Kajian Budaya Punk (Youth Subculture) Dick Hebdige

Merupakan hasil penelitian kajian budaya yang banyak menggunakan pendekatan semiotik Barthesian dalam Subculture. The Meaning of the Style (1979) karya Dick Hebdige terhadap budaya anak muda pada tahun 1970-an yang sedang tergila-gila pada apa yang disebut punk. Hebdige melihat kompleksitas kekerabatan antara bawah umur muda dengan masyarakatnya, dengan kelompok-kelompok budaya lainnya, dan dengan budaya orang bau tanah mereka. Buku ini mengambil tema, "status dan makna pemberontakan, gagasan style sebagai bentuk penolakan, elevasi kejahatan kedalam seni" (kejahatan dalam hal ini hanya berupa 'broken codes').

Perhatian pada budaya kaum muda tersebut juga didekati dari kemapanan moral dan politik. Hal tersebut merupakan pendekatan yang paling umum dan banyak membantu para pemegang otoritas baik politik maupun moral. Kebangkitan budaya kaum muda dengan banyak sekali bentuk ekspresinya, dengan banyak sekali kelompok dan karakternya masing-masing sering menggelisahkan para penjaga kemapanan moral dan sosial. Dalam sosiologi budaya, kegelisahan tersebut tercakup dalam konsep kegelisahan moral.

Kaum muda ditempatkan sebagai korban dan sekaligus pelaku kegelisahan moral. Sebagai korban, kaum muda ditempatkan sebagai jawaban dari budaya modern (terutama pers) yang sangat kokoh dalam menghipnotis orang-orang muda. Sebagai penyebab, kaum muda ditempatkan sebagai kelompok yang menggoncang tatanan sosial dan merisaukan ketenangan masyarakat. Oleh alasannya yaitu itu penelitian budaya kaum muda biasanya berakhir pada jalan keluar untuk melaksanakan kontrol sosial pada kaum muda sehingga mempunyai disiplin sosial. Para sosiolog yang berminat pada subkultur biasanya menelitinya dari sisi "integrasi dan koherensi".


Entah sengaja atau tidak, langkah-langkah pembuatan teori dalam Subculture menyerupai dengan langkah-langkah dalam Mythologies karya Barthes*. Bagian pertama (some case studies) berisi kasus-kasus empiris dan potongan kedua (a reading) berisi teoritisasi atas kasus-kasus tersebut. Kalau pada potongan kedua dari Mythologies Barthes* menghasilkan teori perihal mitos, pada potongan kedua dari Subculture Hebdige menghasilkan sebuah teori perihal subkultur. Teoretisasi ini banyak menggunakan kategori-kategori semiotik Barthesian.

Kepentingan Hebdige melaksanakan teoritisasi subkultur ialah ratifikasi pada budaya kelompok-kelompok sosial yang selama ini tersisihkan menyerupai kelompok-kelompok anak muda yang tidak tunduk pada bentuk-bentuk budaya yang sudah mapan, menyerupai kelompok kulit gelap dan kelas pekerja. Pengakuan tersebut ia lakukan dengan jalan meragukan kategori-kategori yang selama ini sudah diterima umum dalam memahami subkultur. Kategori-kategori tersebut biasanya menempatkan subkultur dan kelompok pendukungnya sebagai budaya dan kelompok deviant dan oleh alasannya yaitu itu perlu didisiplinkan oleh lembaga-lembaga yang berwenang menyerupai polisi, sekolah dan lain sebagainya.

Dalam penelitiannya Hebdige ingin membiarkan mereka menjadi apa adanya sejauh itu semua memperlihatkan makna pada pengalaman mereka dan mengungkapkan identitas mereka, alasannya yaitu budaya pada hakikatnya yaitu 'semua bentuk pengungkapan yang menata pengalaman suatu kelompok menjadi bermakna'. Untuk mendekati tanda-tanda subkultur anak muda tersebut, Hebdige tidak memulainya dengan mengeksplorasi nilai. Sebaliknya, ia memulai dengan memperhatikan hal-hal sepele yang oleh kebanyakan orang dianggap sampah atau buangan. Agar hal-hal sepele ini menampakkan koherensi dan maknanya, Hebdige melaksanakan simulasi pemaknaan. Dari hasil simulasi tersebut ia menemukan makna ganda, "kehadiran yang menggelikan sekaligus mengancam dan tanda-tanda identitas terlarang".

Berkaitan dengan kedudukan subkultur anak muda yang cenderung ditempatkan sebagai budaya devian, Hebdige melihat bahwa semiotika Barthesian sanggup digunakan sebagai metode purgatorio. Seperti diketahui, tahap purgatorio merupakan tahap sebelum seseorang mencapai tahap kenikmatan puncak. Bagi Hebdige pengalaman akan paradiso ini muncul ketika orang tidak lagi didikte oleh pendapat umum yang cenderung memojokkan subkultur. Dilihat dari perspektif para pendukung subkultur, pengalaman paradiso dicapai ketika bentuk-bentuk ekspresif mereka (entah itu berupa musik, pakaian, tatoo dan lain sebagainya) mengungkapkan sebuah identitas dan berbicara atas nama mereka sendiri. Dengan kata lain, bentuk-bentuk ekspresif ini tidak lagi dibaca sebagai identitas terlarang dari kelompok devian.

Lebih lengkapnya terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dari pendekatan semiotika dalam kajian budaya yang dipraktekan Hebdige, Pertama, semiotika digunakan Hebdige untuk membaca tanda-tanda punk sebagai subkultur. Punk sebagai subkultur masih harus ditunjukkan lewat pembacaan, Hebdige memperlihatkan subkultur punk tersebut lewat pembacaan teori mitos Barthesian. Demikian, Hebdige menentukan ciri-ciri mitos dalam subkultur punk, di antaranya mencakup komunikasi intensional, bricolage, homologi, dan balasannya praktik yang menghasilkan makna (signifying practices). Kalau kultur kita sejajarkan dengan langue, maka subkultur sanggup disejajarkan dengan parole. Sebagaimana diketahui seseorang atau kelompok masyarakat sanggup menghasilkan parole dengan jalan menggunakan langue yang ada. Parole tersebut muncul alasannya yaitu kebutuhan tertentu, yaitu untuk mengungkapkan kepentingan subjek.

Bagaimana tanda-tanda punk (lewat musik, pakaian, kebiasaan dan sebagainya) disebut parole bagi pendukungnya? Hebdige memperlihatkan bahwa subkultur tersebut tidak semata noise melainkan sound, artinya subkultur tersebut tidak hanya sekedar kebisingan melainkan bunyi yang disengaja untuk komunikasi, halnya dengan subkultur punk. Hebdige mengamati bahwa dalam punk termuat bentuk-bentuk distorsi dari semua subkultur yang muncul semenjak Perang Dunia Kedua. Bentuk-bentuk distorsi ini secara sepintas memang tidak lebih daripada sampah, buangan, deviansi budaya semata. Akan tetapi, bila ditelusuri asal-usulnya dan dibaca secara teliti, Hebdige menemukan bahwa kumpulan distorsi tersebut sanggup menghasilkan sound.  Demikian, ada banyak kemungkinan untuk merespons perkembangan budaya semenjak Perang Dunia Kedua, kelompok punkers mempunyai caranya tersendiri.

Dengan bekal teori mitos tersebut Hebdige berbicara perihal subkultur punk lewat hal-hal yang sepele dan mengolahnya hingga ia menemukan makna ganda. Makna ganda tersebut berupa tanda-tanda yang sanggup mengancam apa saja yang sudah mapan, tapi pada waktu yang sama juga menemukan suatu identitas dalam arti yang bekerjsama (walaupun identitas tersebut barangkali dilarang). Makna ganda tersebut ditemukan dalam tanda-tanda yang dikumpulkan secara eklektik, diambil dari mana saja dan disatukan dalam ikatan yang tidak wajar. Unsur-unsur simbol tersebut serba disalahtempatkan. Dikalangan para punkers, pengamatan Hebdige mencakup potongan rambut dan gaya berpakaian, musik, cara menari, performance, dan bahkan kawasan pertunjukan, hasilnya kita menemukan bentuk utuh dari punk sebagai style, ideologi para pendukung punk dan identitas kelompok budaya punk.

Kedua, kajian semiotika tidak pernah sanggup berdiri sendiri, dalam subkultur semiotika pertama-tama dikomunikasikan dengan sosiologi guna meneliti asal-usul terbentuknya kelompok sosial pendukung subkultur punk (yaitu kelas pekerja kulit putih) dan hubungannya dengan kelompok-kelompok lainnya (kelas atas kulit putih, kelas pekerja kulit berwarna. Secara khusus, semiotika dalam subkultur dikomunikasikan dengan sosiologi deviansi yang selama ini digunakan untuk meneliti subkultur.


Untuk mengidentifikasi kelompok punkers secara sosiologis, Hebdige menelusuri kelompok-kelompok pendukung banyak sekali subkultur di Inggris semenjak Perang Dunia II (seperti reggae, rockers, mods dan skinheads). Munculnya kelompok-kelompok subkultur tersebut tidak sanggup dilepaskan dari dua gelombang imigrasi (eksodus) dari West Indies ke Inggris (Mother Country). Gelombang pertama terjadi pada tahun 1950-an yang terdiri dari orang-orang yang relatif lebih siap untuk mencari pekerjaan dan gelombang kedua pada tahun 1960-an yang terdiri dari orang-orang yang kurang siap memasuki pasar kerja dalam masyarakat industri. Gelombang kedua inilah yang menghasilkan subkultur reggae yang lahir dari situasi yang sarat dengan rasa putus asa dan rasa kangen akan tanah airnya.

Penetrasi budaya para imigran dengan subkulturnya tersebut mengundang respons tidak simpatik bahkan permusuhan dari kelompok kaum muda tuan rumah atau kulit putih. Mereka membuktikan rasa anti-pati mereka dengan semangat ultra kanan (neo-Nazisme, neo-Fasisme dan semacamnya) alasannya yaitu alasan yang jelas, perasaan terancam. Kelompok kanan ini menghasilkan subkultur teddy boys dengan dandisme dan skinnheads. Hebdige kekerabatan antarkelompok tersebut secara hierarkis melainkan secara organik, dan penelusuran sosiologis atas kelompok punkers tersebut pasti sangat bermanfaat guna melihat konteks sosial dihasilkannya tanda-tanda.

Ketiga, semiotika juga digunakan bersama dengan teori ideologi yang dalam hal ini teori ideologi Althuserian* (dan tentu saja Marx* dan Gramsci*). Dari teori ideologi Althuserian* (atau persisnya Gramsci*), diadopsi kategori-kategori menyerupai hegemoni, common sense, naturalisasi dan lain sebagainya. Teori ideologi menyampaikan bahwa apa yang nampaknya biasa, natural, lumrah bekerjsama memendam ketidaksadaran akan suatu distorsi. Apa yang sepertinya biasa, sudah diterima umum ternyata sudah mengandung muatan ideologis, yaitu ideologi dominan. Dalam kasus para punkers, media massa sangat berperan dalam menaturalisasi pandangan negatif posisi devian.

Lewat teori ideologi, Hebdige menemukan bahwa punk yaitu subkultur kaum muda yang kental dengan kesadaran kelas (kelas pekerja) dan etnik (kulit putih). Di mana kesadaran kelas kaum muda tersebut tidak sanggup disamakan begitu saja dengan kesadaran kelas orang bau tanah mereka. Anak-anak muda ini menentukan bentuk-bentuk ekspresinya sendiri untuk mengungkapkan kesadaran kelas mereka dan bentuk-bentuk tersebut berbeda dengan yang selama ini digunakan oleh orang bau tanah mereka. Dengan demikian yang lain (other) yang didefinisikan oleh subkultur ini berada baik di dalam kelas (orang tua) maupun di luar kelas (kelas atas).

Untuk meneliti kesadaran ideologis para punkers, kita sanggup melihat basis sosial mereka, yaitu orang-orang kulit putih yang berhadapan dengan kelompok kulit putih lainnya, yaitu para skinheads. Para skinheads dikenal dengan gerakan rasis. Mereka yaitu orang-orang yang merasa tidak kondusif dengan para imigran kulit berwarna. Mereka berpenampilan plontos, tangan sarat dengan tatto kemiliteran (terutama swastika), kaos lengan pendek bertuliskan kata-kata yang provokatif (seperti white power). Dalam konflik rasial semacam inilah kita harus menempatkan ideologi para punkers, disatu sisi mereka menentang para skinheads dengan ideologi ekstrim kanannya, dan untuk mengartikulasikan ideologinya, para punkers ini meminjam simbol-simbol perlawanan para imigran. Akan tetapi bukan berarti bahwa mereka para pendukung kaum migran. Mereka menentang para skinheads alasannya yaitu mereka termasuk orang kulit putih yang tersisih (marginal), jadi ada kesadaran kelas di antara punkers sekaligus juga mereka mempunyai kesadaran etnik. Demikian, subkultur punk sangat kental dengan kesadaran ideologi kelas dan etnik.

Keempat, semiotika juga digunakan bersama dengan teori seni atau estetika. Dalam hal ini Hebdige menggunakan konsep estetika untuk membahas musik punk secara umum (baik berkenaan dengan pakaian, jenis musik, maupun pementasan). "Bagi kami tak ada yang suci. Gerakan kami bukanlah gerakan mistik, bukan juga komunistik maupun anarkis. Semua gerakan ini mempunyai semacam agenda tertentu, sedangkan gerakan kami sama sekali nihilistik. Kami meludahi segala-galanya termasuk diri kami sendiri. Simbol kami yaitu kekosongan. vacum, ketiadaan" (George Grosz).

Pendapat Grosz diatas meresapi tafsiran Hebdige perihal seni atau anti-seni punk. Kalau Hebdige beropini bahwa punk yaitu sebuah refusal, penolakan, peludahan, hal ini juga sanggup dijelaskan secara estetik. Estetika dalam punk yaitu sebuah estetika penolakan, estetika anti seni. Pengalaman estetika yang dirayakan dalam punk yaitu pengalaman ketegangan (tension). Sebagai seni pop, punk menemukan stylenya untuk memperlakukan pengalaman akan ketegangan. Kostum yang dikenakan tidak mengikuti fashion melainkan unfashion, cara pementasan tidak mengikuti cara konser atau hiburan malam melainkan cara mereka sendiri di mana tidak lagi sanggup dibedakan antara mereka yang sedang pentas dan mereka yang sedang menonton pentas.

Berkenaan dengan musik, Hebdige mengatakan, "Demikian juga musik mereka berbeda dengan rock dan pop mainstream. Pada umumnya musik punk bercorak basic dan langsung, entah disengaja atau alasannya yaitu kurang ahli. Kalau kurang ahli, punk tentu melaksanakan dengan bahagia apa yang semestinya dilakukan ("Kami ingin menjadi amatiran" Johnny Rotten). Secara khas permainan gitar dengan volume dan trible yang mengeras disertai dengan saksofon akan menghasilkan baris-baris (non) melodik yang kejam dengan latar belakang bunyi drum yang riuh dan teriakan vokal. Dengan ringkas Johnny Rotten mendefinisikan kedudukan punk pada harmoni demikian, "kami berada dalam chaos bukan dalam musik".

Kelima, semiotika juga berfaedah untuk mengkritisi konsep budaya. T. S Eliot mengartikan budaya sebagai a meaningful coherence, a whole way of life. Akan tetapi Hebdige menemukan bahwa dalam subkultur punk yang terjadi yaitu "coherence in contradiction". Ia menemukan hal-hal yang serba salah tempat, melanggar konsensus entah itu lewat musik, berpakaian, maupun berbahasa. Dilihat dari semiotika konsep budaya tersebut ia eksplorasi dari konsep budaya dalam antropologi struktural yang mengartikan budaya sebagai sistem komunikasi, bentuk-bentuk verbal dan representasi. konsep ini membantu kita untuk menempatkan style dalam budaya. Kalau dikatakan bahwa dalam budaya ada stile, stile diartikan sebagai coded responses. Style berarti cara yang digunakan oleh kelompok orang untuk merespon dunia sekitarnya dengan jalan menghasilkan code. Konsep budaya yang mencakup stile ini sejajar dengan konsep budaya sebagai way of life yang banyak digunakan dalam kajian budaya. Konsep ini juga sanggup digunakan untuk menjelaskan mengapa sistem komunikasi itu macet. Kemacetan tersebut terperinci kita temukan dalam budaya punk. Dengan adanya makna ganda, di mana disatu sisi kita menemukan kehadiran yang aneh, disisi lain kita tidak sanggup menutup indera pendengaran kita dari bunyi identitas untuk minta diakui.

Keenam, pada balasannya pendekatan semiotika selalu berhadapan dengan wilayah yang berada di luar jangkauannya. Semiotika memperlihatkan perangkat untuk membaca namun pada balasannya ada wilayah yang tidak sanggup dibaca oleh semiotika.


Download di Sini


Sumber
Sunardi, ST. 2004. Semiotika Negativa. Buku Baik. Jogjakarta

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel