Strukturalisme Prancis. Subjektivitas

Anggapan modern mengenai subjektivitas berasal dari Descartes*, alasannya filusuf Prancis yang tersohor ini menunjukan cogito sebagai titik tolak bagi filsafat. Biasanya kata Latin itu diterjemahkan dengan "aku berpikir" dan dari sudut bahasa terjemahan itu memang betul, namun dalam teks-teks Descartes* sendiri tampak dengan terang bahwa maksudnya ialah "aku menyadari". Perlu diketahui, bahasa Latin (dan Prancis) pada waktu itu belum memiliki kata untuk menunjukan "menyadari" dan "kesadaran"; dan justru hal itulah menerangkan bahwa Descartes* menemukan sesuatu yang sungguh-sungguh baru. Bagi Descartes, kesadaran merupakan hakikat manusia. Manusia menyadari bahwa ia ialah manusia; dan apa saja yang diperbuat manusia, ia menyadari bahwa dialah yang memperbuatnya.
Dengan kesadarannya, insan secara pribadi hadir pada dirinya. Lain halnya dengan binatang. Seekor anjing tidak menyadari bahwa ia ialah anjing; dan ia tidak menyadari apa yang ia perbuat. Dengan demikian Descartes* menganggap kesadaran sebagai inti bergotong-royong manusia. Kesadaran menciptakan insan menjadi manusia; insan ialah subjek alasannya kesadarannya. Dengan inovasi Descartes* itu mulailah apa yang boleh disebut "filsafat refleksif", filsafat yang berpangkal pada kesadaran; suatu corak berfilsafat yang memuncak pada Kant* dan Hegel*.

Fenomenologi juga termasuk tradisi filsafat refleksif ini. Memang benar, fenomenologi telah melihat sebagai kesalahan Descartes* yang terbesar, bahwa ia segera mengerti cogito sebagai "cogito tertutup". Bagi Descartes* cogito terkurung dalam dirinya sendiri. Fenomenologi menolak imanentisme itu. Bagi para fenomenolog kesadaran tidak saja berarti kehadiran pada dirinya, tetapi serentak juga kehadiran pribadi pada dunia dan pada orang lain. Bahkan berdasarkan mereka kesadaran sebagai kehadiran pribadi pada dirinya hanya mungkin alasannya kehadiran pribadi pada dunia dan pada orang lain itu. Semuanya itu dikemukakan fenomenologi dalam ajarannya yang populer perihal intensionalitas kesadaran. Namun demikian, bagi merekapun kesadaran merupakan satu-satunya titik pangkal bagi filsafat; dan berdasarkan pandangan mereka filsafat malah tidak lain daripada eksplisitasi terhadap pengalaman orisinil (ursprungliche Erfahrung, kata Husserl*), artinya pengalaman kesadaran perihal dirinya sendiri secara murni. Pada mereka kesadaran tetap mempertahankan prioritasnya.

Salah satu pokok pedoman bersama yang terdapat pada semua penganut strukturalisme ialah bahwa mereka menolak prioritas kesadaran itu. Manusia tidak lagi merupakan titik sentra otonom yang tidak sanggup diasalkan dari sesuatu yang lain. Manusia takluk pada sistem. Subjektivitas merupakan buah hasil suatu proses strukturasi yang tidak dikuasai oleh manusia. Bagi Lacan* adanya ketidaksadaran membuktikan bahwa "manusia telah tergeser dari pusatnya". Levi-Strauss* mengkritik Sartre* alasannya ia mengganti cogito Descartes* dengan semacam "cogito sosiologis" dan dengan itu--katanya--ia hanya menukar penjara satu dengan penjara lain. Sudah kita dengar bahwa bahwa Levi-Strauss* menolak setiap macam cogito. Dengan karyanya yang besar perihal mitologi ia ingin menyampaikan bahwa mitos-mitos tidak merupakan ciptaan bebas dan otonom dari psike manusia, tetapi bahwa disini pun psike bekerja secara mutlak perlu dan terdeterminasi. Pada Barthes* sudah kita lihat tendensi untuk berbicara perihal insan dengan menggunakan "orang ketiga" dan menghindari "orang pertama". Foucault* menyampaikan bahwa pikiran perihal "manusia" sebagai suatu kategori khusus hanya mungkin alasannya suatu episteme tertentu dan ia menandaskan bahwa kini kematian insan sudah dekat. Dengan demikian, sudah jelaslah kiranya bahwa semua pendirian ini menunjuk kearah yang sama: penolakan terhadap subjektivitas sebagaimana dimengerti oleh seluruh filsafat Barat modern, termasuk fenomenologi.


Tidak kebetulan saja kalau para fenomenolog dulu menaruh perhatian khusus pada psikologi dan kebanyakan mereka juga menulis karangan-karangan yang menyangkut ilmu itu (Husserl*, Jaspers*, Sartre*, Merleau-Ponty*). Tidak kebetulan pula kalau para pengikut strukturalisme mengutamakan ilmu lain, yaitu linguistik, sebagaimana sudah diterangkan dalam bab pertama postingan sebelumnya. Subjektivitas seperti dibongkar dan bahasalah (dalam arti langue menyerupai dibedakan oleh Saussure*)--yang ditempatkan dalam pusat. Bahasa dianggap sebagai suatu sistem transindividual dan insan perseorangan harus takluk pada sistem itu. Foucault* niscaya berpikir akan bahasa, kalau dalam wawancara dengan sebuah majalah (La Quinzaine Litteraire, 1966, nomor 5) ia mengatakan: "Apa yang meresapi kita secara paling mendalam dan apa yang mendahului kita ialah sistem. Dengan sistem itu dimaksudkan keseluruhan relasi-relasi yang kait-mengait, saling mempertahankan dan saling mengubah, tidak tergantung dari isinya". Penemuan Levi-Strauss*, Lacan* dan Dumezil--ia terangkan lagi--telah meyakinkan ia bahwa anggapan tradisional perihal insan harus direvisi secara radikal. "Aku" sudah terpecah-pecah. Sistem menerima prioritas terhadap subjek yang berbicara. Bukan "aku" yang berbicara. Ada yang berbicara dalam "aku" (it speak in me): sistem.


Download di Sini


Sumber.

Bertens. K. "Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel