Peter M. Blau. Keabsahan Kekuasaan Dalam Kelompok
Blau* beropini "Hanya perintah-perintah kekuasaan sah yang akan dipatuhi". Istilah lain bagi kekuasaan yang sah itu ialah otoritas. Kelompok secara sukarela bersedia mendapatkan kekuasaan atau otoritas yang sah, dengan demikian membuat wewenang tersebut sebagai pengikat anggota-anggota kelompok. Pejabat direktur pemerintah Amerika contohnya mempunyai (dan menggunakan) kekuasaan mengawasi gerak-gerik warga Amerika melalui CIA. Tetapi mereka tidak mempunyai wewenang untuk terlibat dalam tindakan menyerupai itu. Apakah Presiden Ford mendesak melanjutkan kegiatan-kegiatan demikian, atau apakah ia membela praktek tersebut, yang jela ketika hal itu diketahui umum, oposisi niscaya akan muncul. Tetapi rakyat Amerika memang mengakui kekuasaan presiden untuk memveto undang-undang yang diajukan oleh Kongres, mengangkat penasihat-penasihat Kabinet, dan mengisi lowongan di Mahkamah Agung. Pelaksanaan kekuasaan menyerupai ini dibenarkan dan dianggap sebagai kekuasaan atau wewenang yang sah.
Wewenang menurut atas norma-norma atau aturan-aturan bersama menggariskan sikap dalam suatu kolektivitas. Norma-norma itu memaksa individu mematuhi aturan dari mereka yang berkuasa. Norma-norma demikian diinternalisir oleh anggota kelompok dan dipaksakan kepada mereka. Warga negara mengakui hak-hak Kongres untuk membuat undang-undang, anggota serikat buruh mengakui hak para pemimpin untuk mengadakan negosiasi kontrak, mahasiswa mendapatkan hak para dosen untuk memilih kenaikan tingkat. Orang disosialisir ke dalam norma-norma yang mengatur sikap mereka yang berada di lapisan atas dan bawah. Blau* beropini "Ukuran-ukuran normatif yang mendasari wewenang yang terlembaga tidak lahir dalam proses interaksi sosial antara mereka yang berada di lapisan atas dan bawah dan di antara sesama mereka yang berada di lapisan bawah, tetapi di dalam proses sosialisasi di mana setiap orang secara terpisah mengakui kebudayaan bersama". Dengan kata lain, kita berguru mendapatkan struktur wewenang lantaran kita disosialisir ke dalam kebudayaan kita sendiri.
Pelaksanaan kekuasaan dan atau wewenang ini bukan tanpa kesulitan. Blau* mengetengahkan "dilema kepemimpinan" yang membutuhkan pemilikan kekuasaan terhadap orang lain dan penerimaan kekuasaan itu secara sah. Dilema terdapat dalam konflik antara proses memperoleh kekuasaan dan restu atas penerimaan kekuasaan tersebut. Seseorang sanggup memperoleh posisi kepemimpinan dengan taruhan rasa tidak bahagia di kalangan mereka yang di bawah, yang lantaran itu merupakan biaya penerimaan sosial. Di pihak lain, bilamana seseorang terlalu memperdulikan penerimaan sosial, maka ia akan terjerumus ke dalam persoalan kepemimpinan yang terlalu lunak, dan lantaran sifatnya yang terlalu memperhatikan itu, maka pemimpin akan lebih banyak diatur oleh kehendak para pengikut daripada oleh pencapaian maksimal tujuan bersama. Individu yang ingin menjadi pemimpin cenderung mengatasi dilema ini dengan memobilisir kekuasaan dan memakai kekuasaan itu untuk memperoleh penerimaan sosial dari para pengikutnya. Yang ideal ialah pelaksanaan kekuasaan yang tidak berlebih-lebihan serta memperlihatkan laba yang setimpal pada kepatuhan. Kekuasaan semacam ini melahirkan penerimaan sosial yang mengabsahkan wewenang dari perintah-perintahnya. Bilamana kekuasaan bersifat menindas dan menghisap, ia akan memancing penolakan bahkan perlawanan. Konsensus akan lahir apabila anggota dari kelompok yang tertindas menyatakan rasa sakit hati serta permusuhan mereka. Kemudian kelompok ini sanggup membuatkan ideologi yang bertentangan dengan ideologi kelompok lama.
Apakah kekuasaan akan cenderung memperoleh keabsahan atau oposisi sebagian juga tergantung pada apakah ukuran atau nilai-nilai yang mengatur hubungan-hubungan sosial dengan kelompok bersifat khusus atau umum. Blau* menyebut kedua tipe nilai tersebut sebagai berikut: "Ukuran-ukuran yang bersifat khusus menunjuk pada atribut-atribut status yang hanya dinilai oleh in-group, menyerupai kepercayaan politik atau keagamaan, sedangkan ukuran-ukuran yang bersifat umum menunjuk kepada atribut-atribut yang biasanya dinilai oleh orang yang tidak mempunyai maupun yang mempunyai kekayaan atau kompetensi". Demikianlah, dalam masyarakat Amerika, ukuran umum wacana kekayaan diinginkan baik oleh orang kaya dan orang miskin. Biasanya sukses, kesehatan dan kecantikan juga diinginkan secara universal. Di pihak lain, usulan keagamaan Baptis tidak diinginkan oleh kaum Yahudi dan Katolik. Pendukung demokrat tidak menginginkan nilai-nilai republik. Kelompok yang demikian itu mempunyai nilai dan norma yang bersifat khusus dan hanya diinginkan oleh kelompok-kelompok individual.
Walaupun in-group dapat mempunyai kesamaan nilai-nilai dan norma-norma, tetapi norma-norma mereka yang bersifat khusus sanggup mengalami konflik. Dengan demikian suatu kelompok sanggup saja menyetujui tujuan-tujuan yang bersifat khusus, tetapi tujuan tersebut mungkin bertentangan dengan tujuan-tujuan sub-kelompok lainnya. Sebuah ilustrasi dari bencana kontemporer sanggup menjelaskan prinsip ini. Sampai bulan Januari 1973 permohonan untuk abortus di sebagian besar negara bab Amerika Serikat tetap dilarang. Larangan ini sanggup dilihat sebagai suatu nilai umum yang didukung oleh hukum. Tetapi ada kekuatan-kekuatan tertentu yang bergerak untuk mengubah situasi yang sah ini. Dua yang terpenting di antara kekuatan-kekuatan itu ialah gerakan kaum perempuan serta keprihatinan terhadap ledakan penduduk dunia yang sedang mengalami kekurangan sumber daya. Dengan kekuasaan Mahkamah Agung mengeluarkan undang-undang larangan abortus di tahap awal kehamilan. Karena tindakan tersebut dianggap sebagai tindakan melawan hukum, maka di tahap itu segera berlangsung kontradiksi antara dua kelompok dengan sistem nilai yang saling bertentangan, yaitu mereka yang menginginkan liberalisasi undang-undang abortus, dan mereka yang menolak abortus. Oposisi terus berlangsung ketika amandemen diketengahkan untuk menghentikan abortus yang sah. Nilai-nilai dari kedua kolektivitas ini mustahil didamaikan lewat proses pertukaran sosial. Kekuasaan, bukannya pertukaran timbal-balik, akan memilih pandangan mana wacana abortus itu yang akan menjadi nilai yang bersifat umum dan pandangan mana yang akan menjadi nilai yang bersifat khusus.
Contoh-contoh in-group ini juga menggambarkan "the emergence principle" yang merupakan inti dari teori Blau*. Keanggotaan kelompok bertumpu pada nilai-nilai serta norma-norma yang disetujui bersama. Walaupun pertukaran berfungsi sebagai basis interaksi personal yang paling dasar, akan tetapi nilai-nilai sosial yang diterima bersama, berfungsi sebagai media transaksi sosial bagi organisasi serta kelompok-kelompok sosial. Prinsip ini memberi peluang bagi struktur untuk berfungsi tanpa kontak pribadi di antara anggota-anggota individual dan dalam jangka waktu yang lama. Dalam kasus persahabatan pribadi lebih gampang untuk menganalisa proses pertukaran pribadi dari aneka macam ganjaran intrinsik dan ekstrinsik. Nilai-nilai sosial bersama itu merupakan kunci untuk memahami kekuasaan dan pertukaran sosial dalam kolektivitas-kolektivitas besar.
Blau* mengetengahkan empat tipe nilai mediator yang semuanya dibahas di bagian:
1. Nilai-nilai yang bersifat khusus berfungsi sebagai media kohesi dan solidaritas sosial. Ia membantu membuat rasa kesatuan bersama yang menggantikan rasa ketertarikan yang bersifat pribadi. Akan tetapi di ketika yang sama ia menghasilkan pembagian di antara sub kelompok yang terdapat dalam kolektivitas yang lebih besar. Hal ini sanggup dilihat dari aneka macam contoh, termasuk kelompok-kelompok yang aktif bergerak di bidang undang-undang pembatasan senjata melawan asosiasi Persenjataan Nasional, kaum feminis melawan anggota-anggota organisasi-organisasi non-feminis, kaum Republik melawan kaum Demokrat, dan sebagainya.
2. Ukuran-ukuran wacana pencapaian dan pinjaman sosial yang bersifat umum melahirkan sistem stratifikasi sosial. Di sini status menjadi suatu ganjaran yang memungkinkan transaksi terjadi secara tidak langsung. Kedudukan tinggi dalam jabatan pemerintahan yang diberikan kepada seseorang sanggup berfungsi sebagai citra dan klarifikasi mengapa orang mengesampingkan urusan bisnis yang menguntungkan atau praktek aturan hanya untuk memperoleh honor yang rendah sebagai anggota Senat, anggota Mahkamah Agung atau Presiden. Ukuran-ukuran pelayanan yang bersifat umum untuk negara itu memperlihatkan status bagi individu-individu tersebut.
3. Sebagaimana sanggup dilihat, nilai-nilai yang disahkan itu merupakan medium pelaksaan wewenang dan organisasi usaha-usaha sosial berskala besar untuk mencapai tujuan-tujuan kolektif. Kekuasaan harus memperoleh legitimasi dan dilihat sebagai hal yang sah oleh anggota kelompok. Dia harus diterima sebagai kebutuhan dalam mencapai tujuan-tujuan kelompok.
4. Gagasan-gagasan oposisi ialah media reorganisasi dan perubahan oleh lantaran hal ini sanggup menjadikan dukungan bagi gerakan oposisi dan memberi legitimasi bagi kepemimpinan mereka. Contoh wacana itu sanggup dilihat dari pembicaraan untuk membentuk "partai ketiga" lantaran tidak puas terhadap aneka macam acara para pemimpin partai Republik maupun Demokrat.
Blau* percaya bahwa kompleksitas pola-pola kehidupan sosial yang dijembatani oleh nilai-nilai bersama itu akan melembaga. Lembaga-lembaga demikian akan awet bilamana dipenuhi tiga persyaratan: (1) prinsip-prinsip yang diorganisir harus merupakan bab dari prosedur-prosedur yang diformalisir (konstitusi atau dokumen lainnya), sehingga setiap ketika bebas dari orang yang melaksanakannya; (2) nilai-nilai sosial yang mengesahkan bentuk institusional itu harus diwariskan kepada generasi selanjutnya melalui proses sosialisasi; (3) kelompok-kelompok mayoritas dalam masyarakat harus menganut nilai-nilai itu serta harus meminjamkan kekuasaannya untuk mendukung lembaga-lembaga yang memasyarakatkan nilai-nilai tersebut. Kelompok anti Komunis Amerika mustahil membiarkan munculnya Partai Komunis Amerika lebih daripada kelompok Anti Agama Uni Soviet atau Rakyat Republik Cina akan memperbolehkan eksistensi agama yang ditetapkan oleh negara. Bahkan jika suatu forum telah memenuhi dua kondisi pertama itu, biasanya dukungan harus dipinjamkan oleh kelompok-kelompok mayoritas bilamana forum tersebut harus tetap hidup dalam jangka waktu terbatas.
Untuk meringkas pembahasan Blau* mengenai kelompok-kelompok sosial yang bersifat "emergent" itu kita sanggup mengamati ide-ide utama berikut ini. Pertama, dalam kekerabatan pertukaran yang elementer, orang tertarik satu sama lain melalui aneka macam kebutuhan dan kepuasan timbal balik. Terdapat perkiraan bahwa orang yang memperlihatkan ganjaran, melaksanakan hal itu sebagai pembayaran bagi nilai yang diterimanya.
Kedua, pertukaran demikian gampang sekali menjelma hubungan-hubungan persaingan di mana setiap orang harus memperlihatkan ganjaran yang diberikannya dengan maksud menekan orang lain dan sebagai perjuangan untuk memperoleh ganjaran yang lebih baik. Ketiga, persaingan tersebut melahirkan asal-muasal sistem stratifikasi di mana individu-individu dibedakan atas dasar kelangkaan sumber-sumber yang dimilikinya. Di sini kita melihat akar-akar dari konsep "emergent" wacana kekuasaan. Keempat, kekuasaan sanggup bersifat sah (wewenang) atau bersifat memaksa. Wewenang tumbuh menurut nilai-nilai yang sah, yang memungkinkan aneka macam kelompok dan organisasi yang bersifat "emergent" berfungsi tanpa mendasarkan diri di atas kekerabatan yang intim, yaitu kekerabatan tatap muka. Para anggota kelompok menyadari validitas aneka macam kebutuhan serta tujuan kelompok maupun pertukaran di tingkat individu. Di pihak lain, penggunaan kekuasaan yang bersifat memaksa mengundang banyak masalah, khususnya meningkatkan perkembangan nilai-nilai oposisi.
Walaupun Blau* sangat dipengaruhi oleh teori fungsionalisme dan teori pertukaran, akan tetapi teorinya bukan merupakan mangsa dari pesona teori-teori itu wacana status quo. Blau*, sebagaimana yang terlihat di bab berikut, memasukkan perubahan sosial sebagai bab integral dari teorinya.
Download di Sini
Sumber.
Poloma, margaret. M. 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta. PT. RajaGrafindo Perkasa
Baca Juga
1. Peter M. Blau. Biografi
2. Peter M. Blau. Strukturalisme Pertukaran
3. Peter M. Blau. Pertukaran dan Kekuasaan dalam Kehidupan Sosial
4. Peter M. Blau. Kekuatan-Kekuatan Dialektis Perubahan Sosial
5. Peter M. Blau. Diferensiasi Kekuasaan
Wewenang menurut atas norma-norma atau aturan-aturan bersama menggariskan sikap dalam suatu kolektivitas. Norma-norma itu memaksa individu mematuhi aturan dari mereka yang berkuasa. Norma-norma demikian diinternalisir oleh anggota kelompok dan dipaksakan kepada mereka. Warga negara mengakui hak-hak Kongres untuk membuat undang-undang, anggota serikat buruh mengakui hak para pemimpin untuk mengadakan negosiasi kontrak, mahasiswa mendapatkan hak para dosen untuk memilih kenaikan tingkat. Orang disosialisir ke dalam norma-norma yang mengatur sikap mereka yang berada di lapisan atas dan bawah. Blau* beropini "Ukuran-ukuran normatif yang mendasari wewenang yang terlembaga tidak lahir dalam proses interaksi sosial antara mereka yang berada di lapisan atas dan bawah dan di antara sesama mereka yang berada di lapisan bawah, tetapi di dalam proses sosialisasi di mana setiap orang secara terpisah mengakui kebudayaan bersama". Dengan kata lain, kita berguru mendapatkan struktur wewenang lantaran kita disosialisir ke dalam kebudayaan kita sendiri.
Pelaksanaan kekuasaan dan atau wewenang ini bukan tanpa kesulitan. Blau* mengetengahkan "dilema kepemimpinan" yang membutuhkan pemilikan kekuasaan terhadap orang lain dan penerimaan kekuasaan itu secara sah. Dilema terdapat dalam konflik antara proses memperoleh kekuasaan dan restu atas penerimaan kekuasaan tersebut. Seseorang sanggup memperoleh posisi kepemimpinan dengan taruhan rasa tidak bahagia di kalangan mereka yang di bawah, yang lantaran itu merupakan biaya penerimaan sosial. Di pihak lain, bilamana seseorang terlalu memperdulikan penerimaan sosial, maka ia akan terjerumus ke dalam persoalan kepemimpinan yang terlalu lunak, dan lantaran sifatnya yang terlalu memperhatikan itu, maka pemimpin akan lebih banyak diatur oleh kehendak para pengikut daripada oleh pencapaian maksimal tujuan bersama. Individu yang ingin menjadi pemimpin cenderung mengatasi dilema ini dengan memobilisir kekuasaan dan memakai kekuasaan itu untuk memperoleh penerimaan sosial dari para pengikutnya. Yang ideal ialah pelaksanaan kekuasaan yang tidak berlebih-lebihan serta memperlihatkan laba yang setimpal pada kepatuhan. Kekuasaan semacam ini melahirkan penerimaan sosial yang mengabsahkan wewenang dari perintah-perintahnya. Bilamana kekuasaan bersifat menindas dan menghisap, ia akan memancing penolakan bahkan perlawanan. Konsensus akan lahir apabila anggota dari kelompok yang tertindas menyatakan rasa sakit hati serta permusuhan mereka. Kemudian kelompok ini sanggup membuatkan ideologi yang bertentangan dengan ideologi kelompok lama.
Apakah kekuasaan akan cenderung memperoleh keabsahan atau oposisi sebagian juga tergantung pada apakah ukuran atau nilai-nilai yang mengatur hubungan-hubungan sosial dengan kelompok bersifat khusus atau umum. Blau* menyebut kedua tipe nilai tersebut sebagai berikut: "Ukuran-ukuran yang bersifat khusus menunjuk pada atribut-atribut status yang hanya dinilai oleh in-group, menyerupai kepercayaan politik atau keagamaan, sedangkan ukuran-ukuran yang bersifat umum menunjuk kepada atribut-atribut yang biasanya dinilai oleh orang yang tidak mempunyai maupun yang mempunyai kekayaan atau kompetensi". Demikianlah, dalam masyarakat Amerika, ukuran umum wacana kekayaan diinginkan baik oleh orang kaya dan orang miskin. Biasanya sukses, kesehatan dan kecantikan juga diinginkan secara universal. Di pihak lain, usulan keagamaan Baptis tidak diinginkan oleh kaum Yahudi dan Katolik. Pendukung demokrat tidak menginginkan nilai-nilai republik. Kelompok yang demikian itu mempunyai nilai dan norma yang bersifat khusus dan hanya diinginkan oleh kelompok-kelompok individual.
Walaupun in-group dapat mempunyai kesamaan nilai-nilai dan norma-norma, tetapi norma-norma mereka yang bersifat khusus sanggup mengalami konflik. Dengan demikian suatu kelompok sanggup saja menyetujui tujuan-tujuan yang bersifat khusus, tetapi tujuan tersebut mungkin bertentangan dengan tujuan-tujuan sub-kelompok lainnya. Sebuah ilustrasi dari bencana kontemporer sanggup menjelaskan prinsip ini. Sampai bulan Januari 1973 permohonan untuk abortus di sebagian besar negara bab Amerika Serikat tetap dilarang. Larangan ini sanggup dilihat sebagai suatu nilai umum yang didukung oleh hukum. Tetapi ada kekuatan-kekuatan tertentu yang bergerak untuk mengubah situasi yang sah ini. Dua yang terpenting di antara kekuatan-kekuatan itu ialah gerakan kaum perempuan serta keprihatinan terhadap ledakan penduduk dunia yang sedang mengalami kekurangan sumber daya. Dengan kekuasaan Mahkamah Agung mengeluarkan undang-undang larangan abortus di tahap awal kehamilan. Karena tindakan tersebut dianggap sebagai tindakan melawan hukum, maka di tahap itu segera berlangsung kontradiksi antara dua kelompok dengan sistem nilai yang saling bertentangan, yaitu mereka yang menginginkan liberalisasi undang-undang abortus, dan mereka yang menolak abortus. Oposisi terus berlangsung ketika amandemen diketengahkan untuk menghentikan abortus yang sah. Nilai-nilai dari kedua kolektivitas ini mustahil didamaikan lewat proses pertukaran sosial. Kekuasaan, bukannya pertukaran timbal-balik, akan memilih pandangan mana wacana abortus itu yang akan menjadi nilai yang bersifat umum dan pandangan mana yang akan menjadi nilai yang bersifat khusus.
Contoh-contoh in-group ini juga menggambarkan "the emergence principle" yang merupakan inti dari teori Blau*. Keanggotaan kelompok bertumpu pada nilai-nilai serta norma-norma yang disetujui bersama. Walaupun pertukaran berfungsi sebagai basis interaksi personal yang paling dasar, akan tetapi nilai-nilai sosial yang diterima bersama, berfungsi sebagai media transaksi sosial bagi organisasi serta kelompok-kelompok sosial. Prinsip ini memberi peluang bagi struktur untuk berfungsi tanpa kontak pribadi di antara anggota-anggota individual dan dalam jangka waktu yang lama. Dalam kasus persahabatan pribadi lebih gampang untuk menganalisa proses pertukaran pribadi dari aneka macam ganjaran intrinsik dan ekstrinsik. Nilai-nilai sosial bersama itu merupakan kunci untuk memahami kekuasaan dan pertukaran sosial dalam kolektivitas-kolektivitas besar.
Blau* mengetengahkan empat tipe nilai mediator yang semuanya dibahas di bagian:
1. Nilai-nilai yang bersifat khusus berfungsi sebagai media kohesi dan solidaritas sosial. Ia membantu membuat rasa kesatuan bersama yang menggantikan rasa ketertarikan yang bersifat pribadi. Akan tetapi di ketika yang sama ia menghasilkan pembagian di antara sub kelompok yang terdapat dalam kolektivitas yang lebih besar. Hal ini sanggup dilihat dari aneka macam contoh, termasuk kelompok-kelompok yang aktif bergerak di bidang undang-undang pembatasan senjata melawan asosiasi Persenjataan Nasional, kaum feminis melawan anggota-anggota organisasi-organisasi non-feminis, kaum Republik melawan kaum Demokrat, dan sebagainya.
2. Ukuran-ukuran wacana pencapaian dan pinjaman sosial yang bersifat umum melahirkan sistem stratifikasi sosial. Di sini status menjadi suatu ganjaran yang memungkinkan transaksi terjadi secara tidak langsung. Kedudukan tinggi dalam jabatan pemerintahan yang diberikan kepada seseorang sanggup berfungsi sebagai citra dan klarifikasi mengapa orang mengesampingkan urusan bisnis yang menguntungkan atau praktek aturan hanya untuk memperoleh honor yang rendah sebagai anggota Senat, anggota Mahkamah Agung atau Presiden. Ukuran-ukuran pelayanan yang bersifat umum untuk negara itu memperlihatkan status bagi individu-individu tersebut.
3. Sebagaimana sanggup dilihat, nilai-nilai yang disahkan itu merupakan medium pelaksaan wewenang dan organisasi usaha-usaha sosial berskala besar untuk mencapai tujuan-tujuan kolektif. Kekuasaan harus memperoleh legitimasi dan dilihat sebagai hal yang sah oleh anggota kelompok. Dia harus diterima sebagai kebutuhan dalam mencapai tujuan-tujuan kelompok.
4. Gagasan-gagasan oposisi ialah media reorganisasi dan perubahan oleh lantaran hal ini sanggup menjadikan dukungan bagi gerakan oposisi dan memberi legitimasi bagi kepemimpinan mereka. Contoh wacana itu sanggup dilihat dari pembicaraan untuk membentuk "partai ketiga" lantaran tidak puas terhadap aneka macam acara para pemimpin partai Republik maupun Demokrat.
Blau* percaya bahwa kompleksitas pola-pola kehidupan sosial yang dijembatani oleh nilai-nilai bersama itu akan melembaga. Lembaga-lembaga demikian akan awet bilamana dipenuhi tiga persyaratan: (1) prinsip-prinsip yang diorganisir harus merupakan bab dari prosedur-prosedur yang diformalisir (konstitusi atau dokumen lainnya), sehingga setiap ketika bebas dari orang yang melaksanakannya; (2) nilai-nilai sosial yang mengesahkan bentuk institusional itu harus diwariskan kepada generasi selanjutnya melalui proses sosialisasi; (3) kelompok-kelompok mayoritas dalam masyarakat harus menganut nilai-nilai itu serta harus meminjamkan kekuasaannya untuk mendukung lembaga-lembaga yang memasyarakatkan nilai-nilai tersebut. Kelompok anti Komunis Amerika mustahil membiarkan munculnya Partai Komunis Amerika lebih daripada kelompok Anti Agama Uni Soviet atau Rakyat Republik Cina akan memperbolehkan eksistensi agama yang ditetapkan oleh negara. Bahkan jika suatu forum telah memenuhi dua kondisi pertama itu, biasanya dukungan harus dipinjamkan oleh kelompok-kelompok mayoritas bilamana forum tersebut harus tetap hidup dalam jangka waktu terbatas.
Untuk meringkas pembahasan Blau* mengenai kelompok-kelompok sosial yang bersifat "emergent" itu kita sanggup mengamati ide-ide utama berikut ini. Pertama, dalam kekerabatan pertukaran yang elementer, orang tertarik satu sama lain melalui aneka macam kebutuhan dan kepuasan timbal balik. Terdapat perkiraan bahwa orang yang memperlihatkan ganjaran, melaksanakan hal itu sebagai pembayaran bagi nilai yang diterimanya.
Walaupun Blau* sangat dipengaruhi oleh teori fungsionalisme dan teori pertukaran, akan tetapi teorinya bukan merupakan mangsa dari pesona teori-teori itu wacana status quo. Blau*, sebagaimana yang terlihat di bab berikut, memasukkan perubahan sosial sebagai bab integral dari teorinya.
Download di Sini
Sumber.
Poloma, margaret. M. 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta. PT. RajaGrafindo Perkasa
Baca Juga
1. Peter M. Blau. Biografi
2. Peter M. Blau. Strukturalisme Pertukaran
3. Peter M. Blau. Pertukaran dan Kekuasaan dalam Kehidupan Sosial
4. Peter M. Blau. Kekuatan-Kekuatan Dialektis Perubahan Sosial
5. Peter M. Blau. Diferensiasi Kekuasaan