A Mirror On The Wall: Citra Realitas Sosial Yang Terdistorsi

Konstruksi Realitas dan Makna
Iklan telah menjadi potongan dari masyarakat industri kapitalis yang begitu powerful dan sulit untuk dielakkan. Iklan menyediakan gambaran perihal realitas, dan sekaligus juga mendefinisikan keinginan dan kemauan individu. Iklan mendefinisikan apa itu gaya, dan apa itu selera yang bagus, di mana dalam hal ini iklan tidak hanya menawarkan sebuah alternatif kemungkinan dan saran kepada individu, namun lebih dari itu sebagai tujuan yang diinginkan atau dikehendaki oleh individu dan tidak bisa dipertanyakan.

Sedangkan realitas, Alfred Schutz* berpendapat bahwa semua insan dalam pikirannya membawa apa yang dinamakan stock of knowledge, baik perihal barang-barang fisik, perihal sesama manusia, artefak dan koleksi-koleksi sosial maupun objek-objek budaya. Stok of knowledge yang didapatkan melalui proses sosialisasi tersebut, menyediakan frame of reference atau orientasi yang mereka gunakan dalam menginterpretasikan objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang mereka lakukan sehari-hari. Objek-objek dan peristiwa-peristiwa itu tidak mempunyai makna yang universal atau inheren, yang jauh terpisah dari kerangka yang sudah ditentukan.

Bagi Schutz*, stock of knowledge dari orang-orang itulah realitas mereka. Realitas itu dialami sebagai dunia objektif yang ada "di luar sana", bebas dari keinginan insan dan mereka hadapi sebagai sebuah fakta. Stock of knowledge ini mempunyai huruf yang taken for granted dan jarang sebagai objek dari refleksi kesadaran. Ia dipahami oleh manusia, dengan memakai nalar sehat, sebagai sebuah realitas.

Orang umumnya berasumsi bahwa setiap anggota masyarakat yang lain, juga mempunyai stock of knowledge yang sama dan akan memahami dunia dengan cara yang sama pula. Mereka berasumsi bahwa orang lain juga akan melihat dunia sebagai sesuatu yang dibangun dengan objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang sama, dan mempunyai makna yang sama dengan mereka. Orang lain itu juga dianggap akan menanggapi objek dan insiden tersebut dengan cara-cara yang sama pula dengan mereka. Menurut Schutz*, orang menyandarkan diri pada tifikasi-tifikasi atau resep-resep tindakan yang sudah ada dalam budaya mereka. Tifikasi ini menyediakan cara-cara untuk bertindak, solusi-solusi dilema dan interpretasi perihal dunia sosial.


Pendekatan Schutz* menyampaikan bahwa dalam percakapan sehari-hari, orang memakai tifikasi objek dan insiden tadi, dan tifikasi ini akan sangat bermakna bagi mereka yang mempunyai stock of knowledge yang sama. Seorang speaker yang mempunyai stock of knowledge yang sama dengan listener-nya akan dianggap menyampaikan sebuah kebenaran saat speaker tersebut menghindari penggunaan tifikasi-tifikasi yang tidak konvensional atau idiosyncratic. Pernyataan-pernyataan dari speaker tentu tidak akan dipertanyakan lagi oleh para pendengarnya, kecuali jikalau konteksnya tidak biasa, ibarat contohnya adanya keraguan terhadap kemampuan dari speaker.

Lain halnya dengan speaker yang common culture-nya tidak sama dengan audiens. Jika audiens tidak mempelajari stock of knowledge dari mana speaker mengambil tifikasi, maka perkiraan yang muncul yaitu penginterpretasian speaker perihal dunia tidak bisa dijamin kebenarannya atau dipertanyakan. Realitas speaker dengan audiens kecil kemungkinan untuk bisa betul-betul serupa. Satu hal yang penting yaitu bahwa perbedaan dalam konstruksi realitas speaker dengan audience, akan menjadikan audience berpandangan bahwa pernyataan speaker tersebut kurang bermakna atau kredibilitasnya kurang. Speaker tersebut akan tidak diterima sebagai seorang distributor yang mengemukakan kebenaran.

Dengan pola yang ibarat Schutz*, Peter L Berger* dan Thomas Luckman* juga menganalisis proses di mana orang membuat realitas kehidupan sehari-hari. Mereka menganggap proses tersebut sebagai konstruksi realitas simbolik. Menurut Berger* dan Luckman*, dunia sosial yaitu produk manusia, ia yaitu konstruksi insan dan bukan sesuatu yang given. Dunia sosial dibangun melalui tifikasi-tifikasi yang mempunyai rujukan utama pada objek dan insiden yang dialami secara rutin oleh individu dan dialami bersama dengan orang lain dalam sebuah pola yang taken for granted. Dan yang lebih muda akan mempelajari realitas tersebut melalui proses sosialisasi, ibarat mereka mempelajari hal-hal lain yang membangun dunia, yang mereka temui sehari-hari. Generasi yang lebih muda ini juga mempelajari makna dari order sosial yang memberi mereka validitas kognitif dan juga legitimasi normatif. Sosialisasi melibatkan transmisi simultan pengetahuan dan nilai-nilai. Di dalam proses sosialisasi itu, pemahaman perihal dunia sosial juga mengalami evaluasi.

Erving Goffman* mempunyai premis yang hampir sama dengan Schutz*, Peter Berger* dan Thomas Luckman*, bahwa dunia sosial itu intinya yaitu ambigu, di mana objek, aktor, kondisi dan insiden tidak mempunyai makna yang inheren. Makna diciptakan melalui tindakan insan yang mengorganisasi, mengkarangterisasi dan mengidentifikasi pengalaman dengan memakai definisi yang dipahami bersama. Makna tersebut dibatasi dan sifatnya relatif terhadap konteks sosial di mana makna tersebut diciptakan. Makna dipelajari melalui proses sosialisasi, orang cenderung bertindak berdasarkan pada makna tersebut tanpa melaksanakan penilaian kembali dan tanpa kesadaran akan kekuatan-kekuatan sosial yang menciptakannya. Dalam istilah Goffman*, individu-individu memakai makna-makna yang terinstitusionalisasi ini untuk membingkai atau menginterpretasikan pengalamannya sehari-hari.

Sebuah kerangka rujukan yaitu sebuah bagan interpretasi di mana kisah-kisah perihal dunia di mana kita berada diorganisir, dan bisa dimengerti dengan jelas. Kerangka tersebut menyediakan balasan atas pertanyaan "apa yang sedang terjadi", dan setiap insiden bisa dideskripsikan dengan memakai fokus yang luas, sempit, erat atau jauh. Namun huruf dari setiap insiden bisa sangat berbeda alasannya yaitu setiap tugas individu atau organisasi yang dijalankan bisa menyediakan penilaian evaluatif yang berbeda.

Dari ketiga perspektif konstruksi sosial realitas yang dipresentasikan oleh Schutz*, Berger* dan Luckman* serta Goffman*, ada satu benang merah yang bisa disimpulkan, yaitu bahwa aktivitas-aktivitas insan yang bertujuan itu, berada dalam struktur-struktur makna. Objek dan insiden yang terjadi dalam dunia sehari-hari tidak mempunyai makna yang universal dan inheren. Yang ada yaitu makna yang diciptakan dan dibuat secara sosial. Makna-makna bentukan tersebut merefleksikan struktur konteks sosial historis di mana makna tersebut diciptakan. Orang mengalami dunia ini dengan cara taken for granted. Orang secara umum menjalani kehidupan sehari-hari di bawah perkiraan yang tidak reflektif bahwa pengalaman setiap orang perihal dunia itu intinya sama.

Demikian, kajian intelektual mengenai realitas sosial dalam kaitannya dengan iklan, menyatakan bahwa iklan itu bukan sebuah cermin realitas yang jujur. Tapi, iklan yaitu cermin yang cenderung mendistorsi, membuat menjadi cemerlang, melebih-lebihkan, dan melaksanakan seleksi atas gejala atau citra-citra. Tanda-tanda atau gambaran itu tidak merefleksikan realitas tetapi menyampaikan sesuatu perihal realitas. Seperti yang dikemukakan oleh Marchand, "iklan itu yaitu sebuah cermin masyarakat, a mirror on the wall, yang lebih menampilkan tipuan-tipuan yang halus dan bersifat terapetik daripada menampilkan refleksi-refleksi realitas sosial. Jika kita memperhatikan peran-peran yang dimainkan oleh karakter-karakter dalam iklan, kita akan sangat terkesan dengan distorsi iklan atas lingkungan sosial. Jika kita memperhatikan petunjuk-petunjuk dan nasehat dalam iklan, kita akan sangat terkesan dengan pengelakan manipulatif mereka, dengan upaya iklan untuk menyesuaikan masalah-masalah modernitas. Namun, jikalau kita memperhatikan persepsi iklan atas dilema-dilema sosial dan budaya, yang diperlihatkan dalam presentasinya, kita akan menemukan citra-citra yang akurat dan ekspresif perihal realitas-realitas yang mendasar, yang direfleksikan dalam cermin iklan yang sulit untuk dipahami."

Lebih lanjut Marchand menyampaikan bahwa iklan itu berfungsi sebagai arena cermin yang mendistorsi (a hall of distorting mirrors). Orang biasanya tidak ingin iklan tersebut merefleksikan diri mereka, hubungan-hubungan sosial mereka dan juga hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat yang lebih luas lagi. Orang-orang tersebut, berdasarkan Marchand, memang tidak menginginkan sebuah cermin yang jujur (truth mirror), tapi sebuah zerrspiegel, yaitu sebuah cermin yang mendistorsi yang bisa memperbesar citra-citra tersebut.

Iklan merangkum aspek-aspek realitas sosial (yang dalam pengertian Marchand disebut dilema-dilema sosial), tetapi ia merepresentasikan aspek-aspek tersebut secara tidak jujur. Ia menjadi cermin yang mendistorsi bentuk-bentuk objek yang direfleksikannya, tetapi ia juga menampilkan citra-citra dalam visinya. Iklan tidak berbohong, tapi juga tidak menyampaikan yang sebenarnya.


Iklan tidak mengkonstruksikan dunia yang betul-betul fiktif. Dunia abnormal yang dipresentasikan oleh iklan merupakan upaya yang disengaja untuk membuat asosiasi-asosiasi produk dengan mengimajinasi individu, kelompok-kelompok demografik tertentu atau dengan kebutuhan atau kesempatan tertentu. Abstrak (dalam iklan) tersebut menjadi sesuatu yang esensial dari segi estetika dan maksud dari sebuah periklanan kontemporer. Menurut Schudson, iklan tidak mereprentasikan realitas, tapi tidak pula membangun dunia yang betul-betul fiktif. Iklan berada pada realitasnya sendiri, yang disebut sebagai capitalism realism.

Pengerian capitalism realism dari Schudson ini hampir sama dengan apa yang dikemukakan oleh Erving Goffman* sebagai commersial realism. Menurut Goffman*, commersial realism yaitu transformasi standar yang diterapkan dalam periklanan, yaitu semacam penggambaran perihal publik yang dipakai oleh iklan. Commercial realism membedakan cara orang merepresentasikan dalam kehidupan konkret kedalam dua cara.
Pertama, dalam kehidupan nyata, acara insan itu sangat ritual sifatnya. Orang bertingkah laris dan hidup dalam idealisasi-idealisasi sosial. Mereka mempresentasikan kepada dunia sebuah gambaran stereotype mereka. Dalam iklan, acara orang justru lebih ritual lagi sifatnya, intensitasnya lebih tinggi dibanding dalam kehidupan nyata. Jadi, iklan justru menyangatkan atau melebihkan apa yang terjadi didunia nyata.
Kedua, iklan memperbaiki kehidupan nyata. Dalam kehidupan nyata maupun dalam iklan, orang mempresentasikan idealisasi-idealisasi sosial. Tetapi dalam kehidupan nyata orang tidak cukup bisa memperbaiki sikap mereka untuk mendapatkan idealisasi-idealisasi sosial yang betul-betul ritual sifatnya. Tetapi dalam commercial realism, perbaikan sikap bisa dilakukan dengan sangat cermat dan oleh alasannya yaitu itu, idealisasi sosial bisa digambarkan selengkap mungkin.

Dalam hal tersebut, Goffman* menegaskan bahwa memang ada korelasi yang besar lengan berkuasa antara iklan dengan realitas, atau setidaknya antara iklan dengan ritual dalam masyarakat. Namun, Goffman* juga tidak bermaksud menyampaikan bahwa iklan semata-mata merefleksikan realitas. Meskipun iklan mengadopsi materi-materi dari kehidupan sehari-hari, tapi iklan melaksanakan seleksi atas materi-materi tersebut dengan hati-hati. Ada materi-materi yang diambil, tapi ada juga yang dihapuskan.

Dunia iklan yaitu dunia yang riang dan dunia keberuntungan ibarat yang terlihat melalui mata para pengiklan. Dalam produksi iklan, ada perhatian yang obsesif, dan ada hasrat untuk membuat setiap detail terlihat benar dan real. Proses produksi iklan selalu diwarnai dengan tipifikasi dan idealisasi. Menurut Marchand, tidak ada iklan yang ingin menangkap kehidupan ibarat apa adanya, tapi selalu ada maksud untuk memotret ideal-ideal sosial, dan merepresentasikannya sebagai sesuatu yang normatif, ibarat kebahagiaan, kepuasan.

Oleh karenanya, kegiatan produksi periklanan melibatkan banyak sekali acara penelitian pasar, keterampilan profesional, pengetahuan personal, dan juga intuisi. Selain itu, para kreator iklan juga menempati posisi tertentu dalam masyarakat. Mereka menjadi potongan dari sebuah komunitas kultural yang mendapatkan dan mengalami konvensi-konvensi yang sama dengan anggota komunitas yang lain. Ketika membuat iklan mereka paling tidak akan menggambarkan dunia yang mereka ketahui dan memakai preferensi-preferensi budaya yang menghipnotis gambaran mereka perihal masyarakat. Hal ini tidak lain untuk menjamin bahwa pesan yang disampaikan melalui iklan bisa dibaca oleh khalayak secara benar. Selain itu, sebagai sebuah kegiatan komunikasi massa, iklan akan selalu mencari seni administrasi biar pesan-pesannya bisa diterima dan dimengerti oleh khalayak.

Kegiatan komunikasi sendiri intinya dimaksudkan untuk membawa semua partisipan terlibat (dalam kegiatan komunikasi tersebut) untuk mempunyai pemahaman yang sama perihal apa yang terjadi. Untuk itu, seorang komunikator harus diyakini kredibilitasnya oleh komunikan sebagai pihak yang sedang mengemukakan sebuah kebenaran. Seorang komunikator yang mempunyai stock of knowledge yang sama dengan komunikan akan dianggap sedang mengemukakan sebuah kebenaran.

Pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh komunikator tentu tidak akan diragukan dan dipertanyakan lagi oleh komunikan, kecuali dalam konteks yang tidak biasa. Akan lain halnya dengan komunikator yang mempunyai common cultur yang berbeda dengan komunikan. Jika komunikator tidak mau mempelajari stock of knowledge dari komunikan, maka kebenaran yang dikemukakan oleh komunikator akan dipertanyakan, dan komunikasi menjadi tidak efektif.

Seperti yang dikemukakan oleh Berger* dan Luckman* dalam analisanya perihal konstruksi sosial realitas. Mereka beropini bahwa khalayak dalam sebuah proses komunikasi akan cenderung memandang bahwa sumber komunikasi sedang menyampaikan hal yang bantu-membantu saat klaim-klaim sumber tersebut konsisten dengan makna-makna yang dikonstruksi secara sosial yang mereka yakini. Persepsi perihal konsistensi ini yang akan meningkatkan penerimaan audiens terhadap komponen-komponen normatif yang diwujudkan melalui klaim-klaim tadi. Ketidakkonsistenan dari sumber komunikasi akan menjadikan khalayak menolak dapat dipercaya dari sumber komunikasi tersebut. Dari perspektif sumber komunikasi sendiri, penolakan pesan itu mungkin dianggap bahwa khalayak tidak tersentuh oleh realitas dan tidak bisa mengenali sebuah kebenaran. Khalayak mungkin dilihat sebagai korban dari sebuah kebohongan, kebenaran setengah-setengah, basuh otak, indoktrinasi dan propaganda.

Oleh alasannya yaitu itu, para kreator iklan selalu menyampaikan bahwa dalam merancang pesan-pesan iklan, mereka selalu mendasarkan diri pada pengalaman-pengalaman dan harapan-harapan khalayak, pada stock of knowledge khalayak. Mereka berusaha menempatkan diri sebagai pihak yang mempunyai kerangka rujukan atau common culture yang sama dengan khalayak. Umumnya mereka memakai bahasa, citra-citra, gagasan-gagasan dan nilai-nilai yang ditarik dari budaya di mana komunikator maupun komunikan menjadi produk dari budaya tersebut, dan menyebarkan (sharing) makna yang sama.

Upaya untuk memunculkan shared meaning dalam sebuah iklan, contohnya bisa dilihat pada iklan obat Antangin yang memakai pendekatan budaya jawa. Slogan Antangin yang diucapkan oleh komedian Basuki, misalnya, yang berbunyi "wes..ewes..ewes..bablas angine" menjadi pola upaya dari komunikator untuk menyamakan common culture mereka dengan khalayak. Atau, iklan alat kontrasepsi yang agak kontroversial dengan ungkapan yang menarik hati "meooong". Ungkapan-ungkapan tersebut menjadi gampang ditangkap oleh khalayak alasannya yaitu beririsan dengan stock of knowledge mereka.

Demikian, meskipun tidak dijelaskan dalam teks iklan, apa maksud dari ungkapan tersebut, khalayak tetap bisa menangkap makna dari ungkapan tersebut. Upaya menyamakan stock of knowledge dengan khalayak ini, sering pula dilakukan oleh produk-produk multinasional. Agar diterima oleh masyarakat lokal, produk-produk mutinasional tersebut berusaha untuk mendekatkan diri dengan budaya lokal di mana iklan produk tersebut akan diluncurkan. Misalnya, dalam iklan produk minuman coca-cola yang tampil dengan tema "layang-layang". Ide layang-layang tersebut dianggap sangat erat dengan budaya lokal, yang pada kesudahannya bisa menempatkan merek internasional tersebut sebagai potongan dari kehidupan sehari-hari masyarakat lokal. Bahkan dalam ajang Citra Pariwara 1999, iklan tersebut dinobatkan sebagai iklan dengan budaya khas Indonesia.


Download di Sini

Sumber
Noviani, Ratna. 2002. "Jalan Tengah Memahami Iklan", Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel