaman estetis, yaitu dengan mengambil alih status ilmu pengetahuan alam. Bagi Gadamer, jalan yang ditempuh ilmu pengetahuan budaya ini yakni jalan buntu. Dalam penggalan kedua bukunya, Gadamer berusaha menganalisis pengertian (verstehen) yang dijalankan dalam ilmu pengetahuan budaya.
b. Hermeneutika ilmu pengetahuan budaya
Kita memandang beberapa detail dalam analisis Gadamer perihal pengertian yang berperanan dalam ilmu pengetahuan budaya (geisteswisenschaften). Sebagai teladan istimewa dalam bidang ini sanggup disebut ilmu sejarah. Ia menunjukkan bagaimana ilmu sejarah senantiasa berusaha untuk membicarakan perihal sejarah dengan menentukan tempatnya di luar sejarah. Hermeneutika yang dipraktekan dalam ilmu sejarah itu, mau merancang suatu metode ilmiah yang membahas fakta-fakta historis, sambil menyisihkan historisitas sang sejarawan sendiri. Hermeneutika ini berasal dari Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Bagaimana sanggup saya mengerti suatu teks yang berasal dari waktu lampau, jauh dari waktu di mana saya hidup sekarang? Atau, kalau teks tersebut tidak berasal dari zaman yang jauh dari saya kini ini, tinggal lagi pertanyaan, bagaimana sanggup saya mengerti suatu teks (surat, laporan atau dokumen lainya) yang berasal dari orang lain?
Pokoknya bagaimana mengerti suatu teks yang "asing" terhadap saya sebagai pembaca? Bagaimana mungkin untuk menjembatani "keasingan" teks itu? Dalam hal ini Schleiermacher menyadari bahwa "keasingan" itu tidak berarti keasingan total. Seandainya suatu teks seratus persen abnormal bagi saya, persoalan mengerti tidak akan timbul juga. Masalah hermenutis ditampilkan juga lantaran suatu teks tidak sama sekali asing, tidak sama sekali biasa bagi si pembaca. Menurut Schleiermacher, keasingan suatu teks harus diatasi dengan mencoba mengerti si pengarang. Dengan lain perkataan, bagi Schleiermacher interpretasi suatu teks yakni interpretasi psikologis.
Untuk mengerti suatu teks dari masa lampau, perlu saya keluar dari zaman di mana saya hidup sekarang, merekontruksi zaman si pengarang dan menampilkan kembali keadaan di mana pengarang berada pada dikala ia menulis teksnya. Saya harus menyamakan diri dengan pembaca yang asli, yang dulu ditujukan oleh teks bersangkutan, dan dengan demikian menjadi mitra sewaktu dengan si pengarang. Bila saya sudah menjadi mitra sewaktu dengan dia, tidak sulit untuk melangkah lebih jauh lagi dengan menyamakan diri dengan si pengarang. Untuk itu saya bayangkan bagaimana pemikiran, perasaan, dan maksud si pengarang. Saya seolah-olah harus pindah ke dalam hidup batin pengarang itu. Baru melalui jalan itu sanggup saya mengerti teks di mana tampak pemikiran, perasaan dan maksud tersebut.
Di kemudian hari Wilhelm Dilthey* (1833-1911) telah meneruskan dan meneguhkan hermeneutika Schleiermacher ini. Bagi Dilthey* pun kiprah hermeneutika ialah mengatasi "keasingan" suatu teks. Saya tidak sanggup menghayati (erleben) secara pribadi peristiwa-peristiwa dari masa lampau, tetapi saya sanggup membayangkan bagaimana orang dulu menghayati peristiwa-peristiwa tersebut (nacherleben). Ia mengemukakan teladan yang menjadi terkenal. Jika remaja ini kita membaca surat-surat Luther, maka kita dikonfrontasikan dengan peristiwa-peristiwa religius dari masa lampau yang terlalu emosional dan bergejolak untuk sanggup dihayati oleh orang modern. Kita tidak sanggup menghayati peristiwa-peristiwa itu, tetapi kita sanggup membayangkan bagaimana Luther sendiri menghayati peristiwa-peristiwa tersebut.
Dilthey membedakan "mengerti" dan "menjelaskan". "Menjelaskan" (erklaren, to explain) yakni metode yang khas bagi naturwissenschaften (ilmu pengetahuan alam), sedangkan "mengerti" (verstehen, to understand) yakni metode yang menandai Geisteswisenschaften (ilmu pengetahuan budaya). Kant* dulu secara filosofis telah mengesahkan metode ilmu pengetahuan alam, tetapi ilmu pengetahuan budaya masih tetap menunggu pendasaran filosofisnya. Maksud Dilthey* ialah mengisi kekurangan ini dengan menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan budaya yang berdasarkan metode "mengerti" tidak perlu kalah dengan ilmu pengetahuan alam. Tentu saja, ada perbedaan juga antara dua jenis ilmu pengetahuan ini.
Ilmu pengetahuan alam tidak berbicara perihal yang khusus dan yang kebetulan, tetapi hanya memperhatikan yang umum dan yang terikat berdasarkan hukum, sedangkan ilmu pengetahuan budaya (khususnya ilmu sejarah) mempelajari kejadian-kejadian berdasarkan individualitasnya. Kalau ilmu pengetahuan budaya tidak berbicara damai yang umum dan terikat berdasarkan hukum, bagaimana ilmu pengetahuan ini sanggup mencapai objektivitas? Dilthey* menjawab: "Karena saya ini suatu makhluk historis, sehingga orang yang mempelajari sejarah sama dengan orang yang mengadakan sejarah". Maksudnya bahwa dalam ilmu pengetahuan budaya subjek dan objek mempunyai kodrat yang sama, sehingga subjek itu sanggup untuk mengatasi keterbatasan historisnya. Sejauh insan melepaskan diri dari zamannya sendiri, ia membuka diri untuk mengerti secara luas. Sejauh ia meninggalkan situasi historisnya, sejauh itu juga objektivitas ilmu pengetahuan budaya semakin terjamin.
Apakah yang sanggup disimpulkan dari pandangan Schleiermacher dan Dilthey* ini? Bagi mereka, mengerti suatu teks yakni menemukan arti yang orisinil dari teks tersebut, dengan kata lain, menampilkan apa yang dimaksudkan pengarang bersangkutan, yaitu pikiran-pikiran, pendapat-pendapatnya, visi orang tersebut: pendeknya, perasaan-perasaan dan maksud-maksudnya. Karena itu seorang interpretator harus mempunyai pengetahuan yang luas perihal sejarah, di samping mempunyai talenta sebagai psikolog. Bagi Schleiermacher dan Dilthey* interpretasi suatu teks merupakan suatu pekerjaan reproduktif. Mencapai arti yang benar dari suatu teks ialah kembali kepada apa yang dihayati dan mau dikatakan oleh si pengarang. Interpretasi yakni suatu rekonstruksi. Oleh Gadamer pandangan perihal hermeneutika ini disebut pandangan romantis, artinya pandangan yang menandai zaman Romantik.
Karena setiap metode mempunyai praandaian-praandaian (persupositions) tertentu, sanggup ditanyakan praandaian-praandaian mana terdapat dalam metode yang dijalankan oleh hermeneutika romantis (dan jangan lupa bahwa kini juga hermeneutika ini masih dianut oleh banyak andal filologi, ilmu sejarah, dan pada umumnya orang-orang yang menginterpretasikan teks-teks dari masa lampau). Praandaian utama yang terdapat dalam hermeneutika romantis ialah bahwa seorang interpretator sanggup melepaskan diri dari situasi historisnya. Ia seolah-olah sanggup pindah ke zaman lain. Ia sanggup menjadi mitra sewaktu dengan setiap periode. Jadi, si interpretator sendiri dianggap tidak terikat dengan suatu horison historis. Praandaian pokok ini mencakup dua praandaian lebih lanjut lagi, yaitu praandaian perihal cara pengenalan insan dan perihal kodrat ada, dengan perkataan lain, suatu praandaian epistemologis dan suatu praandaian metafisis.
Tentang cara pengenalan insan diandaikan begitu saja bahwa insan sanggup menjalankan suatu pengenalan yang tak berhingga, lantaran pada prinsipnya ia sanggup menjadi mitra sewaktu dengan setiap zaman dan mengatasi segala keterbatasan. Yang mengherankan ialah bahwa pendirian ini masih terdapat pada Dilthey*, lantaran filsuf ini menginsafi kekhususan sejarah dan keterlibatan setiap teks atau pengarang dalam suatu konteks historis. Dan secara eksplisit ia mengakui bahwa keterlibatan ini menjadikan keberhinggaan manusia. Namun demikian, di lain pihak ia mengandaikan juga bahwa si sejarawan sanggup melepaskan diri dari sifat berhingga itu dan mengatasi segala batas historis. Di samping itu terdapat praandaian juga perihal Ada sendiri. Ada disamakan dengan kehadiran, lantaran pada setiap dikala Ada itu sanggup dihadirkan. Dengan demikian dimensi waktu lampau dan waktu depan sama sekali lenyap dari pandangan kita.
Gadamer tidak menutup mata bagi jasa-jasa hermeneutika romantis, tetapi ia melihat juga kelemahan-kelemahan di dalamnya. Dan bagi kita di sini hanya penting memperkenalkan kritik itu. Keberatannya yang pertama menyangkut pendapat mereka bahwa hermeneutika bertugas menemukan arti yang orisinil dari suatu teks. Bagi Gadamer interpretasi tidak sama dengan mengambil suatu teks, kemudian mencari arti yang oleh si pengarang diletakan di dalam teks itu. Bagi Gadamer arti suatu teks tetap terbuka dan tidak terbatas pada maksud si pengarang dengan teks tersebut. Karena itu interpretasi tidak bersifat reproduktif belaka, tetapi produktif. Interpretasi sanggup memperkaya arti suatu teks.
Tidak terlepas dari keberatan yang pertama tadi, keberatan berikut menyangkut pendapat hermeneutika romantis perihal waktu. Kita sebagai interpretator tidak sanggup melepaskan diri dari situasi historis di mana kita berada. Mustahilah setiap perjuangan untuk menjembatani jurang antara waktu kita dan waktu si pengarang. Tetapi perjuangan macam itu tidak perlu juga. Arti suatu teks tidak terbatas pada masa lampau (waktu teks tersebut ditulis), tetapi mempunyai keterbukaan juga terhadap masa depan. Dari lantaran itu menginterpretasikan suatu teks merupakan kiprah yang tidak pernah selesai. Setiap zaman harus mengusahakan interpretasinya sendiri. suatu interpretasi definitif tidak sanggup diharapkan.
Maksud Gadamer sanggup menjadi jelas, kalau kita mendengar pendiriannya bahwa penerapan (application) merupakan suatu unsur yang termasuk interpretasi sendiri. Untuk membuktikan maksudnya ia menunjuk pada pekerjaan seorang hakim. Seorang hakim tidak mengadili berdasarkan aturan yang berlaku di daerahnya dan secara ketat ia harus berpegang teguh pada aturan itu. Jadi, pekerjaannya ialah menerapkan undang-undang yang bersifat umum pada kasus-kasus nyata yang beraneka ragam. Gadamer beropini bahwa undang-undang itu gres dimengerti dalam dan dengan menerapkannya pada kasus-kasus konkret. Tidak sanggup dikatakan bahwa seorang hakim lebih dahulu sudah mengerti dan menyadari secara penuh arti ketetapan-ketetapan dalam undang-undang, kemudian menerapkannya dalam kasus-kasus konkret. Tetapi gres dengan menerapkan ketetapan-ketetapan itu ia melihat dan mengerti artinya, terutama bila penerapannya itu menyangkut situasi-situasi gres yang belum dikenal ketika undang-undang dirumuskan. Akibatnya pekerjaan seorang hakim tidak bersifat reproduktif belaka tetapi juga produktif (menambah arti). Demikian, apa yang berlaku bagi hermeneutika yuridis berlaku juga untuk setiap macam hermeneutika. Pengertian kita diperkaya dengan menerapkan suatu teks pada situasi-situasi baru. Menurut Gadamer, pengertian, interpretasi, dan penerapan merupakan tiga unsur yang tidak sanggup dipisahkan satu sama lain. Pengertian selalu merupakan interpretasi juga; dan interpretasi selalu merupakan penerapan juga.
Dalam rangka pemikiran Gadamer, masuk nalar saja kalau ia ingin merehabilitasikan dua kata yang mempunyai nada kurang baik semenjak masa pencerahan, yaitu "tradisi" dan "prasangka". Marilah kita mulai dengan yang terakhir. Hermeneutika romantis mau menghindari setiap prasangka. Bagi mereka prasangka (prejudice) hanya mempunyai arti yang kurang baik. Oleh mereka prasangka dipertentangkan dengan kebenaran. Menurut Gadamer, pengenalan kita tidak sanggup melepaskan diri dari prasangka. Menghindari setiap prasangka sama dengan mematikan pikiran. Dengan prasangka tidak berarti bahwa interpretasi menjadi suatu perjuangan yang subjektif saja dan tidak kritis. Justru sebaliknya, sebanyak mungkin harus kita sandarkan prasangka-prasangka yang menjuruskan pemikiran kita, tetapi yakni naif sama sekali kalau kita merasa sanggup mengambil perilaku tertentu tanpa prasangka apapun. Itulah sebabnya interpretasi gres menyingkirkan prasangka-prasangka kurang baik dari masa lampau tetapi mendapatkan begitu saja prasangka-prasangka yang baik dan wajar.
Jadi kita harus membedakan antara prasangka-prasangka legitim dan prasangka-prasangka yang tidak legitim, antara prasangka-prasangka yang sah dan prasangka-prasangka yang tidak sah. Prasangka-prasangka tidak legitim harus disingkirkan dan pengetahuan kita akan maju justru sejauh kita berhasil dalam mengatasi prasangka-prasangka tidak legitim tersebut. Tetapi prasangka-prasangka legitim harus diterima, lantaran prasangka-prasangka legitim ini merupakan dasar yang memungkinkan pemikiran itu sendiri.
Sekarang kita sanggup mengerti juga mengapa kata "tradisi" sepatutnya diberi suatu arti positif. Sebelum masa pencerahan kata "tradisi" (dan prasangka juga) tidak mempunyai nada peyoratif. Baru pada waktu pencerahan, otoritas yang dijunjung tinggi dalam tradisi dipertentangkan dengan kritik rasio. Bagi Gadamer tidak ada keberatan untuk mengakui otoritas suatu tradisi. Tradisi dibuat oleh prasangka-prasangka yang kita miliki bersama (maksudnya prasangka-prasangka yang benar), biasanya tanpa disadari.
c. Bahasa
Dalam penggalan ketiga bukunya, Gadamer membahas persoalan bahasa. "Mengerti" mustahil tanpa bahasa. Dan lantaran "mengerti" bukan saja dijalankan dalam pergaulan dengan teks-teks dari masa lampau, tetapi merupakan perilaku paling mendasar dalam eksistensi manusia, maka harus disimpulkan bahwa persoalan bahasa mempunyai relevansi ontologis. Dalam konteks ini Gadamer merumuskan suatu perkataan yang sering dikutip dan dikomentari: sein, das verstanden werden kann, ist sprache (Being that can be understood is language). Dalam perkataan ini diungkapkan cara bagaimana Ada tampak kepada manusia. Jika Ada menampakkan diri bagi manusia, terjadilah sesuatu. Jika Ada tampak bagi manusia, dikatakan sesuatu. Ada menampakkan diri sebagai bahasa. Dengan perumusan lain sanggup dikatakan juga bahwa dalam situasi hermeneutis Ada tampak sebagai percakapan, sebagai dialog. Mengerti itu sama dengan mengadakan percakapan dengan yang ada; suatu percakapan di mana sungguh-sungguh terjadi sesuatu.
Pemikiran Gadamer perihal bahasa merupakan penggalan filsafatnya yang paling sulit dan paling banyak mengakibatkan tanda tanya. Di sini kami berusaha menggoreskan beberapa garis saja dari pemikiran perihal bahasa yang amat kaya ini. Dalam hubungannya dengan bahasa salah satu hal yang sering ditekankan Gadamer ialah bahwa bahasa tidak terutama mengekspresikan pemikiran tetapi bahasa yakni objek itu sendiri. Dalam ini ia bereaksi melawan setiap pandangan idealitas perihal bahasa. Menurutnya, bahasa berbicara perihal benda-benda dalam dunia, dilarang dikatakan bahwa bahasa merupakan suatu realitas subjektif yang menghalangi kekerabatan kita dengan benda-benda. Tentu saja, tidak ada perkataan yang sanggup mengungkapkan suatu objek dengan tuntas. Tetapi hal itu tidak disebabkan oleh keterbatasan bahasa, melainkan oleh keberhinggaan subjek manusiawi.
Demikian, banyak problem perihal bahasa tidak sanggup dipecahkan, kalau orang berpegang teguh pada pendirian bahwa bahasa merupakan "alat" saja. Tentu saja, bahasa yakni suatu alat komunikasi dalam pergaulan antar manusia. Tetapi hal ini dilarang dianggap makna terdalam bahasa. Bahasa yakni lebih dari daripada suatu sistem gejala saja. Pendirian yang beranggapan demikian bertitik tolak dari adanya kata-kata dan memandang objek-objek sebagai sesuatu yang kita kenal lewat sumber lain. Tetapi objek dan kata tidak sanggup dipisahkan satu sama lain. Pengalaman kita tidak mulai dari kata-kata. Dalam pengalaman kita, tidak dicari suatu kata untuk menunjukkan objek-objek yang sudah dialami. Kalau kita mencari "kata yang tepat" (seperti yang sudah sering terjadi), itu tidak berarti bahwa kita mencari tanda untuk menunjukkan objek yang sudah hadir serba lengkap, melainkan bahwa objek belum nampak sepenuh-penuhnya. Antara kata dan benda terdapat kesatuan begitu erat, sehingga mencari suatu kata bersama-sama tidak lain daripada mencari kata yang seolah-olah menempel pada benda. Demikian pun bahasa dan pemikiran bagi Gadamer membentuk suatu kesatuan yang tak terpisahkan.
Download di Sini
Sumber.
Bertens, Kees. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta. Gramedia.
Baca Juga
1. Hans Georg Gadamer. Biografi dan Karya
2. Dilthey, Gadamer, dan Hermenutika
3. Hermeneutika dan Ilmu-ilmu Sosial
4. Sejarah Hermeneutika