Teori-Teori Modernitas Dan Posmodernitas
Selama beberapa dasawarsa terakhir, para teoretisi sosial telah semakin disibukkan dengan duduk perkara apakah masyarakat (dan juga teori-teori tentangnya) telah mengalami suatu transformasi dramatis. Di satu sisi ada sekelompok teoretisi (contohnya, Jurgen Habermas*, Zygmunt Bauman*, dan Anthony Giddens*) yang percaya bahwa kita masih hidup di dalam suatu masyarakat yang sanggup dilukiskan dengan cara yang paling baik sebagai masyarakat modern dan yang sanggup kita teorikan dengan cara yang tidak jauh berbeda dari cara pemikir sosial yang telah usang merenungkan masyarakat. Di sisi lain, ada kelompok pemikir (contohnya, Jean Baudrillard*, Jean-Francois Lyotard*, dan Fredric Jameson*) yang beropini bahwa masyarakat telah berubah begitu dramatis sehingga kini kita hidup di dalam suatu masyarakat posmodern yang berbeda secara kualitatif. Selanjutnya, mereka berargumen bahwa masyarakat yang gres ini perlu dipikirkan dalam cara-cara yang gres dan berbeda.
Para Pembela Modernitas
Semua teoritisi sosiologi klasik (Marx*, Weber*, Durkheim*, dan Simmel*) memerhatikan, dengan satu dan lain cara, dunia modern dan keuntungan-keuntungan serta kerugian-kerugian (Sica, 2005). Tentu saja, yang terakhir di antara orang-orang tersebut (Weber*) meninggal pada 1920, semenjak itu dunia telah berubah secara dramatis. Meskipun para teoretisi kontemporer mengakui perubahan-perubahan dramatis itu, beberapa orang percaya bahwa ada banyak kontinuitas daripada diskontinuitas di antara dunia masa kini dan dunia yang ada di sekitar fin de siecle (tahun-tahun terakhir masa ke-19).
Mestrovic (1998:2) telah menyebut Anthony Giddens* “imam tinggi modernitas”. Giddens* (1990, 1991, 1992) memakai istilah menyerupai modernitas “radikal”, “tinggi”, atau “akhir” untuk melukiskan masyarakat masa kini dan untuk menunjukkan bahwa sementara ia bukan masyarakat yang sama menyerupai yang dilukiskan oleh para teoretisi klasik, ia masih berkesinambungan dengan masyarakat itu. Giddens* melihat modernitas masa kini sebagai suatu “juggernaut” (kereta pelindas) yakni, setidaknya pada derajat tertentu, berada di luar kendali. Ulrich Beck* (1992, 2005a; Jensen dan Blok, 2008; Ekberg, 2007; Then, 2007) beropini bahwa sementara panggung klasik modernitas terkait dengan masyarakat industri, modernitas gres yang sedang muncul paling baik dilukiskan sebagai suatu “masyarakat risiko”. Sementara dilema sentral di dalam modernitas klasik yaitu kekayaannya dan bagaimana sebaiknya penyalurannya, duduk perkara sentral di dalam modernitas gres yaitu pencegahan, minimalisasi, dan penyaluran risiko (dari, misalnya, tragedi nuklir). Jurgen Habermas* (1981, 1987b) melihat modernitas sebagai suatu “proyek yang belum selesai”. Yakni, informasi sentral di dalam dunia modern yang masih berlanjut, menyerupai di masa Weber*, yaitu rasionalitas. Tujuan utopisnya masih maksimalisasi rasionalitas baik “sistem” maupun “dunia-kehidupan”. Zygmunt Bauman* (2007b, 2006, 2005, 2003, 2000) telah menghasilkan serangkaian analisis yang intinya modern atas apa yang ia sebut dunia yang “cair”.
Para Pendukung Posmodernitas
Memang posmodernisme begitu panas dan didiskusikan tidak habis-habisnya di banyak bidang pada tamat masa ke-20, termasuk di dalamnya sosiologi, sehingga posmodernisme tampak sudah dalam proses terbakar habis (Lemert, 1994b). Kita perlu membedakan, setidaknya di awal, antara posmodernitas dan teori sosial posmodern (Best dan Kellner, 1991). Posmodernitas yaitu suatu epos historis yang diduga telah menggantikan era modern, atau modernitas. Teori sosial post-modern yaitu suatu cara berpikir ihwal posmodernitas; dunia itu begitu berbeda sehingga membutuhkan cara-cara berpikir yang seluruhnya baru. Kaum posmodernis akan cenderung menolak perspektif-perspektif teoretis yang diterangkan di dalam bab sebelumnya, dan juga cara-cara yang digunakan para pemikirnya dalam membuat teori-teori mereka.
Mungkin para teoretisi posmodern sama banyaknya dengan uraian mengenai posmodernitas. Untuk menyederhanakannya, saya akan merangkum beberapa unsur kunci pelukisan yang ditawarkan oleh salah seorang posmodernis terkemuka, Fredric Jameson* (1984, 1991). Pertama, posmodernitas yaitu dunia yang tidak memiliki kedalaman, yang dangkal; itu yaitu suatu dunia simulasi (contohnya, pesiar di hutan Disney Land ketimbang di hutan yang nyata). Kedua, posmodernitas yaitu suatu dunia yang kekurangan dalam hal rasa dan emosi. Ketiga, ada kehilangan perasaan akan daerah seseorang di dalam sejarah; sulit membedakan masa silam, masa kini, dan masa depan. Keempat, sebagai ganti dari teknologi-teknologi modernitas yang eksplosif, meluas, produktif (misalnya, lini perakitan mobil), masyarakat posmodern didominasi oleh teknologi-teknologi yang implosif, meratakan, reproduktif (misalnya televisi). Di dalam cara-cara tersebut dan cara-cara lainnya, masyarakat posmodern sangat berbeda dari masyarakat modern.
Dunia yang demikian berbeda memerlukan cara berpikir yang berbeda. Resenau (1992; Ritzer, 1997) mendefinisikan cara berpikir posmodern dari segi hal-hal yang dilawannya, terutama karakteristik-karakteristik cara berpikir modern.
Pertama, kaum posmodernis menolak jenis grand narratives (cerita-cerita besar) yang mencirikan sebagian besar teori sosiologi klasik. Sebagai gantinya, kaum posmodernis lebih menyukai penjelasan-penjelasan yang terbatas, atau sama sekali tidak ada penjelasan. Kedua, ada penolakan terhadap tendensi penetapan batas-batas antara aneka macam disiplin—menyibukkan diri di dalam sesuatu yang disebut teori sosiologis (atau sosial) berbeda dari, katakanlah, anutan filosofis atau bahkan penuturan kisah novelistik. Ketiga, kaum posmodernis kerap lebih tertarik untuk mengguncang atau mengejutkan pembaca daripada menggeluti wacana akademik yang cermat dan bernalar. Akhirnya, daripada mencari inti masyarakat (misalnya rasionalitas atau eksploitasi kapitalistik), kaum posmodernis lebih condong untuk berfokus pada aspek-aspek pinggiran masyarakat.
Meskipun teori posmodern telah mencapai puncaknya dan kini sedang mengalami kemunduran, ia masih berdampak berpengaruh pada teori. Di satu sisi, sumbangan-sumbangan gres kepada teori masih tampak (contohnya, Powell dan Owen, 2008). Di sisi lain, sangat sulit berteori pada masa kini tanpa memperhitungkan teori posmodern. Khususnya kritik-kritiknya terhadap teorisasi modern dan analisisnya atas dunia kontemporer.
Download di Sini
Sumber.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Baca Juga
1. Jurgen Habermas. Diskursus Filosofis ihwal Modernitas [Postmodernitas]
2. Ulrich Beck. Politik Globalisasi dan Kosmopolitanisme
3. Postmodern Moderat Fedrich Jameson
4. Lyotard dan Postmodernisme
5. Jean Baudrillard. Teori Sosial Postmodern Ekstrim
6. Anthony Giddens. Juggernaut Modernitas
7. Zygmunt Bauman. Konsekuensi Globalisasi pada Manusia
Para Pembela Modernitas
Semua teoritisi sosiologi klasik (Marx*, Weber*, Durkheim*, dan Simmel*) memerhatikan, dengan satu dan lain cara, dunia modern dan keuntungan-keuntungan serta kerugian-kerugian (Sica, 2005). Tentu saja, yang terakhir di antara orang-orang tersebut (Weber*) meninggal pada 1920, semenjak itu dunia telah berubah secara dramatis. Meskipun para teoretisi kontemporer mengakui perubahan-perubahan dramatis itu, beberapa orang percaya bahwa ada banyak kontinuitas daripada diskontinuitas di antara dunia masa kini dan dunia yang ada di sekitar fin de siecle (tahun-tahun terakhir masa ke-19).
Mestrovic (1998:2) telah menyebut Anthony Giddens* “imam tinggi modernitas”. Giddens* (1990, 1991, 1992) memakai istilah menyerupai modernitas “radikal”, “tinggi”, atau “akhir” untuk melukiskan masyarakat masa kini dan untuk menunjukkan bahwa sementara ia bukan masyarakat yang sama menyerupai yang dilukiskan oleh para teoretisi klasik, ia masih berkesinambungan dengan masyarakat itu. Giddens* melihat modernitas masa kini sebagai suatu “juggernaut” (kereta pelindas) yakni, setidaknya pada derajat tertentu, berada di luar kendali. Ulrich Beck* (1992, 2005a; Jensen dan Blok, 2008; Ekberg, 2007; Then, 2007) beropini bahwa sementara panggung klasik modernitas terkait dengan masyarakat industri, modernitas gres yang sedang muncul paling baik dilukiskan sebagai suatu “masyarakat risiko”. Sementara dilema sentral di dalam modernitas klasik yaitu kekayaannya dan bagaimana sebaiknya penyalurannya, duduk perkara sentral di dalam modernitas gres yaitu pencegahan, minimalisasi, dan penyaluran risiko (dari, misalnya, tragedi nuklir). Jurgen Habermas* (1981, 1987b) melihat modernitas sebagai suatu “proyek yang belum selesai”. Yakni, informasi sentral di dalam dunia modern yang masih berlanjut, menyerupai di masa Weber*, yaitu rasionalitas. Tujuan utopisnya masih maksimalisasi rasionalitas baik “sistem” maupun “dunia-kehidupan”. Zygmunt Bauman* (2007b, 2006, 2005, 2003, 2000) telah menghasilkan serangkaian analisis yang intinya modern atas apa yang ia sebut dunia yang “cair”.
Para Pendukung Posmodernitas
Memang posmodernisme begitu panas dan didiskusikan tidak habis-habisnya di banyak bidang pada tamat masa ke-20, termasuk di dalamnya sosiologi, sehingga posmodernisme tampak sudah dalam proses terbakar habis (Lemert, 1994b). Kita perlu membedakan, setidaknya di awal, antara posmodernitas dan teori sosial posmodern (Best dan Kellner, 1991). Posmodernitas yaitu suatu epos historis yang diduga telah menggantikan era modern, atau modernitas. Teori sosial post-modern yaitu suatu cara berpikir ihwal posmodernitas; dunia itu begitu berbeda sehingga membutuhkan cara-cara berpikir yang seluruhnya baru. Kaum posmodernis akan cenderung menolak perspektif-perspektif teoretis yang diterangkan di dalam bab sebelumnya, dan juga cara-cara yang digunakan para pemikirnya dalam membuat teori-teori mereka.
Mungkin para teoretisi posmodern sama banyaknya dengan uraian mengenai posmodernitas. Untuk menyederhanakannya, saya akan merangkum beberapa unsur kunci pelukisan yang ditawarkan oleh salah seorang posmodernis terkemuka, Fredric Jameson* (1984, 1991). Pertama, posmodernitas yaitu dunia yang tidak memiliki kedalaman, yang dangkal; itu yaitu suatu dunia simulasi (contohnya, pesiar di hutan Disney Land ketimbang di hutan yang nyata). Kedua, posmodernitas yaitu suatu dunia yang kekurangan dalam hal rasa dan emosi. Ketiga, ada kehilangan perasaan akan daerah seseorang di dalam sejarah; sulit membedakan masa silam, masa kini, dan masa depan. Keempat, sebagai ganti dari teknologi-teknologi modernitas yang eksplosif, meluas, produktif (misalnya, lini perakitan mobil), masyarakat posmodern didominasi oleh teknologi-teknologi yang implosif, meratakan, reproduktif (misalnya televisi). Di dalam cara-cara tersebut dan cara-cara lainnya, masyarakat posmodern sangat berbeda dari masyarakat modern.
Dunia yang demikian berbeda memerlukan cara berpikir yang berbeda. Resenau (1992; Ritzer, 1997) mendefinisikan cara berpikir posmodern dari segi hal-hal yang dilawannya, terutama karakteristik-karakteristik cara berpikir modern.
Meskipun teori posmodern telah mencapai puncaknya dan kini sedang mengalami kemunduran, ia masih berdampak berpengaruh pada teori. Di satu sisi, sumbangan-sumbangan gres kepada teori masih tampak (contohnya, Powell dan Owen, 2008). Di sisi lain, sangat sulit berteori pada masa kini tanpa memperhitungkan teori posmodern. Khususnya kritik-kritiknya terhadap teorisasi modern dan analisisnya atas dunia kontemporer.
Download di Sini
Sumber.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Baca Juga
1. Jurgen Habermas. Diskursus Filosofis ihwal Modernitas [Postmodernitas]
2. Ulrich Beck. Politik Globalisasi dan Kosmopolitanisme
3. Postmodern Moderat Fedrich Jameson
4. Lyotard dan Postmodernisme
5. Jean Baudrillard. Teori Sosial Postmodern Ekstrim
6. Anthony Giddens. Juggernaut Modernitas
7. Zygmunt Bauman. Konsekuensi Globalisasi pada Manusia