Ralf Dahrendorf. Strukturalisme Konflik

Ralf Dahrendorf* melihat teori konflik sebagai teori parsial yang sanggup juga dipakai dalam menganalisa fenomena sosial yang ada, dengan pengertian bahwa di samping penggunaan teori strukturalisme fungsional, di mana dalam hal ini Dahrendorf merupakan pengkritik teori fungsional yang mengabaikan eksistensi potensi konflik dalam masyarakat. Dahrendorf* menganggap masyarakat bersisi ganda, mempunyai sisi konflik dan sisi kolaborasi (kemudian ia menyempurnakan posisi ini dengan menyatakan bahwa segala sesuatu yang sanggup dianalisa dengan fungsionalisme struktural sanggup pula dianalisa dengan teori konflik dengan lebih baik).

Tinjauan Kembali Teori Marxis
Dasar teori Dahrendorf* ialah penolakan dan penerimaan parsial serta perumusan kembali teori Karl Marx*.

Di mana dalam usahanya tersebut Dahrendorf* mengatakan beberapa perubahan yang terjadi dalam masyarakat industri semenjak kala kesembilan belas. Di antara perubahan-perubahan tersebut adalah: (1) Dekomposisi modal, (2) Dekomposisi tenaga kerja, dan (3) Timbulnya kelas menengah baru.

Dekomposisi Modal
Marx* menulis perihal kapitalisme, pemilikan serta kontrol atas sarana-sarana produksi sebagai berada ditangan individu-individu yang sama. Kaum industrialis dan borjuis ialah pemilik dan pengelola sistem kapitalis, sedang para pekerja atau proletar demi kelangsungan hidupnya tergantung pada sistem tersebut. Menurut Dahrendorf* yang tidak dilihat oleh Marx* ialah pemisahan antara pemilikan serta pengendalian sarana-sarana produksi yang terjadi di kala kedua puluh. Timbulnya korporasi-korporasi dengan saham-saham yang dimiliki oleh orang banyak di mana tidak seorang pun mempunyai kontrol yang eksklusif, berperan sebagai pola dari apa yang disebutkan Dahrendorf sebagai dekomposisi modal.

Di kala yang terspesialisasi menyerupai ketika ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, menyerupai juga halnya dengan orang atau beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikannya. Karena kini zaman keahlian serta spesialisasi, administrasi perusahaan sanggup menyewa pegawai-pegawai sebagaimana halnya dengan pekerja-pekerja pabrik. Para buruh maupun pegawai kantor sanggup mempunyai saham perusahaan yang menjadikan mereka pemilik-pemilik sebagian. Menurut Dahrendorf*, dekomposisi modal ini melahirkan kesulitan untuk mengidentifikasi kaum borjuis yang mempunyai monopoli langsung atas modal maupun pengendali perusahaan. Sejalan dengan lahirnya kala kedua puluh, pemilikan dan pengendalian tersebut mengalami diversifikasi dan tidak lagi berada dalam tangan satu individu atau keluarga saja.

Dekomposisi Tenaga Kerja
Menurut Dahrendorf* yang terjadi tidak hanya dekomposisi modal saja, tetapi juga terjadi dekomposisi tenaga kerja. Kaum proletar tidak lagi sebagai suatu kelompok homogen tunggal. Pada tamat kala kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, di mana para buruh terampil berada dijenjang atas sedang buruh biasa berada di bawah. Kaum proletar bukan lagi sebagai massa yang tanpa perbedaan sebagaimana halnya yang terjadi pada kaum borjuis. Tukang kayu, tukang pipa, serta pengemudi truk memperoleh honor jauh lebih tinggi daripada pelayan, operator dan sebagainya.

Timbulnya Kelas Menengah Baru
Dekomposisi modal dan buruh tersebut menjurus kepada pembengkakan jumlah kelas menengah yang sebelumnya tidak pernah diduga oleh Marx*. Hal ini memperkuat kegagalan ramalan Marx perihal terjadinya suatu revolusi kelas. Marx mengakui eksistensi kelas menengah di kala kesembilan belas, tetapi ia merasa bahwa di ketika revolusi datang sebagian besar kelompok kecil ini akan bergabung bersama kaum proletar untuk melawan kaum borjuis. Marx* tidak meramalkan timbulnya serikat-serikat buruh yang diikuti oleh mobilitas sosial dari para pekerja itu.

Sebagaimana diamati oleh Dahrendorf*, "Sangat boleh jadi bahwa teori ini (Marx) mengandung unsur-unsur kebenaran, tetapi jikalau memang demikian halnya, maka meluasnya kesamaan sosial diabad yang kemudian telah mengakibatkan usaha kelas dan perubahan revolusioner mustahil terjadi". Dengan demikian mobilitas sosial inilah yang merintangi gejolak revolusi di dalam masyarakat kapitalis modern. Bilamana mobilitas yang demikian tiba-tiba berhenti, Dahrendorf* meramalkan keruntuhan struktur sosial melalui tindakan revolusioner.

Menurut Dahrendorf* alasan teoritis utama mengapa revolusi ala Marxis ini tidak terjadi ialah oleh alasannya ialah kontradiksi yang ada cenderung diatur melalui institusionalisasi. Pengaturan atau institusionalisasi terbukti dari timbulnya serikat-serikat buruh yang telah mempelancar mobilitas sosial serta mengatur konflik antar buruh dan manajemen. Melalui institusionalisasi kontradiksi tersebut, setiap masyarakat bisa mengatasi masalah-masalah gres yang timbul. Dahrendorf* menyatakan bahwa institusionalisasi kontradiksi kelas bermula dari akreditasi bahwa buruh dan administrasi merupakan kelompok-kelompok kepentingan yang sah: "organisasi mensyaratkan keabsahan kelompok-kelompok kepentingan, dengan demikian menghilangkan bahaya "perang gerilya" bersifat permanen dan tak sanggup diperhitungkan. Pada ketika yang sama, hal ini menciptakan pengaturan kontradiksi secara sistematis dimungkinkan. Organisasi ialah institusionalisasi".

Dalam mengamati perubahan historis semenjak zaman Marx* itu Dahrendorf merasa telah menandakan kesalahan beberapa aspek dari teori Marxis. Tetapi bagi Dahrendorf* penolakan saja tidaklah cukup: "penolakan teori-teori usang hanya bermanfaat bilamana hal tersebut menjadi titik tolak bagi perumusan teori-teori baru". Kemudian Dahrendorf melaksanakan sendiri perumusan suatu teori konflik yang menimbang perkembangan-perkembangan historis yang telah dibahas.

Ke arah Teori Konflik dalam Masyarakat Industri
Di dalam melancarkan kritik sosiologis terhadap teori Karl Marx*, Dahrendorf* mendukung dan menolak beberapa pernyataan Marx*. Oleh alasannya ialah perubahan sosial, sebagaimana yang dibahas sebelumnya, revolusi yang diramalkan oleh Marx itu ternyata tidak terjadi di negara-negara industri. Lebih daripada itu ialah terang bahwa kelas-kelas sosial tidak lagi berdasarkan atas pemilikan sarana-sarana produksi sebagaimana yang dinyatakan oleh Marx. Walau demikian Dahrendorf* mendapatkan wangsit kontradiksi kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. Kemudian ia memodifikasi teori kontradiksi kelas Marx* dengan memasukkan perkembangan-perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini.

Dahrendorf* menyatakan bahwa ada dasar gres bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi yang berdasarkan Marx* ialah dasar perbedaan kelas sosial. Menurut Dahrendorf hubungan-hubungan kekuasaan (authority) yang menyangkut bawahan dengan atasan menyediakan unsur-unsur bagi kelahiran kelas. Terdapat dikotomi antara mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. Dengan kata lain beberapa orang turut serta dalam struktur kekuasaan yang ada dalam kelompok, sedang yang lain tidak, beberapa orang mempunyai kekuasaan sedang yang lain tidak. Dahrendorf* mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang mempunyai sedikit kekuasaan dengan mereka yang mempunyai banyak kekuasaan. Di mana perbedaan dalam tingkat dominasi itu sanggup dan selalu sangat besar.

Tetapi berdasarkan Dahrendorf* intinya tetap terdapat dua sistem kelas sosial, yaitu mereka yang berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan dengan mereka yang tidak berpartisipasi dalam struktur kekuasaan melalui penundukan. Demikian, usaha kelas yang dibahas Dahrendorf* lebih berdasarkan kekuasaan daripada pemilikan sarana-sarana produksi. Dalam masyarakat industri modern pemilik sarana produksi tidak sepenting mereka yang melaksanakan pengendalian atas sarana itu.

Kelompok Semu dan Kelompok Kepentingan
Dahrendorf beropini bahwa di dalam setiap asosiasi yang ditandai oleh kontradiksi terdapat ketegangan di antara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan dan yang tunduk pada struktur itu. Sebagaimana dikatakan Dahrendorf*, "Secara empiris, kontradiksi kelompok mungkin paling gampang dianalisa jikalau dilihat sebagai kontradiksi mengenai legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan. Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai-nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasaan, sementara kepentingan-kepentingan kelompok bawah melahirkan bahaya bagi ideologi ini serta hubungan-hubungan sosial yang terkandung di dalamnya"

Kepentingan yang dimaksud Dahrendorf* mungkin bersifat manifest (disadari) atau laten (kepentingan potensial). Kepentingan laten ialah tingkah laris potensial (undercurrents behavior) yang telah ditentukan bagi seseorang alasannya ialah ia menduduki peranan tertentu, tapi masih belum disadari. Ini ialah perumusan psikologis yang sama sekali bukan merupakan sasaran kajian sosiologis, kecuali mereka menjadi tujuan-tujuan kemudian menjelma tujuan-tujuan yang disadari. Makara orang sanggup menjadi anggota suatu kelas yang tidak mempunyai kekuasaan, tetapi sebagai anggota kelompok mereka mungkin belum menyadari kekurangan dan kelemahan mereka. Hal ini tampak dalam beberapa kasus dari kelompok minoritas yang ditahun 1960-an kesadaranya telah mencapai puncak, antara lain termasuk kelompok-kelompok kulit hitam, wanita, Suku Indian dan Cicanos.

Demikian kepentingan-kepentingan yang semula tidak disadari (laten) tersebut tampil ke permukaan dalam bentuk tujuan-tujuan yang disadari (persamaan gaji, persamaan kesempatan kerja), berkembanglah organisasi-organisasi yang disebut Dahrendorf* sebagai kelompok-kelompok manifest. Misalnya, sebelum pertengahan tahun 1960-an aneka macam kepentingan laten kaum perempuan tersebut mulai muncul ke permukaan atau disadari, yang kemudian diikuti oleh perkembangan kelompok yang memperjuangkan kebebasan kaum wanita. Makara kontradiksi antara kaum pria yang menduduki kekuasaan dan kaum perempuan yang dikuasai diatur atau diredakan lewat organisasi struktural.

Kelompok Pertentangan, Pertentangan Kelompok dan Perubahan Sosial.
Menurut perumusan Dahrendorf* kontradiksi kelas harus dilihat sebagai "kelompok-kelompok kontradiksi yang berasal dari struktur kekuasaan asosiasi-asosiasi yang terkoordinir secara pasti". Kelompok-kelompok yang bertentangan itu, sekali mereka ditetapkan sebagai kelompok kepentingan, akan terlibat dalam kontradiksi yang pasti akan menimbulkan perubahan struktur sosial. Pertentangan antara buruh dan administrasi yang merupakan topik permasalahan utama bagi Karl Marx*, misalnya, akan terlembaga lewat serikat-serikat buruh. Pada gilirannya, serikat buruh tersebut akan terlibat dalam kontradiksi yang menjadikan perubahan dalam bidang aturan serta ekonomi dan perubahan-perubahan konkrit dalam sistem pelapisan masyarakat. Timbulnya kelas menengah gres bekerjsama merupakan suatu perubahan struktural yang berasal dari institusionalisasi kontradiksi kelas tersebut.

Dahrendorf* menegaskan bahwa teori konfliknya merupakan model pluralistis yang berbeda dengan model dua kelas yang sederhana dari Marx. Marx* memakai seluruh masyarakat sebagai unit analisa, dengan orang-orang yang mengendalikan sarana produksi lewat pemilikan sarana tersebut atau orang yang tidak ikut dalam pemilikan yang demikian. Manusia dibagi ke dalam kelompok yang punya dan yang tidak. Demikian, dalam menggantikan hubungan-hubungan kekayaan dengan korelasi kekuasaan sebagai inti dari teori kelas, Dahrendorf* menyatakan bahwa model dua kelas ini tidak sanggup diterapkan pada masyarakat secara keseluruhan tetapi hanya pada asosiasi-asosiasi tertentu yang ada dalam suatu masyarakat:

"Bilamana dalam suatu masyarakat tertentu terdapat lima puluh asosiasi, kita seharusnya berharap menemukan seratus kelas, atau kelompok-kelompok kontradiksi dalam pengertian studi ini. Terlepas dari hal itu, mungkin terdapat jumlah kelompok-kelompok kontradiksi yang tak terhitung dan pertentangan-pertentangan yang berasal dari antagonisme yang berbeda dengan kontradiksi yang berdasarkan atas struktur kekuasaan asosiasi"

Dahrendorf* mengakui bahwa penyebaran kelompok-kelompok yang ekstrim serta pertentangan-pertentangan tersebut jarang sekali terjadi dalam kenyataan. Biasanya dalam masyarakat historis tertentu kontradiksi yang berbeda saling tumpang tindih, jadi dalam kenyataannya medan kontradiksi itu berada di beberapa arena yang lebih banyak didominasi saja. Fenomena ini mengandung makna bahwa figur kekuasaan sebuah institusi (misal gereja) tidak perlu mengambil penggalan dalam kekuasaan institusi lain (misal negara). Bilamana pemisahan itu terjadi di dalam sebagian besar institusi, maka intensitas kontradiksi akan meningkat.

Dengan perkataan lain jikalau terdapat korelasi yang berpengaruh di mana anggota-anggota suatu kelompok berada distruktur bawah, kemudian juga merupakan anggota kelompok lain dengan kedudukan yang sama, maka setiap ledakan konflik akan menjadi semakin tajam. Dahrendorf* mengungkapkan hal itu dalam pernyataan yang menyerupai proporsisi sebagai berikut:

"Bilamana kelompok-kelompok kepentingan saling bertemu dalam beberapa asosiasi dan dalam beberapa pertikaian, maka semua energi yang mereka gunakan akan disatukan dan sebuah konflik kepentingan yang keras akan lahir". Dalam pola perihal kaum perempuan sebagai suatu kelompok semu yang telah menjelma kelompok manifest, sanggup kita lihat bahwa di sebagian besar kelompok kaum perempuan ialah penggalan dari lapisan yang diperintah. Menurut aturan seorang perempuan harus tunduk pada suaminya, kemudian dikantor-kantor ia tetap diabaikan dalam promosi jabatan, dan di dalam organisasi sukarela pun mereka sering tidak diikutkan dalam struktur kekuasaan oleh alasannya ialah jenis kelamin itu. Pengucilan yang berganda dari struktur kewenangan semacam itu sanggup diamati di dalam sejarah hubungan-hubungan kelompok minoritas, hubungan-hubungan perburuhan, dan hubungan-hubungan antar bangsa.

Dahrendorf* beropini bahwa kekayaan, status ekonomi, dan status sosial, walau bukan merupakan determinan kelas, benar-benar sanggup mempengaruhi intensitas pertentangan. Ia mengetengahkan proporsisi berikut ini: "semakin rendah korelasi antara kedudukan kekuasaan dan aspek-aspek status sosial ekonomi lainnya, semakin rendah intensitas kontradiksi kelas, dan sebaliknya". Dengan perkataan lain, kelompok-kelompok yang menikmati status ekonomi relatif tinggi mempunyai kemungkinan yang rendah untuk terlibat dalam konflik yang keras dengan struktur kekuasaan daripada mereka yang terbuang dari status sosial ekonomi dan kekuasaan.

Bagi Dahrendorf*, dalam masyarakat kontradiksi tersebut tidak sanggup dihilangkan. Pertentangan tersebut fungsional bagi perkembangan dan perubahan struktur sosial. Yang terpenting ialah bahwa kontradiksi itu diatur melalui institusionalisasi daripada usaha-usaha untuk menekannya.


Download di Sini


Sumber.
Poloma, Margaret M. 1979. Sosiologi Kontemporer. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.


Baca Juga
1. Ralf Dahrendorf. Biografi
2. Ralf Dahrendorf. Kelompok, Konflik, dan Perubahan 
3. Ralf Dahrendorf. Otoritas
4. Ralf Dahrendorf. Teori Konflik Sosial
5. Bentuk-Bentuk Konflik Sosial Menurut Para Sosiolog

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel