Manusia Satu Dimensi
Ketika berbicara ihwal Manusia Satu Dimensi atau One Dimentions Man maka kita akan teringat dengan satu karya pemikir terkemuka Herbert Marcuse*. Dan Marcuse sendiri menjadi filsuf kenamaan internasional terutama sebab bukunya tersebut. Judul bukunya memperlihatkan kesimpulan umum yang sanggup ditarik dari seluruh uraiannya: insan remaja ini berdimensi satu saja; dan anak judul menyatakan apa yang menjadi objek studinya, yaitu Studies in the Ideology of Advanced Industial Society*. Maksudnya ialah secara kritis menganalisis masyarakat industri modern (Amerika Serikat, Eropa Barat, Uni Soviet), tetapi tidak menutup mata dengan daerah lain di dunia. Marcuse berkeinginan bahwa dengan ajaran filosofisnya ia sanggup menyumbang kepada terjadinya perubahan radikal dalam masyarakat. Hal ini pun terbukti dengan kepopuleranya, tidak jarang Marcuse digelari "filsuf bagi New Left" atau inspirator revolusi mahasiswa tahun 1968.
Penindasan insan dalam masyarakat industi modern
Manusia ialah makhluk yang berdasarkan kodratnya mendambakan kebahagiaan dan berhak juga atas kebahagiaan. Perwujudan kebahagian ini ada pada terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, zaman modern ini mempunyai kemungkinan-kemungkinan objektif untuk merealisasikan kebutuhan-kebutuhan tersebut, antara lain sebab pekerjaan, berkat otomatisasi, sudah hampir tidak lagi bersifat menghinakan martabat manusia. Meskipun demikian, insan modern tetap terhalang dalam merealisasikan kebutuhannya sebab suasana refresif (menindas) yang menandai masyarakat di mana ia hidup.
Ciri khas yang menonjol dalam masyarakat industri modern ialah peranan ilmu pengetahuan dan teknologi. Rasionalitas dalam zaman kita ini ialah rasionalitas teknologis. Segala sesuatu dipandang dan dihargai sejauh sanggup dikuasai, digunakan, diperalat, dimanipulasi, ditangani.
Dalam pandangan teknologis, instrumentalisasi merupakan suatu istilah kunci. Mula-mula cara berpikir dan bertindak ini hanya dipraktekkan dalam kekerabatan dengan alam saja, tetapi usang kelamaan diterapkan juga pada insan dan seluruh lapangan sosial. Bukan saja benda-benda, alam dan mesin-mesin diperalat dan dimanipulasikan, tetapi hal yang sama berlangsung juga di seluruh wilayah politik, dan kultural. Selain oleh instrumentalisasi, ilmu pengetahuan modern ditandai juga oleh operasionalisasi. Dengan operasionalisasi dimaksudkan bahwa konsep-konsep ilmu pengetahuan hanya berkhasiat sejauh sanggup digunakan, sejauh bersifat operabel. Hal ini tampak dengan demikian terang dalam bidang penelitian sosial.
Dewasa ini bukan insan yang menindas manusia; bukan golongan tertentu yang menindas golongan lain. Tetapi terdapat suatu sistem totaliter yang menguasai semua orang. Sistem teknologis seluruhnya merangkum seluruh realitas alamiah dan sosial dalam cengkramannya dan tidak ada orang yang sanggup mensugesti sistem anonim tersebut. Sistem ini bersifat totaliter. Totaliter dalam banyak sekali arti. Sistem ini berlaku untuk semua orang dan semua lapisan masyarakat. Demikian, teknologi bukanlah sesuatu yang netral, tidak merupakan suatu wilayah bebas nilai. Tidak sanggup dikatakan bahwa sistem teknologis hanya merupakan sarana, dan terserah insan sendiri dalam mempergunakannya, namun technological rationality has become political rationality (rasionalitas teknologis mengharuskan pula rasionalitas sosial yang menyertainya), sistem teknolologis sendiri membangkitkan pada insan keinginan-keinginan yang diharapkan biar sistem sanggup mempertahankan diri dan berkembang terus. Dibidang material insan remaja ini sanggup sesuka hati memperoleh apa saja yang diinginkannya, akan tetapi dalam kenyataannya ia hanya diperbolehkan menginginkan apa yang dikehendaki oleh sistem biar ia inginkan (melalui media iklan misalnya).
Dalam masyarakat industri yang sudah maju insan seakan terjepit dalam sebuah lingkaran: disatu pihak produktivitas semakin besar untuk memungkinkan konsumsi semakin besar pula dan di lain pihak satu-satunya alasan bagi konsumsi ialah menjamin berlangsungnya produktivitas. Dengan menekankan kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas, dan kemakmuran, maka sistem kemasyarakatan industrial memperlihatkan kesan mau memajukan dan membebaskan manusia, tetapi pada kenyataannya ia hanya tertuju kepada perbudakan dan keterasingan. Manusia modern mengira bahwa ia bebas sama sekali dan bahwa ia hidup dalam dunia yang menyajikan kemungkinan-kemungkinan berlimpah-limpah untuk dipilih serta direalisasikannya, namun apa yang bahwasanya dikehendaki insan tersebut bahwasanya didiktekan kepadanya. Pada kenyataannya ia dijuruskan saja oleh apa yang ditentukan pegawanegeri produksi dan konsumsi, media masa dan publikasi periklanan, kelompok militer industrial dan pengelolaan teknokratis. Manusia berpikir bahwa ia mempunyai segala sesuatu yang dikehendakinya, tetapi pada kenyataannya ia tidak menciptakan lain daripada menginginkan apa yang dianggap perlu oleh sistem teknologis yang totaliter tersebut untuk mempertahankan dirinya.
Manusia modern selalu merasa bebas, sebab ia sanggup menyampaikan dan menulis apa saja. Terdapat kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berkumpul hampir tanpa batas. Namun demikian, sebagian besar massa tidaklah bersikap kritis, sejauh teknologi memungkinkan kemajuan dibidang sosial-ekonomis, dengan mengisi perut, menggiurkan mata, meringankan dan mengurangi pekerjaan, sejauh itu pula perilaku kritis insan menciut. Kritik ditolerir dengan leluasa, tetapi dengan segera dilumpuhkan juga, sebab dijadikan barang konsumsi yang menarik dalam bentuk hiburan kultural atau sensasi (mislanya ILC). Terdapat privacy (ruang pribadi) tetapi dengan serentak privacy tersebut ditiadakan dengan televisi dan majalah-majalah bergambar. Terdapat waktu luang yang cukup banyak, hari-hari libur bertambah banyak dan hari-hari kerja diperpendek, tetapi waktu terluang itu dipakai dan diberi tempat dalam proses konsumsi (biro-biro perjalanan, industri pariwisata, industri hobi). Setiap tahun makin banyak orang bertamasya keluar negeri, termasuk perjalanan keagamaan, tetapi disini berlaku pula bahwa mereka merasa bebas untuk memeilih tempat wisata dan hiburan kesayangan mereka, tetapi dalam kenyataannya mereka tidak berbuat lain daripada pergi ketempat mereka disuruh pergi oleh publisitas periklanan yang mengarahkan keinginan-keinginan dan kehendak-kehendak mereka. Disini temasuk pemaksaan hobi terhadap sepakbola (piala dunia), mereka dipaksa untuk menyukai, diarahkan dan dibuat sama persis satu sama lain. Dalam karangan ini Marcuse menerangkan fenomena tersebut dengan istilah "toleransi represif" artinya suatu toleransi yang memperlihatkan kesan seolah-olah menyajikan kebebasan seluas-luasnya, padahal maksudnya tidak lain daripada menindas saja.
Satu dimensi saja
Manusia modern ialah insan berdimensi satu. Dan ajaran yang dipraktekan dalam masyarakat tersebut ialah ajaran berdimensi satu. Manusia modern hidup dalam masyarakat yang tidak mengenal oposisi ataupun alternatif. Cita-cita ibarat kebebasan dan demokrasi telah kehilangan arti kritisnya. Karena ajaran berdimensi satu secara sistematis disebarkan oleh para manajer politik dan para penguasa yang memonopoli media massa, insan modern diindoktrinasi dengan selogan-selogan yang didiktekan begitu saja.
Pertentangan atau pertentangan secara sistematis dikaburkan. Pemikiran negatif dilenyapkan. Menurut Marcuse*, tendensi ini mempunyai sejarah yang panjang dan tidak gres dimulai zaman kita ini. Proses penyingkiran ajaran negatif sudah dimulai dalam ajaran filsafat Yunani. Pada Plato* masih sanggup ditemukan suatu kebijaksanaan protes. Pada Plato rasio tidak puas dengan dunia ibarat tampak dalam pengalaman langsung, rasio menolak mendapatkan dunia ibarat adanya. Rasio harus menemukan realitas yang sebenarnya. Namun dengan timbulnya kebijaksanaan formal pada Aristoteles* ajaran yang merasa dirinya terlibat sudah tidak memainkan peranannya lagi. Putusan insan ialah bebas yang merupakan imperatif pada Plato menjadi proposisi formal S = P pada Aristoteles*. Dengan tanda penghubung itu maka lenyaplah setiap ketegangan antara fakta dan keharusan, antara kenyataan dan realitas yang sebenarnya.
Demikian, teman-teman selalu bilang bahwa pemikiran-pemikiran Marcuse dan terutama Mazhab Frankfurt* bersifat muram dan melankolis terhadap kehidupan kecuali pada ajaran Jurgen Habermas generasi final Mazhab Frankfurt yang Insya Allah akan kita bahas pada postingan berikutnya. Mudah-mudahan bermanfaat. Amin.
Download di Sini
Baca Juga
1. Herbert Marcuse. Biografi dan Karya
2. Mazhab Frankfurt. Herbert Marcuse (1898-1979): Menafsirkan Freud
3. Mazhab Frankfurt. Herbert Marcuse (1898-1979): Menganalisis Masyarakat Industri Maju
4. Manusia Satu Dimensi (One Dimensional Man)
5. Mazhab Frankfurt
Penindasan insan dalam masyarakat industi modern
Manusia ialah makhluk yang berdasarkan kodratnya mendambakan kebahagiaan dan berhak juga atas kebahagiaan. Perwujudan kebahagian ini ada pada terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, zaman modern ini mempunyai kemungkinan-kemungkinan objektif untuk merealisasikan kebutuhan-kebutuhan tersebut, antara lain sebab pekerjaan, berkat otomatisasi, sudah hampir tidak lagi bersifat menghinakan martabat manusia. Meskipun demikian, insan modern tetap terhalang dalam merealisasikan kebutuhannya sebab suasana refresif (menindas) yang menandai masyarakat di mana ia hidup.
Ciri khas yang menonjol dalam masyarakat industri modern ialah peranan ilmu pengetahuan dan teknologi. Rasionalitas dalam zaman kita ini ialah rasionalitas teknologis. Segala sesuatu dipandang dan dihargai sejauh sanggup dikuasai, digunakan, diperalat, dimanipulasi, ditangani.
Dewasa ini bukan insan yang menindas manusia; bukan golongan tertentu yang menindas golongan lain. Tetapi terdapat suatu sistem totaliter yang menguasai semua orang. Sistem teknologis seluruhnya merangkum seluruh realitas alamiah dan sosial dalam cengkramannya dan tidak ada orang yang sanggup mensugesti sistem anonim tersebut. Sistem ini bersifat totaliter. Totaliter dalam banyak sekali arti. Sistem ini berlaku untuk semua orang dan semua lapisan masyarakat. Demikian, teknologi bukanlah sesuatu yang netral, tidak merupakan suatu wilayah bebas nilai. Tidak sanggup dikatakan bahwa sistem teknologis hanya merupakan sarana, dan terserah insan sendiri dalam mempergunakannya, namun technological rationality has become political rationality (rasionalitas teknologis mengharuskan pula rasionalitas sosial yang menyertainya), sistem teknolologis sendiri membangkitkan pada insan keinginan-keinginan yang diharapkan biar sistem sanggup mempertahankan diri dan berkembang terus. Dibidang material insan remaja ini sanggup sesuka hati memperoleh apa saja yang diinginkannya, akan tetapi dalam kenyataannya ia hanya diperbolehkan menginginkan apa yang dikehendaki oleh sistem biar ia inginkan (melalui media iklan misalnya).
Dalam masyarakat industri yang sudah maju insan seakan terjepit dalam sebuah lingkaran: disatu pihak produktivitas semakin besar untuk memungkinkan konsumsi semakin besar pula dan di lain pihak satu-satunya alasan bagi konsumsi ialah menjamin berlangsungnya produktivitas. Dengan menekankan kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas, dan kemakmuran, maka sistem kemasyarakatan industrial memperlihatkan kesan mau memajukan dan membebaskan manusia, tetapi pada kenyataannya ia hanya tertuju kepada perbudakan dan keterasingan. Manusia modern mengira bahwa ia bebas sama sekali dan bahwa ia hidup dalam dunia yang menyajikan kemungkinan-kemungkinan berlimpah-limpah untuk dipilih serta direalisasikannya, namun apa yang bahwasanya dikehendaki insan tersebut bahwasanya didiktekan kepadanya. Pada kenyataannya ia dijuruskan saja oleh apa yang ditentukan pegawanegeri produksi dan konsumsi, media masa dan publikasi periklanan, kelompok militer industrial dan pengelolaan teknokratis. Manusia berpikir bahwa ia mempunyai segala sesuatu yang dikehendakinya, tetapi pada kenyataannya ia tidak menciptakan lain daripada menginginkan apa yang dianggap perlu oleh sistem teknologis yang totaliter tersebut untuk mempertahankan dirinya.
Manusia modern selalu merasa bebas, sebab ia sanggup menyampaikan dan menulis apa saja. Terdapat kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berkumpul hampir tanpa batas. Namun demikian, sebagian besar massa tidaklah bersikap kritis, sejauh teknologi memungkinkan kemajuan dibidang sosial-ekonomis, dengan mengisi perut, menggiurkan mata, meringankan dan mengurangi pekerjaan, sejauh itu pula perilaku kritis insan menciut. Kritik ditolerir dengan leluasa, tetapi dengan segera dilumpuhkan juga, sebab dijadikan barang konsumsi yang menarik dalam bentuk hiburan kultural atau sensasi (mislanya ILC). Terdapat privacy (ruang pribadi) tetapi dengan serentak privacy tersebut ditiadakan dengan televisi dan majalah-majalah bergambar. Terdapat waktu luang yang cukup banyak, hari-hari libur bertambah banyak dan hari-hari kerja diperpendek, tetapi waktu terluang itu dipakai dan diberi tempat dalam proses konsumsi (biro-biro perjalanan, industri pariwisata, industri hobi). Setiap tahun makin banyak orang bertamasya keluar negeri, termasuk perjalanan keagamaan, tetapi disini berlaku pula bahwa mereka merasa bebas untuk memeilih tempat wisata dan hiburan kesayangan mereka, tetapi dalam kenyataannya mereka tidak berbuat lain daripada pergi ketempat mereka disuruh pergi oleh publisitas periklanan yang mengarahkan keinginan-keinginan dan kehendak-kehendak mereka. Disini temasuk pemaksaan hobi terhadap sepakbola (piala dunia), mereka dipaksa untuk menyukai, diarahkan dan dibuat sama persis satu sama lain. Dalam karangan ini Marcuse menerangkan fenomena tersebut dengan istilah "toleransi represif" artinya suatu toleransi yang memperlihatkan kesan seolah-olah menyajikan kebebasan seluas-luasnya, padahal maksudnya tidak lain daripada menindas saja.
Satu dimensi saja
Manusia modern ialah insan berdimensi satu. Dan ajaran yang dipraktekan dalam masyarakat tersebut ialah ajaran berdimensi satu. Manusia modern hidup dalam masyarakat yang tidak mengenal oposisi ataupun alternatif. Cita-cita ibarat kebebasan dan demokrasi telah kehilangan arti kritisnya. Karena ajaran berdimensi satu secara sistematis disebarkan oleh para manajer politik dan para penguasa yang memonopoli media massa, insan modern diindoktrinasi dengan selogan-selogan yang didiktekan begitu saja.
Pertentangan atau pertentangan secara sistematis dikaburkan. Pemikiran negatif dilenyapkan. Menurut Marcuse*, tendensi ini mempunyai sejarah yang panjang dan tidak gres dimulai zaman kita ini. Proses penyingkiran ajaran negatif sudah dimulai dalam ajaran filsafat Yunani. Pada Plato* masih sanggup ditemukan suatu kebijaksanaan protes. Pada Plato rasio tidak puas dengan dunia ibarat tampak dalam pengalaman langsung, rasio menolak mendapatkan dunia ibarat adanya. Rasio harus menemukan realitas yang sebenarnya. Namun dengan timbulnya kebijaksanaan formal pada Aristoteles* ajaran yang merasa dirinya terlibat sudah tidak memainkan peranannya lagi. Putusan insan ialah bebas yang merupakan imperatif pada Plato menjadi proposisi formal S = P pada Aristoteles*. Dengan tanda penghubung itu maka lenyaplah setiap ketegangan antara fakta dan keharusan, antara kenyataan dan realitas yang sebenarnya.
Demikian, teman-teman selalu bilang bahwa pemikiran-pemikiran Marcuse dan terutama Mazhab Frankfurt* bersifat muram dan melankolis terhadap kehidupan kecuali pada ajaran Jurgen Habermas generasi final Mazhab Frankfurt yang Insya Allah akan kita bahas pada postingan berikutnya. Mudah-mudahan bermanfaat. Amin.
Download di Sini
Baca Juga
1. Herbert Marcuse. Biografi dan Karya
2. Mazhab Frankfurt. Herbert Marcuse (1898-1979): Menafsirkan Freud
3. Mazhab Frankfurt. Herbert Marcuse (1898-1979): Menganalisis Masyarakat Industri Maju
4. Manusia Satu Dimensi (One Dimensional Man)
5. Mazhab Frankfurt