Posisi Iklan Dalam Dinamika Kapitalisme

Selama ini, aspek ekonomi selalu menjadi pijakan utama dalam memperbincangkan problem periklanan. Ketika membicarakan kiprah iklan dalam masyarakat, perhatian terutama ditujukan pada fungsi ekonomi iklan dalam pasar modern. Hal ini tidak mengherankan mengingat iklan dikenal sebagai motor pelopor ekonomi dalam dunia industri. Perkembangan iklan sendiri berjalan beriringan dengan perkembangan industri barang dan jasa. Dengan kata lain, untuk melacak perkembangan dunia periklanan, kita bisa melakukannya dengan menyimak perubahan dan perkembangan yang terjadi di dalam dunia industri barang dan jasa.

Perkembangan sistem industri pabrikan dimulai semenjak terjadinya Revolusi Industri di Eropa pada kurun ke-18.  Di bawah sistem ini, dikembangkan upaya untuk mengelola pabrik dan menjual komoditi untuk mendapat laba. Barang-barang tidak lagi diproduksi untuk kebutuhan subsisten, tetapi diarahkan untuk mendapat keuntungan dari penjualan di pasar. Cara produksi kapitalis, menggantikan cara produksi subsiten yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan lokal dan umumnya dikerjakan di rumah tangga dengan keterampilan dan keahlian tradisional, dan hanya dikerjakan oleh anggota keluarga.  Di dalam cara produksi kapitalis, komoditi dihasilkan dengan tujuan untuk mencari laba. Akumulasi kapital dilakukan dengan cara mengambil laba, dan prosedur inilah yang menjadi dorongan paling berpengaruh untuk melaksanakan produksi. Ditunjang dengan perlengkapan mesinisasi, produksi komoditi yang berorientasi pada keuntungan ini, menjadi basis sistem ekonomi pabrik rasional.

Semangat untuk melaksanakan akumulasi kapital dalam sistem produksi kapitalis sendiri, sebetulnya sudah ada semenjak kurun ke-12 dan 13. Istilah kapital muncul untuk pertama kalinya pada waktu itu, yang mengandung arti dana, persediaan barang, sejumlah uang dan bunga uang pinjaman. Istilah ini diketahui dari kutipan pendeta dari Siena, St. Bernandio (1380-1444) yang merujuk pada “quamdam seminale rationem lucrosi quam cummuiter kapital vocamus” (bahwa bisanya alasannya yaitu utama dari kemakmuran yaitu kapital).

Kapital di sini secara sempit bisa dijelaskan sebagai kekayaan berupa uang dari suatu perusahaan atau dari seorang pedagang. Berangkat dari pandangan bahwa kapital akan membawa kemakmuran ini, maka bisa dipahami bahwa acara menimbun barang, mencari bunga uang pinjaman maupun menumpuk uang, dilakukan dengan sengaja, dengan semangat untuk mendapat keuntungan. Kemakmuran dipahami dengan cara melaksanakan akumulasi barang maupun uang. Pengertian kapital secara sempit inilah yang kemudian dikenal sebagai kapital produktif pada sistem kapitalisme kurun 18. Istilah ini kemudian menjadi konsep sentral dari kajian Marx* perihal kapitalisme, yang disebutnya sebagai cara produksi (mode of production).

Selain itu, semangat untuk melaksanakan akumulasi yang menjadi dasar dari perkembangan kapitalisme ini juga bisa disimak dalam studi Max Weber* perihal Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Menurut Weber*, contoh hidup asketis dari sekte Calvinisme agama Protestan lah yang menopang semangat akumulasi kapital. Dalam anutan Calvinisme, akumulasi kapital dianggap sebagai pengumpulan kemakmuran bagi keagungan Tuhan dan bukan untuk kemewahan duniawi. Hal ini memungkinkan terjadinya transisi dari feodalisme menuju kapitalisme. Oleh lantaran itu, kapitalisme harus bisa mengatasi sikap-sikap tradisional dan mengedepankan kalkulasi universal, yang ditopang oleh pertimbangan rasional dalam bekerja maupun dalam melaksanakan akumulasi. Jika konsumen tidak menginginkan sesuatu yang lebih daripada kebutuhan tradisional, maka akan sulit untuk melihat segala sesuatu di luar apa yang dibutuhkan. Singkatnya, etika Protestan pada kurun ke-19, yang menekankan pada kerja keras, ekonomis dan tidak mabuk, telah menyampaikan jalan bagi etika leisure, konsumi dan juga calculating hedonism.

Di dalam dunia modern, muncul semacam keyakinan bahwa masyarakat telah didominasi oleh budaya konsumen melalui apa yang disebut sebagai revolusi konsumsi. Pada awalnya, contoh utama dalam konsumsi yaitu mencoba untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan seseorang dengan barang dan jasa yang diproduksi secara lokal dengan alat-alat dan keahlian tangan. Namun, berkembangnya sistem industri pasar menimbulkan terjadinya perubahan radikal. Sistem industri pasar telah menjauhkan individu dari sumber-sumber tradisional ibarat objek-objek kerajinan tangan, ke dalam pemuasan kebutuhan dan pasar yang dipenuhi dengan meningkatnya kuantitas dan variasi produk-produk yang diproduksi secara massal. Dalam situasi ini, kapitalisme menghadapi problem realisasi dikonsumsinya sejumlah besar barang yang sudah diproduksi tersebut, hingga melampaui batas minimal.

Jikalau kapitalisme tidak bisa mengatasi problem tersebut, maka ia akan mengalami keruntuhan. Sebab, bila barang-barang tersebut tidak bisa dijual, maka tidak akan ada lagi investasi di dalam produksi, dan hal ini pada gilirannya akan menimbulkan stagnasi ekonomi. Oleh lantaran itu, semoga sistem produksi tetap bisa berjalan, kelimpahan barang-barang dipasaran tersebut perlu diimbangi dengan konsumsi yang sifatnya massal pula. Untuk mencapai tingkat konsumsi yang bersifat massal, berdasarkan Galbraith, cara produksi kapitalisme perlu menerapkan demand management dalam rangka menstimuli demand yang cukup dalam masyarakat. Salah satu cara untuk menstimuli demand yaitu melalui publikasi massif, dan dalam hal ini, iklan menjadi salah satu elemen yang penting.

Iklan mempunyai fungsi menginformasikan produk-produk yang diproduksi secara massal tadi kepada masyarakat. Maksudnya tentu saja semoga masyarakat tergerak untuk membeli atau mengkonsumsi produk-produk tersebut. Dengan demikian, terjadi keseimbangan antara produksi dan konsumsi, dan pasar pun tetap aman. Seperti yang dikemukakan oleh Konig, bahwa iklan yaitu salah satu bentuk informasi yang menyampaikan berita-berita yang up to date kepada konsumen mengenai komoditi-komoditi dan dorongan-dorongan kebutuhan tertentu yang bertujuan untuk menjaga tingkat produksi. Jadi, iklan menjadi salah satu sarana yang dipakai oleh industri-industri kapitalis untuk menjamin distribusi komoditi kepada masyarakat secara luas. Ia sengaja dirancang semoga bisa membuat seruan akan barang dan jasa dalam masyarakat.

Iklan ikut membantu industri barang dan jasa, sebagai apa yang oleh Stuart Ewen disebut sebagai captain of industri, untuk mengamankan cuilan pasar dengan cara mengorganisir dan mengontrol selera dan sikap masyarakat. Kepentingan kapitalisme industrial ketika terjadi booming barang-barang produksi yaitu membuat konsumen, sehingga semenjak era tahun 1780-an, iklan betul-betul ditujukan untuk membuat konsumen secara serius. Strategi iklan yang diterapkan pada waktu itu yaitu take-it or leave-it. Presentasi iklan begitu gambling, dan umumnya berisi informasi perihal produk yang dimiliki, informasi harga dan di mana konsumen bisa mendapat produk tersebut. Upaya untuk membuat segmentasi pasar masih sedikit dilakukan, meskipun di dalam presentasi iklan itu sendiri, ada sedikit petunjuk perihal konsumen yang dibidik.

Menurut Stuart Ewen, pada awal kurun ke-20 industri barang dan jasa gotong royong dengan industri periklanan mulai merancang cara-cara untuk membuat konsumen dan mendorong konsumsi sebagai sebuah gaya hidup dalam masyarakat Amerika. Situasi melimpahnya barang konsumsi dipasar, memerlukan apa yang oleh Stuart Ewen disebut sebagai a continually responsive consumer market. Dalam hal ini terjadi pergeseran situasi di mana konsumen yang tadinya mencari barang-barang dengan kualitas yang bisa dipercaya, sekarang pabrik barang-baranglah yang mencari konsumen.  Ada kebutuhan untuk membuat pasar semoga semua barang gres bisa diproduksi. Ini berarti pabrik-pabrik itu tidak hanya memproduksi barang saja tetapi juga harus memproduksi konsumen yang akan membeli barang tersebut. Dalam kondisi ini, iklan-iklan banyak dipakai untuk membuat kekurangan-kekurangan gres pada diri konsumen, dan menempatkan pabrik sebagai penyedia solusi bagi kekurangan-kekurangan tersebut.

Iklan mempresentasikan mimpi-mimpi jelek tetapi sekaligus mimpi-mimpi yang menyenangkan. Iklan lebih suka membuat hasrat dalam diri konsumen, menyarankan kepada konsumen bahwa ada kekurangan dalam kekerabatan mereka dengan orang lain, dan memperlihatkan produk sebagai jawabannya. Di sini, semangat dari anutan Calvinisme yang diuraikan oleh Weber*, bahwa kapitalisme harus bisa mengatasi sikap-sikap tradisional, dan mengedepankan rasionalitas, tercermin terang melalui iklan. Iklan menggeser sikap-sikap tradisional ibarat hemat, sederhana, ke dalam sikap hidup hedonis yang mengutamakan belanja. Iklan menyampaikan rasionalisasi-rasionalisasi yang membenarkan orang untuk tidak sayang mengeluarkan banyak uang dalam berbelanja. Belanja bukan lagi sesuatu yang seharusnya dibatasi, tetapi justru harus diekspresikan semaksimal mungkin.

Ewen melihat bahwa untuk membuat seruan dalam masyarakat tidak cukup bila hanya mengandalkan pada publisitas massif saja, tetapi juga perlu adanya perubahan-perubahan radikal dalam kebisaan-kebisaan dalam rumah tangga, pola-pola belanja dan juga nilai-nilai keluarga. Dalam hal ini, iklan bertugas untuk meyakinkan masyarakat bahwa acara mengkonsumsi, membelanjakan uang dan memuaskan impian merupakan jalan menuju kebahagiaan dan kepuasan yang secara moral bisa diterima. Norma-norma tradisional ibarat sikap puritan, asketis, hemat, sabar, tabah, pantang mengalah dan sebagainya, berdasarkan Stuart Ewen mulai mengalami keruntuhan di depan rezim industri ini.

Dalam perkembangannya, pendekatan-pendekatan psikologis mulai diterapkan dalam acara periklanan sehingga bisa menggugah minat dan emosi masyarakat untuk mencari kepuasan dengan cara mengkonsumsi barang. Iklan berusaha untuk menjaga agar suitably consumptive (konsumsi ideal) dalam masyarakat tetap terjaga. Di sini, kiprah iklan sebagai captain of industri bergeser menjadi captain of consciousness. Melalui citra-citra atau image-image yang diciptakannya, iklan diperlukan bisa mengubah sikap seseorang, membuat seruan konsumen dan juga bisa membujuk orang semoga berpartisipasi di dalam acara konsumsi, yang pada akibatnya mereproduksi masyarakat konsumen. Hal ini, didukung oleh perkembangan dibidang administrasi ilmiah, menjamurnya department-departement store, munculnya teknik-teknik organisasi gres yang semakin baik serta masinisasi produksi yang secara dramatis semakin meningkatkan kapasitas produksi.

Hal tersebut menimbulkan kanal individu terhadap produk mengalami perubahan secara konstan. Meningkatnya kebebasan untuk menentukan dalam berbelanja, dan dalam leisure time, menimbulkan upaya pemasaran dalam masyarakat konsumen dicurahkan tidak secara pribadi pada kebutuhan-kebutuhan dasar. Pesan-pesan perihal kebutuhan ibarat makan, pakaian digabungkan dengan format-format pesan transformasional yang lebih luas, yang dikulminasikan dalam presentasi citra-citra gaya hidup. Di dalam masyarakat konsumen, objek-objek material yang diproduksi untuk dikonsumsi, tidak hanya dipakai untuk kebutuhan ibarat sandang, pangan dan papan dengan segera, tetapi juga berfungsi sebagai ‘marker’ dan komunikator perbedaan-perbedaan interpersonal, ibarat kehormatan, prestise, tinggi rendahnya kekuasaan di dalam kelompok sosial. Hal ini memunculkan diskursus gres dengan gaya hidup hedonistik sebagai sentralnya, dengan memperlihatkan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan baru.

Retorika untuk hidup hemat, bekerja keras, etika menabung serta penundaan pemuasan kebutuhan mengalami pergeseran dengan munculnya diskursus gres yang menjadi fondasi dari budaya konsumen. Fondasi budaya konsumen tersebut semakin kokoh seiring dengan perkembangan media massa. Munculnya media film, tabloid, majalah dengan sirkulasi massal dan juga radio semakin mengagung-agungkan gaya hidup leisure dan mendorong penyebarluasan norma-norma dan standar sikap yang baru. Di sini, iklan menjadi ujung tombak moralitas gres tersebut, yang mempunyai kekuatan untuk mendorong individu semoga berpartisipasi dalam melaksanakan konsumsi komoditi. Ia membentuk atau membuat sebuah ideologi masyarakat konsumen untuk menaikkan seruan produk atau komoditi, dan bahkan membuat konsumennya sendiri. Iklan membantu membuat sebuah dunia di mana individu menjadi tidak berdaya secara emosional. Keseluruhan konteks sosial dan signifikasi sosial iklan mengalami perubahan secara radikal. Kebutuhan akan iklan menjadi semakin konkret dalam masyarakat konsumen, di mana iklan menjadi diskursus istimewa bagi sirkulasi pesan dan petunjuk sosial perihal individu dan objek yang saling mempengaruhi.

Dalam perkembangannya, iklan semakin tidak menyampaikan kawasan bagi martabat insan sebagai individu. Ia lebih menekankan pada penciptaan hasrat yang berkaitan dengan kekerabatan individu dengan orang lain, dan mengklaim bahwa ia mempunyai cara-cara yang bisa membuat individu menjadi makhluk sosial yang lebih sukses. Individu selalu ditempatkan dalam perspektif orang lain, pada bagaimana orang lain melihat diri kita. Pengertian cantik, senang, sehat yaitu pengertian berdasarkan orang lain dan bukan hasil dari pemikiran diri sendiri. Dalam hal ini, individu menjadi objek penelitian sosial yang ketat dari kapitalisme, yang selalu diteliti dan dievaluasi dengan cermat. Setiap ketika kekurangan-kekurangan dalam diri individu diperbaharui dan hasrat-hasrat gres dimunculkan. Menurut Allport, dalam studinya perihal imbas iklan dalam kaitannya dengan psikologi, iklan memungkinkan penciptaan aktor-aktor sosial yang sangat ketakutan secara terus-menerus, seorang pemain film yang hanya bisa mengatasi ketakutannya dengan pertolongan terus-menerus pula dari produk-produk. Ketakutan-ketakutan ini tidak pernah pergi, lantaran setiap ketika individu berada di bawah pengawasan dan evaluasi. Di sini, tidak ada lagi produk yang kurang, tetapi oranglah yang selalu merasa kurang, dan hanya akan menemukan pemenuhannya dengan tunjangan produk yang tersedia di pasar.

Dengan melihat perkara di Amerika pada dekade 1920-an, Ewen menyampaikan bahwa iklan mengklaim bahwa ia menyediakan budaya universal yang bisa mengatasi perbedaan-perbedaan sosial. Produk-produk yang ditawarkan diklaim untuk mengkonstruksi sebuah bangsa sebagai sebuah entitas homogen secara kultural, meskipun pada kenyataannya yaitu multikultural.  Jika semuanya yaitu konsumen dari produk yang sama, maka secara kultural mereka yaitu sama, tidak peduli dari mana mereka berasal. Hal ini dianggap sebagai salah satu cuilan dari proses peradaban.

Selain itu, iklan pada kurun ke-20 juga mulai menyarankan sebuah produk dan merek sebagai sebuah tiket menuju dunia modern. Semua kebiasaan lama dibuang jauh sebagai bentuk partisipasi dalam masyarakat konsumen. Iklan menjual konsumerisme sebagai gerbang menuju integrasi sosial kurun ke-20 dan sebagai sebuah ideologi yang akan melicinkan konflik-konflik sosial, serta memainkan fungsinya sebagai bentuk semen sosial. Artinya, iklan merekatkan perbedaan-perbedaan sosial yang ada dalam masyarakat, dan mendamaikan semua konflik sosial melalui acara konsumsi.

Salah satu cara yang dipakai iklan untuk menjual ideologi konsumerisme yaitu melalui fokusnya pada bidang konsumsi dan pengabaiannya pada bidang produksi. Tempat kerja industri mungkin tidak memuaskan, bahkan mungkin mengalami kemunduran, tetapi iklan memperlihatkan sebuah dunia yang jauh dari pekerjaan yang membosankan, yang justru menekankan pada keajaiban gaya hidup konsumen. Iklan sendiri kemudian membuat makna-makna, citra-citra dan fantasi atas produk atau komoditi dan memakai pendekatan-pendekatan psikologis untuk membuat kebutuhan-kebutuhan artifisial. Hal ini ditegaskan pula oleh Vance Packard, bahwa dominasi imperatif-imperatif profitabilitas di dalam masyarakat konsumen dilakukan melalui manipulasi psikologis, penciptaan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang salah (false Needs).


Pendapat senada juga bisa ditemui dalam karya-karya kritis para intelektual dari aliran Frankfurt. Seperti karya Max Hokheimer* dan Theodore Adorno*, yang ditulis pada tahun 1947 dengan judul The Dialectic of Enlightment. Keduanya melaksanakan analisis pada bagaimana budaya massa dan komunikasi memproduksi konsumen bagi industri-industri budaya. Mereka mengingatkan adanya ancaman dari teknik-teknik manipulatif iklan dan propaganda yang terjadi di dalam masyarakat konsumen. Citra-citra yang dihasilkan oleh iklan menimbulkan tertutupnya makna atau nilai guna orisinil dari sebuah komoditi, dan menempatkan nilai tukar sebagai sesuatu yang dianggap utama atau primer. Dalam pemikiran Adorno*, dominasi nilai tukar atas nilai guna ini menimbulkan nilai guna tersebut semakin lama semakin hilang dan terlupakan. Akibatnya, komoditi menjadi bebas untuk dilekati dengan nilai guna sekunder atau nilai guna ersatz yang pada akibatnya diyakini sebagai nilai guna orisinil dari komoditi tersebut.

Jika kita melacak kembali pemikiran Marx* perihal kapitalisme, nampak bahwa teori Marx* lebih menekankan pada problem produksi dengan memfokuskan pada terjadinya control dan eksploitasi yang dilakukan atas kelas pekerja atau kaum proletar. Sementara, kapitalisme pada kurun ke-20 mengalami perubahan fokus dari produksi ke konsumsi. Hal ini terjadi lantaran adanya pergeseran pararel dari kontrol dan eksploitasi pekerja ke kontrol dan eksploitasi konsumen. Konsumen tidak lagi diperbolehkan untuk menentukan sendiri apakah mereka mau melaksanakan konsumsi, apa saja yang akan dikonsumsi, berapa jumlah yang akan dikonsumsi dan lain sebagainya. Kaum kapitalis merasa bahwa mereka harus mencurahkan lebih banyak waktu, tenaga dan juga uang untuk mempengaruhi dan bahkan mengontrol kepuasan-kepuasan konsumen. Gagasan yang sama juga dilontarkan oleh Jean Baudrillard* dalam karya-karya awalnya, ibarat dalam Consumer Society dan for a Critique of the Political Economy of the Sign. Menurut Baudrillard, transisi dari kapitalisme pasar kompetitif ke tahap kapitalisme monopoli membutuhkan perhatian yang semakin besar pada demand management, penambahan dan pengendalian konsumsi. Pada tahap transisi ini (1900-1960), ada kepentingan untuk mengintensifkan permintaan, lantaran ketika konsentrasi ekonomi, teknik produksi yang baik dan lain-lain semakin mempercepat kapasitas produksi massal, para kapitalis akan semakin mencurahkan perhatian pada peningkatan dan administrasi konsumsi.

Oleh lantaran itu, iklan pada kurun ke-20 umumnya muncul dengan citra-citra dan memakai tipe-tipe surealisme, yang membuat orang membeli produk. Iklan juga diposisikan sebagai sebuah sales entertainment, di mana, di satu sisi ia berusaha mempengaruhi khalayak dengan pesan penjualan, dan disisi lain menyediakan hiburan kepada khalayak melalui citra-citra yang fiktif dan fantastis. Sisi hiburan ini contohnya ditampilkan melalui pendekatan humor, warna-warna cerah dan mencolok, atau memakai music-musik yang lembut lengkap dengan tarian gemulai. Dengan kata lain, iklan sebetulnya ibarat sebuah film kisah yang berdurasi sekitar 20 detik, lengkap dengan gambaran yang dinamis, music, pertunjukan drama, narasi dan gambaran yang memperkuat efeknya. Hal ini menjadi salah satu taktik iklan untuk mempengaruhi khalayak.

Komoditi tidak dipresentasikan ibarat apa adanya dalam rangka meningkatkan penjualan. Bahkan atribut-atribut modern sengaja dilekatkan pada komoditi untuk menjaga semoga konsumsi yang dianggap ideal tetap terjaga. Citra di sini, dipakai untuk menghubungkan konsumsi dengan hasrat manusia. Dalam hal ini, individu tidak diarahkan secara pribadi untuk membeli barang atau objek, tetapi membeli respek sosial, kesehatan, kecantikan, kesuksesan, dan juga kekuasaan untuk mengontrol lingkungan. Penggunaan citra-citra ini, menimbulkan iklan sebagai sebuah verbal gaya hidup, self esteem dan juga order sosial daripada sebagai sebuah upaya penjualan komoditi.

Proses produksi massal gambaran ini, berdasarkan Mike Featherstone telah mengubah barang-barang tiruan dan barang-barang murah menjadi janji-janji simbolik perihal kemewahan, gaya dan hedonism. Citra-citra yang dipresentasikan oleh iklan inilah yang oleh Baudrillard* disebut sebagai nilai tanda yang dimunculkan dari sebuah komoditi. Komoditi berdasarkan Baudrillard tidak hanya dikarakterkan oleh nilai  guna dan nilai tukar saja ibarat dalam teori komoditi Marx*, tetapi juga oleh nilai tanda, yaitu sebuah verbal dan tanda gaya, prestise, kemewahan, kekuatan dan sebagainya, yang menjadi cuilan dari komoditi yang semakin penting dan dikonsumsi. Komoditi-komoditi dalam iklan, dipresentasikan dan dibeli untuk nilai tanda, yang disejajarkan dengan nilai guna.

Ketika citra, tanda dan arahan semakin mendominasi kehidupan sehari hari, Baudrillard menyampaikan bahwa tahapan gres dengan kondisi-kondisi gres post-industrial telah dimulai. Era gres ini disebutnya sebagai era simulasi, yaitu sebuah era di mana komputerisasi, media massa, informasi telah menggantikan produksi sebagai prinsip pengorganisasian masyarakat. Di dalam era gres ini, teknologi-teknologi gres dan teknik-teknik estetika menjadi sumber realisasi kapital yang menyediakan cara-cara gres untuk menjual komoditi, dengan memproduksi konsumen sendiri.

Jika modern yaitu era produksi yang dikendalikan oleh borjuasi industrial, maka era simulasi postmodern merupakan sebuah era informasi dan gejala yang diatur oleh banyak sekali model dan kode. Era ini didominasi oleh permainan citra, tontonan dan simularka, yang hubungannya dengan realitas eksternal semakin kecil. Sulit untuk membedakan antara realitas yang bergotong-royong dengan citra-citra tersebut. Berbagai gambaran yang ditampilkan secara gencar dalam banyak sekali teknologi media informasi dan telekomunikasi massa, membentuk sebuah dunia hiperrealitas. Citra-citra itu menjadi upaya untuk membuat sebuah realitas yang dimanipulasi demi surplus kapital. Akibatnya, iklan-iklan, fashion, media massa serta proliferasi komoditi telah memperbanyak kuantitas gejala dan mendorong proliferasi nilai-nilai tanda.

Citra-citra ini membentuk dunia hiperrealitas yang mengindikasikan sesuatu yang lebih konkret daripada yang benar-benar nyata. Menurut Baudrillard*, budaya pada era ini diciptakan melalui model produksi yang disebut simulasi, yaitu penciptaan model-model konkret yang tanpa asal usul (hiperrealitas). Hasil reproduksi dari realitas justru menjadi lebih real daripada realitas given. Perbedaan-perbedaan antara yang real dan yang tidak real telah mengalami peleburan, atau berdasarkan Baudrillard* dengan meminjam istilah Marshall McLuhan, telah mengalami implosi. Tidak heran bila sekarang orang lebih familiar dengan huruf fiksi daripada huruf pemerannya. Atau kita bisa lihat bagaimana seorang artis sinetron yang memerankan tokoh antagonis, diserang orang di sebuah pusat perbelanjaan hanya lantaran ia sangat membenci tokoh dalam sinetron itu. Iklan-iklan juga lebih suka memakai tokoh fiksi sebagai model iklan daripada pemeran aslinya. Ruang hiperrealitas ini merupakan ruang antitesis dari representasi, dekonstruksi dari representasi itu sendiri.

Tidak ibarat pada era produksi, di mana tenaga kerja menjadi kekuatan produksi melalui permainan kekuatan-kekuatan pasar, pada era simulasi, hukum-hukum produksi telah menjadi usang, dan konsumsi menjadi segala-galanya. Tenaga kerja bukan lagi sesuatu yang produktif tetapi hanyalah tanda di antara tanda-tanda, termasuk tanda dari posisi sosial seseorang. Oleh lantaran itu, tenaga kerja tidak lagi diperjualbelikan dengan kekerasan, tetapi cenderung dirancang, dipasarkan dan diperdagangkan. Di sini, iklan berfungsi untuk memperlihatkan citra-citra, nilai-nilai dan makna-makna dalam kehidupan sosial. Realitas sosial dibangun berdasarkan model-model fantasi yang ditawarkan oleh iklan.


Download di Sini


Sumber
Noviani, Ratna. 2002. "Jalan Tengah Memahami Iklan", Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel