Post Modernitas

Pada mulanya postmodernitas dalam teori sosial terkait dekat dengan ketidakpercayaan terhadap puncak perkembangan evolusioner modernitas yang ditandai dengan rasionalitas sains dan objektivitas. Awalan Post pada kata postmodernitas mengandung makna bahwa bekerjsama ketika ini kita tengah berada dalam periode peradaban di luar kondisi modernitas ibarat yang diteorikan oleh sebagian besar teoretisi sosial modern; Comte*, Durkheim*, Weber* dan Marx*. Hal ini merupakan sebuah menerangkan bahwa pemahaman mereka telah kadaluwarsa atau bahkan gagal menjelaskan perkembangan luar biasa kondisi peradaban kita ketika ini.  Demikian, teori sosial postmodern mencoba menteorikan perkembangan ini dengan menggunakan teori modernitas plus penciptaan pemahaman gres yang pada mulanya tidak sanggup dijelaskan oleh teori-teori sosial modern.

Salah satu penerapan faktual teori sosial postmodern di antaranya tampak pada analisis budaya dan kajian media. Kajian media ketika ini bahkan tengah menjadi salah satu gerakan tumbuh berkembang di mana orang sering kali menyebutnya sebagai kajian budaya (culture studies). Selain dari pada itu, penerapan teori postmodern lain yang menarik ialah dalam filsafat ilmu sosial juga pada penggunaan metodologi penelitian yang mencakup perspektif perihal sifat kebenaran, narasi dan etnografi. Demikian, berdasarkan teoretisi postmodern, kondisi kehidupan sosial kita ketika ini tidak lagi berada dalam kondisi modern, tapi lebih dari itu peradaban kita ketika ini tengah berada dalam masa postmodern, hal ini ditandai oleh:

1. Globalitas yang berakibat mengaburkan perbedaan antara bangsa dan wilayah maju (dunia pertama) dengan bangsa atau wilayah kolot (dunia ketiga)

2. Lokalitas jawaban dari kondisi yang pertama maka kita akan gampang memahami kecenderungan global dengan mempelajari manifestasi lokal

3. Akhir dari "akhir sejarah" modernitas ibarat yang dikumandangkan oleh para pemikir pencerahan bukanlah tahap tamat sejarah di mana kebutuhan material setiap orang terpenuhi, namun merupakan rantai evolusi kapitalis yang terputus dan membentuk kondisi ekonomi kapitalis yang gres

4. Kematian Individu dengan pengertian bahwa ketika ini individu ialah lahan pertarungan tanpa batas antara dirinya dengan dunia luar. Sehingga akan teramat sulit untuk memilih subjektivitas individu di tengah pertarungan media informasi dan komunikasi

5. Mode Informasi cara produksi (Mode of Production) dalam terminologi Marx* sudah tidak lagi relevan. Saat ini yang berlaku ialah mode informasi, yakni cara masyarakat postmodern mengorganisir dan mengembangkan informasi dan hiburan

6. Simulasi Baudrillard* menyebutkan bahwa dalam kondisi postmodern apa yang disebut sebagai realitas tidak lagi stabil dan tidak sanggup dilacak dengan menggunakan konsep saintifik tradisional, termasuk dengan Marxisme. Hal ini dikarenakan masyarakat semakin "tersimulasi", tertipu, dalam lautan gambaran dan wacana yang secara cepat dan keras menggantikan pengalaman insan atas realitas


7. Perbedaan dan Penundaan dalam Bahasa Deridda* menyampaikan bahwa dalam kondisi postmodern bahasa tidak lagi berada dalam hubungan representasional pasif atas "kenyataan" sehingga kata sanggup secara terang dan jernih menjabarkan atau menjelaskan realitas dunia. Namun, bahasa termasuk goresan pena menjadi bersifat licin, menjadi satu media ambigu yang malah ikut mengaburkan pemahaman yang sebelumnya terang menjadi tidak pasti. Sehingga usaha orang untuk memperjelas ketidakjelasan, kesalahpahaman atau keambiguitasan malah hanya akan menjadikan ketidakjelasan, kesalahpahaman atau keambiguitasan yang baru, dan hanya akan membuat satu kemunduran faktual yang membahayakan gagasan positivis perihal wacana sains yang sepenuhnya objektif

8. Polivokalitas Bakhtin menyatakan bahwa segala hal sanggup dikatakan secara berbeda, termasuk sains. Tidak ada superioritas sains atas commonssense, sains tidak lagi mempunyai status yang istimewa dibanding commonssense

9.Kematian Polaritas Analitis polaritas (pembedaan) tradisional (misal kelas proletar vs kapitalis, wanita vs laki-laki, dunia ketiga vs dunia pertama..dsb) tidak lagi layak alasannya ialah semakin beragamnya pluralitas posisi subjek insan (death author)

10. Gerakan Sosial Baru tumbuhnya banyak sekali gerakan akar rumput bagi perubahan sosial progresif, misal gerakan pembela lingkungan hidup, perempuan, gay, lesbian..dsb (Habermas*), di mana dalam kondisi postmodern gerakan-gerakan tersebut tidak serta merta sempurna dengan jaringan bipolar Marx perihal konflik sosial, namun gerakan-gerakan tersebut lebih mewakili teori perubahan sosial yang gres

11. Kritik Atas Narasi Besar Lyotard* berpandangan bahwa narasi besar atau kisah agung perihal sejarah dan masyarakat yang diungkapkan oleh Marxis dan hebat lain yang menerjemahkan pencerahan harus diabaikan di dunia yang postmodern, beragam dan polivokal ini. Atau jikalau dalam Islam itu konsep khilafah, imam mahdi..dll. Ditengah-tengah masyarakat post modern ketika ini mereka cenderung lebih menyukai kisah kecil perihal problem sosial yang dikatakan oleh insan sendiri pada level kehidupan dan usaha mereka ditingkat lokal

12. Ke-Liyan-An (Otherness) dalam kondisi post modern konsep liyan (otherness) merupakan hal yang usang, tidak ada lagi marjinalisasi, subordinasi kelompok, pria perempuan, budaya tinggi rendah..dll

Seperti yang telah disebutkan di atas, teoretisi postmodern tidak serta merta mencampakkan teori modern mengenai dunia kehidupan sosial, namun tetap memakainya dengan menambahi sudut teoretisi yang benar-benar baru, namun justru kondisi tersebut menjadikan perilaku yang mendua dari pendirian mereka, satu sisi masih menginjakkan kaki pada pemahaman teoretisi modernitas namun disisi lain seolah hendak mencampakkan begitu saja analisis modern sebagai teori yang sudah lama dan gagal dalam memahami kondisi perkembangan terkini dunia kehidupan. Demikian, salah satu pernyataan yang paling penting dari teoretisi postmodernis ialah bahwa kemajuan merupakan satu mitos.

Meminjam kecaman Nietzsche* atas mitos kemajuan barat yang diasumsikan berkembang secara linier dari tahap sederhana menuju kompleksitas, rendah ke tinggi, pra industri ke pos industri, Timur ke Barat, Selatan ke Utara, desa ke kota. Hal ini bukan berarti bahwa teoritisi postmodern menganggap enteng kemajuan yang berhasil diraih perkiraan modernis, ibarat perawatan kesehatan, produksi industrial, transportasi, pendidikan universitas. Namun semua perkembangan tersebut tidak pernah terlepas dari perhitungan akan perkiraan biaya, beban kemanusiaan, pencemaran lingkungan, ketimpangan...dsb sebagai dampak samping atau kost yang harus tertanggungkan oleh kemajuan yang ada.

Kemajuan bukanlah aturan sosial, namun lebih merupakan hasil yang tergantung pada kekuatan-kekuatan sosial yang saling berkait dan berinteraksi yang dalam kenyataannya tidak selalu harus berkembang secara halus menghasilkan kemajuan-kemajuan faktual bagi kehidupan manusia. Teoritisi modernis melalui perkiraan perkembangan liniernya menganggap bahwa tugas mitos dalam masyarakat primitif yang senantiasa melahirkan penindasan dan korban kemanusiaan akan digantikan oleh tugas sains rasional modern dalam masyarakat industrial, di mana hal ini akan sanggup menjamin terpenuhinya kebutuhan material maupun spiritual masyarakat, atau dalam teori masyarakat komunis marxisme sekalipun. Namun kenyataan tersebut terbantahkan, Generasi Pertama teoretisi Frankfurt melawan kamp tamat hayat fasis sebagai epitome "peradaban" periode mesin membuktikan bahwa konsep teoretisi modernis barat perihal kemajuan, bahkan dalam Marxisme sekalipun, yang beranggapan bahwa peradaban modern telah berhasil memusnahkan kekuatan jahat yang dilepaskan oleh mitos, dalam kenyataannya kekuatan mitologi ini belum lah musnah, namun tetap hidup dengan berganti wajah gres berupa mitos yang berjulukan kekuatan logika dalam adonan yang tidak konsisten (mislanya Nazi membangun kamp tamat hayat mereka berdasarkan atas prinsip organisasi "rasional" hampir sama dengan pabrik) Meskipun teoretisi Frankfurt percaya dengan rasionalitas, namun kita seharusnya waspada terhadap ancaman pedoman simplistis dan ideologis yang mereduksi pembebasan insan menjadi semata aktivitas dan slogan.

Seperti Deridda* yang meyakini akan keruntuhan perilaku unrasional, dogma yang tidak kritis dan angkuh dengan alasan bahwa ia meniadakan dengan semena-mena kondisi ambiguitas dan ketidakpastian hidup manusia, namun kita harus tetaplah waspada terhadap dogma buta akan sains, prinsip dan sistem. Salah satu tema sentral Dialectic of Enlightenment karya Horkheimer* dan Adorno* ialah bahwa cara sainstisme yaitu dogma bahwa sains akan memecahkan semua problem sosial dengan sendirinya akan menjadi bentuk mitos seandainya berkeinginan untuk membebaskan dirinya dari nilai (keberpihakan) Kejahatan menjadi kronis, ekonomi bergerak dari siklus satu ke siklus yang lain, meskipun perang hambar telah berakhir, bangsa pemberontak menebar senjata nuklir dan terlibat dalam pertarungan berdarah, AIDS menyebar tak terkendali, hubungan antar ras semakin memburuk, gelandangan semakin banyak, kesenjangan antara kaya dan miskin serta kelompok dan bangsa semakin melebar.

Semua itu tanda-tanda krisis modernitas yang menantang teoretisi postmodern untuk membuat pemahaman yang gres perihal masa sekarang dan masa depan. Kalau Hegel menganggap membaca koran pagi ialah doa orang-orang realis yang menghendaki stabilitas dan kontinuitas peristiwa, sekarang membaca koran ialah suatu latihan daya tahan ketabahan, dengan kekerasan dan irasionalitas yang mendominasi tayangan gosip utamanya. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak hanya terjadi di negeri semisal Somalia, Bosnia atau Indonesia, bahkan di negeri yang katanya super power sekalipun ribuan orang berkeliaran di taman-taman kota New York, mencari pelari untuk diteror. Anak-anak melaksanakan pembunuhan. Orang bau tanah membunuh belum dewasa mereka sendiri. Pengendara sepeda motor menembak pengendara lain. Dibalik insiden sensasional ini, masyarakat Amerika hancur berantakan. Sekolah negeri sudah buruk, dan semakin memburuk, menjadi daerah kekerasan dan gudang kaum miskin kota. Infrastruktur jalan raya kota, jembatan, susukan pembuangan dan bangunan mengalami pengeroposan. Sampah menggunung. Para gelandangan berkelompok di stasiun kereta bawah tanah dan di atas jalur penghangat. Defisit nasional begitu besar sehingga pengeluaran pemerintah pusat untuk memecahkan problem ini dan problem sosial lain telah dipangkas hingga batas minimum. Sementara itu, penghuni penjara meruyak bersamaan dengan pertumbuhan penjara yang memproduksi ulang kelas penjahat.

Teoretisi modernitas selalu mengasumsikan adanya hasil yang menggembirakan. Di mana Comte*, Durkheim*, Weber* sendiri demikian mempercayai bahwa pemecahan problem kelangkaan material akan menghilangkan problem sosial, sehingga menjadikan kebahagiaan umum. Namun, dilihat dari perkembangannya bakir balig cukup akal ini, modernitas tidak sama sekali ibarat yang diharapkan. Dengannya teori postmodern menawarkan kekecewaan dan kemarahan yang tumbuh di dalamnya. Kini sebagian besar orang tidak menyukai pekerjaannya, jarang yang sanggup menemukan kedamaian dalam kehidupan keluarga mereka.

Teori modernitas sama sekali tidak mengetahui kemungkinan bahwa kapitalisme industrial akan gagal memecahkan problem sosial dan pribadi. Teoretisi post modern melihat post modernitas sebagai periode di mana semua pertaruhan hilang menjadi sesuatu yang hanya bersifat semu, di mana skeptisisme gres ini justru mengarah kepada perilaku konservatisme dan neo konservatisme, di mana kekecewaan terhadap rasionalitas, kemajuan, sains malah menjadikan gelombang irrasionalisme gres dalam masyarakat.


Download di Sini

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel