Mazhab Frankfurt. Herbert Marcuse (1898-1979); Menafsirkan Freud

Seperti sudah kita lihat sebelumnya, Institut Penelitian Sosial sudah semenjak permulaannya menaruh perhatian khusus pada psikoanalisis. Dalam kalangan mereka juga untuk pertama kalinya timbul percobaan untuk mengusahakan sintesis antara pemikiran Freud* dengan pemikiran Marx*. Bagi intelektual sampaumur ini yang sudah serba sanggup membaca Freud* dengan beling mata marxisme dan sebaliknya juga Marx* dengan beling mata Freudian (karya-karya E. Fromm* dan W. Reich, umpamanya), maka sukarlah untuk membayangkan bahwa pernah pendekatan ini dilontarkan sebagai suatu perjuangan yang sama sekali baru.
Perlu dicatat lagi bahwa percobaan akan sintesis ini hanya diusahakan dalam dunia Barat. Di negara-negara komunis psikoanalisis Freud* hampir tidak dikenal. Hanya Trotsky pernah berminat akan psikoanalisis, tetapi setelah tahun 1923 di Uni Soviet suaranya sudah tidak dikenal lagi dan behaviorisme ala Pavlov menjadi psikologi resmi di sana.

Dalam kalangan Institut Penelitian Sosial orang yang paling berjasa untuk membuka daerah bagi psikoanalisa Freud* dalam rangka teori marxisme ialah Erich Fromm* (1900-1980). Ia memberi pinjaman karangan kepada majalah yang diterbitkan oleh Horkheimer* sudah semenjak nomor pertama. Tetapi ia gres menjadi anggota penuh dari Institut setelah mereka pindah ke Amerika Serikat (1934). Pada tahun 40-an ia sudah meninggalkan Institut Penelitian dan sekitar waktu yang sama ia meninggalkan juga Freudian Ortodoks; terutama teori ihwal libido (termasuk kompleks Oidipus) dan seluruh metapsikologi Freud* tidak lagi diterima olehnya. Dengan demikian Fromm* termasuk apa yang dikenal sebagai revisionisme di bidang psikoanalisis.

Marcuse gres mulai mempelajari karya-karya Freud* secara serius saat ia berada di Amerika Serikat. Dan gres pada tahun 1955 diterbitkan buku Eros and Civilization. A Philosophical Inquiry into Freud. Lain dari Fromm*, Marcuse bertitik tolak dari pemikiran Freud* seluruhnya dan ia menentang revisionisme para neofreudian. Tetapi sanggup dipersoalkan apakah ia sendiri pula tidak berakhir dengan suatu revisionisme. Di bawah ini kami berusaha melukiskan beberapa tema pokok dari buku Marcuse tersebut.

Masyarakat kita kini ini sangat berbeda dengan masyarakat kala ke-19 di mana Karl Marx* hidup. Jika bagi Marx duduk kasus pokok yaitu kepapaan kaum buruh, bagi masyarakat industri barat kini ini duduk kasus pokok yaitu kelimpahan (affluence). Menjadi kiprah bagi filsafat sampaumur ini yang mencari inspirasinya pada pemikiran Marx* (suatu pemikiran yang—janganlah dilupakan—sudah dirumuskan lebih dari 100 tahun yang lalu) untuk memikirkan perubahan drastis itu. Dapat ditanyakan apakah uraian semacam itu masih berhak memakai sebutan “marxistis” (atau “neomarxistis”). Paling sedikit sudah terang bahwa motivasi hemat yang diberikan Marx* untuk mendasari revolusi yang akan tiba tidak mungkin dipertahankan lagi; justru lantaran masyarakat industri modern ditandai kelimpahan, kaum buruh tidak lagi merupakan kelas revolusioner. Tetapi berdasarkan Marcuse, di sini psikoanalisa Freud* sanggup membantu untuk “menyelamatkan” pemikiran revolusioner Marx*. Oleh karenanya kepada perjuangan Marcuse ini sudah pernah diberi nama “Freud-Marxisme”. Namun—demikian anggapan Marcuse—Freud* hanya sanggup digunakan atas syarat bahwa ajarannya ditafsirkan kembali. Marilah kita memandang beberapa detailnya.

Interpretasi gres yang perlu diusahakan ihwal psikoanalisa Freud* terutama berkisar pada kekerabatan antara prinsip kesenangan (the pleasure principle) dan prinsip realitas (the reality principle) Menurut Freud*, insan untuk sebagian besar dikuasai oleh nilai-nilai yang tidak memiliki tujuan lain daripada mencari kepuasan. Karena sifatnya anti-sosial, energi naluriah itu harus direpresi. Nah, di sini nampak fungsi kultur. Kultur harus memaksa insan perorangan untuk merepresi naluri-nalurinya dan menampik pemuasannya secara langsung. Dengan demikian terjaminlah bagi insan suatu masa depan dan kemungkinan untuk hidup sosial secara teratur. Energi psikis yang tentu akan digunakan habis seandainya sama sekali tidak ada pengendalian naluri-naluri, melalui jalan ini disalurkan demikian rupa sehingga sanggup dimanfaatkan demi tercapainya tujuan-tujuan sosial kultural. Namun demikian, tetap tinggal suatu ketegangan di satu pihak apa yang sebetulnya diinginkan insan berdasarkan kehidupan naluriahnya dan dilain pihak apa yang diperbolehkan dalam masyarakat konkret. Freud* beropini bahwa ketegangan tersebut, bersama dengan putus asa yang disebabkan olehnya, tidak sanggup diatasi. Suka tidak suka, prinsip realitas selalu akan menuntut biar lingkup gerak prinsip kesenangan dikurangi serta dibatasi; memang tidak selalu dengan kuantitas yang sama, tetapi setidak-tidaknya cukup dialami insan sebagai suatu keadaan yang kurang yummy dan penuh frustasi. Mencabut mekanisme-mekanisme represi dan membebaskan kehidupan naluriah dilarang tidak harus mengakibatkan barbarisme dan anarki.

Marcuse tidak menyetujui cara Freud* melukiskan kekerabatan antara prinsip kesenangan dan prinsip realitas. Kritiknya ialah bahwa Freud* memutlakan kekerabatan antara prinsip kesenangan dan prinsip realitas yang berlaku hingga sekarang. Suatu situasi historis yang tertentu disamakan olehnya dengan hakikat kultur itu sendiri. Ia hanya memandang penggalan sejarah di mana dengan bekerja keras insan harus memerangi alam demi teratasinya kelangkaan. Ia beropini bahwa banyak energi naluriah harus dihemat supaya sanggup diinvestasikan dalam pekerjaan yang berat, demi terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan elementer. Tetapi bila kelangkaan itu sudah berhasil diatasi (sekurang-kurangnya pada prinsipnya) dan bila oleh lantaran timbulnya otomatisasi sifat pekerjaan sendiri sudah berubah sama sekali lantaran sangat diringankan, maka keadaan historis yang diandaikan Freud* sebagai suatu hal yang langgeng saja, sudah berubah secara fundamental. Marcuse beropini pada zaman kita kini prinsip kesenangan dan prinsip realitas sanggup diperdamaikan, malah kedua prinsip ini intinya sama. Ketegangan kebutuhan di satu pihak dan pemuasan kebutuhan di lain pihak akan hilang dan dengan demikian kebahagiaan insan (sekurang-kurangnya pada prinsipnya) akan terjamin.

Pada titik ini dalam pikirannya Marcuse beralih kepada kritik atas masyarakat kini ini. Menurut dia, kini ini keseimbangan antara kebutuhan dan pemuasan kebutuhan bahwasanya sanggup lebih serasi daripada yang dimungkinkan secara konkret. Demi mempertahankan dirinya, sistem kemasyarakatan modern sama sekali dikuasai prinsip prestasi, lantaran prinsip prestasi (the performance principle) yaitu cara bagaimana prinsip realitas menampakkan diri dalam zaman kita ini. Salah satu kesudahannya yaitu kultus produktivitas dalam masyarakat industri modern. Bagi Marcuse di sini tampak suatu surplus-repression, suatu represi berlebihan; suatu represi yang lebih besar daripada yang sungguh-sungguh dibutuhkan untuk mencapai tujuannya, yaitu menjamin keberlangsungan proses-proses sosial.

Dengan mendobrak dominasi prinsip realitas yang terdapat pada Freud* dan dengan membuka lingkup gerak lebih luas bagi prinsip kesenangan, Marcuse mau menampilkan nilai revolusioner yang terpendam dalam psikoanalisis Freud. Pada Freud* sendiri nilai revolusioner itu tidak diberi peluang untuk tampil ke muka, justru lantaran dominasi prinsip realitas. Tetapi bila kita berhasil menemukan nilai revolusioner tersebut, psikoanalisis akan sanggup digunakan untuk menelanjangi struktur-struktur penindasan yang menguasai masyarakat modern. Untuk itu perlu kita mengerti represi terutama sebagai suatu proses yang menyangkut masyarakat, sedangkan bagi Freud* represi merupakan proses yang secara istimewa menyangkut insan perorangan.

Bagi Marcuse seluruh sejarah insan merupakan suatu rangkaian tak terputus yang terdiri dari penindasan-penindasan serta represi-represi yang semakin besar, tetapi di lain pihak ia mengakui juga bahwa kemungkinan objektif untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan insan semakin bertambah pula, terutama lantaran pekerjaan sudah kehilangan sifat kejamnya (belum pernah dalam sejarah terdapat begitu banyak waktu terluang bagi segala lapisan masyarakat ibarat dalam masyarakat industri modern). Berdasarkan pengertian ihwal konstelasi historis kita kini ini, apakah yang sanggup kita katakan ihwal arah sejarah selanjutnya? Apakah kontradiksi antara prinsip kesenangan dan prinsip realitas merupakan suatu antagonisme tetap dalam sejarah atau kah kontradiksi ini sanggup diatasi? Jawaban Marcuse cukup menarik. Ia beropini bahwa sejarah penindasan insan sanggup diatasi dengan suatu prinsip realitas yang baru. Prinsip realitas versi gres ini akan memanfaatkan secara optimal kemungkinan-kemungkinan yang tersedia dalam masyarakat teknologis. Menurut Marcuse, prinsip ini harus didasarkan atas pengamatan estetis (the aesthetic perception). Itu sama sekali tidak berarti bahwa berdasarkan Marcuse sanggup diwujudkan suatu masyarakat di mana tidak terdapat represi apa pun. Keadaan demikian itu mau tidak mau harus berakhir dengan anarki dan anarki dengan tegas ditolak Marcuse sebagai bentuk kemasyarakatan yang mustahil. Maka dari itu ia tidak membuang tapi mengganti prinsip realitas. Tetapi dengan itu ia masuk wilayah utopi. Ia menganggap mungkin suatu masyarakat di mana kebutuhan-kebutuhan erotis dan estetis menerima ruang lingkup yang seluas-luasnya. Dalam hal ini ia mencari inspirasinya dalam karangan Friedrich Schiller, sastrawan Jerman yang tersohor itu, yang berjudul Surat-surat ihwal pendidikan estetis (1975). Terutama ia memperhatikan pendapat Schiller ihwal perlunya memajukan kecenderungan insan untuk bermain (the play impulse). Manusia gres menjadi insan dalam arti yang sebenarnya, bila ia bermain, lantaran dengan itu ia melupakan waktu dan melepaskan diri dari paksaan fisis dan moral. Oleh karenanya apa yang dianggap tidak mungkin oleh Freud*, berdasarkan Marcuse sanggup direalisasikan, yakni suatu kebudayaan yang ditandai joy and fufilment, artinya suatu kebudayaan tanpa frustasi. Tetapi Marcuse tidak sanggup untuk melukiskan berdasarkan detail-detailnya masyarakat yang sudah terletak dalam jangkauan kemungkinan-kemungkinan kita.

Download di Sini


Sumber.

Bertens, K. 2004. Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman. Gramedia. Jakarta

Baca Juga
1. Herbert Marcuse. Biografi dan Karya
2. Mazhab Frankfurt. Herbert Marcuse (1898-1979): Menganalisis Masyarakat Industri Maju 
3. Manusia Satu Dimensi (One Dimensional Man)
4. Mazhab Frankfurt

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel