Teori-Teori Sikap Menyimpang
Ada beberapa teori yang dirumuskan oleh para sosiolog untuk menjelaskan mengenai sikap menyimpang. Khususnya penyebab dari penyimpangan. Teori-teori tersebut, yakni:
1. Teori Anomie
Dikemukakan oleh Robert K. Merton* (1965). Hipotesis Merton*, yakni bahwa sikap menyimpang merupakan pencerminan tidak adanya kaitan antara aspirasi yang ditetapkan kebudayaan dan cara yang dibenarkan oleh struktur sosial untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Merton*, struktur sosial menghasilkan tekanan ke arah anomi (strain toward anomie) dan sikap menyimpang. Singkatnya, individu melaksanakan sikap menyimpang lantaran desakan keterpaksaan.
Lebih lanjut, Merton* mengidentifikasi 5 (lima) tipe cara pembiasaan individu terhadap situasi anomi. Empat di antaranya merupakan sikap menyimpang.
a. Konformitas (conformity)
Pada cara pembiasaan ini, sikap seseorang mengikuti cara dan tujuan yang telah ditetapkan oleh masyarakat.
b. Inovasi (innovation)
Dalam inovasi, sikap seseorang tetap mengikuti tujuan yang ditentukan masyarakat. Tetapi, cara yang dipakai bertentangan dengan nilai/norma.
c. Ritualisme (ritualism)
Dalam hal ini, sikap seseorang telah meninggalkan tujuan budaya, tetapi tetap berpegang pada cara yang ditentukan oleh masyarakat. Adakalanya ritualisme berwujud sikap berpegang teguh pada kaidah tertentu, tapi dengan mengorbankan nilai dan norma lain.
d. Retreatisme (retreatism)
Bentuk pembiasaan ini sanggup ditemui pada orang-orang yang ada di dalam masyarakat tapi tidak menjadi penggalan dari masyarakat. Perilakunya sama sekali tidak mengindahkan tujuan dan cara yang dikehendaki masyarakat.
e. Pemberontakan (rebellion)
Pada bentuk pembiasaan terakhir ini, seseorang tidak lagi mengakui struktur sosial yang ada sehingga berketetapan untuk meninggalkannya atau berupaya membuat struktur sosial baru.
2. Teori Differential Association
Dirumuskan oleh Edwin H. Sutherland* (1981). Menurut pandangan Sutherland*, penyimpangan bersumber pada differential association (pergaulan yang berbeda). Penyimpangan dipelajari melalui proses alih budaya (cultural transmission). Melalui proses belajar, seseorang mempelajari suatu sub kebudayaan menyimpang (deviant subculture). Teori ini mempunyai sejumlah proposisi (Narwoko, 2006:113-114), yaitu:
a. Perilaku menyimpang yakni hasil dari proses berguru atau sesuatu yang dipelajari
b. Perilaku menyimpang dipelajari oleh seseorang dalam interaksinya dengan orang lain dan melibatkan proses komunikasi yang intens
c. Bagian utama dari pembelajaran sikap menyimpang terjadi di dalam kelompok-kelompok personal yang intim dan akrab. Sedangkan media massa, menyerupai TV, internet, majalah, atau koran, hanya memainkan peranan sekunder dalam mempelajari penyimpangan.
d. Hal-hal yang dipelajari di dalam proses terbentuknya periaku menyimpang yakni cara-cara melaksanakan penyimpangan (yang bisa jadi sangat rumit atau cukup sederhana) dan petunjuk khusus ihwal motif, dorongan, alasan pembenaran, dan sikap-sikap berperilaku menyimpang.
e. Petunjuk-petunjuk khusus ihwal motif dan dorongan untuk berperilaku menyimpang itu dipelajari dari definisi-definisi ihwal norma-norma yang baik atau tidak baik
f. Seseorang menjadi menyimpang lantaran ia menganggap lebih menguntungkan untuk melanggar norma daripada tidak.
g. Terbentuknya kelompok pergaulan yang berperilaku menyimpang itu bervariasi, tergantung dari frekuensi, durasi, dan intensitas interaksi, serta prioritas.
h. Tidak ada proses berguru yang unik untuk memperoleh cara-cara berperilaku menyimpang. Perilaku menyimpang dipelajari dalam prosedur berguru yang umum.
i. Meskipun sikap menyimpang merupakan salah satu mulut dari kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat umum, tetapi penyimpangan sikap tersebut tidak sanggup dijelaskan melalui kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut. Karena sikap yang tidak menyimpang juga sebagai mulut dari nilai-nilai dan kebutuhan yang sama. Dengan perkataan lain, kebutuhan yang sama bisa diekspresikan secara menyimpang ataupun tidak.
Contohnya, kebutuhan untuk diakui, sanggup diekspresikan melalui tindak kenakalan menyerupai menjadi anggota geng (menyimpang) atau dengan cara berprestasi di sekolah (tidak menyimpang).
3. Teori Kontrol
Salah satu hebat yang membuatkan teori ini yakni Hirschi* (1969). Ide utama dari teori kontrol ialah bahwa sikap menyimpang merupakan hasil dari kekosongan atau tidak adanya pengendalian sosial (social control). Teori kontrol dibangun atas dasar pandangan bahwa setiap insan cenderung untuk tidak patuh pada norma dan mempunyai dorongan melaksanakan pelanggaran.
Oleh alasannya yakni itu, pengendalian sosial mutlak diharapkan sepanjang waktu.
Pengendalian sosial sanggup bersifat eksternal, dan dilakukan oleh lembaga-lembaga tertentu. Namun, yang lebih bermakna sebenarnya yakni pengendalian internal, meliputi kasih sayang (attachment), tanggung jawab (commitment), keterlibatan atau partisipasi (involvement), keterlibatan atau partisipasi (involvement), dan kepercayaan/keyakinan (beliefs). Keempat unsur tersebut diyakini menjadi ikatan sosial (social bond) yang bisa mengendalikan sikap individu serta mencegah sikap menyimpang.
4. Teori Labeling
Dipelopori oleh Edwin M. Lemert* (1951). Menurut Lemert*, seseorang menjadi penyimpang lantaran proses labeling (pemberian julukan, cap, etiket) negatif yang dilekatkan masyarakat kepadanya.
Contohnya, seorang individu mula-mula tidak pernah berpikir untuk mencuri. Namun, setiap kali ada sesuatu yang hilang di daerah kerjanya, semua orang selalu menuduhnya sebagai pelaku. Lambat laun, ia akan berpikir, tidak mencuri apapun ia dituduh pencuri, maka lebih baik ia mencuri saja alasannya yakni toh ia telah terlanjur dicap sebagai pencuri.
Download di Sini
Sumber.
Damanik, Fritz. 2010. SeribuPena: Sosiologi untuk SMA/MA Kelas XI. Erlangga. Jakarta
Baca Juga
1. Robert K. Merton. Anomie Theory (Teori Anomi)
2. Edwin H. Sutherland. Differential Association Thoery (Teori Belajar Sosial)
3. Travis Hirschi. Social Bond Theory (Teori Kontrol Sosial)
4. Edwin M. Lemert. Labelling Theory (Teori Label)
1. Teori Anomie
Dikemukakan oleh Robert K. Merton* (1965). Hipotesis Merton*, yakni bahwa sikap menyimpang merupakan pencerminan tidak adanya kaitan antara aspirasi yang ditetapkan kebudayaan dan cara yang dibenarkan oleh struktur sosial untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Merton*, struktur sosial menghasilkan tekanan ke arah anomi (strain toward anomie) dan sikap menyimpang. Singkatnya, individu melaksanakan sikap menyimpang lantaran desakan keterpaksaan.
Lebih lanjut, Merton* mengidentifikasi 5 (lima) tipe cara pembiasaan individu terhadap situasi anomi. Empat di antaranya merupakan sikap menyimpang.
a. Konformitas (conformity)
Pada cara pembiasaan ini, sikap seseorang mengikuti cara dan tujuan yang telah ditetapkan oleh masyarakat.
b. Inovasi (innovation)
Dalam inovasi, sikap seseorang tetap mengikuti tujuan yang ditentukan masyarakat. Tetapi, cara yang dipakai bertentangan dengan nilai/norma.
c. Ritualisme (ritualism)
Dalam hal ini, sikap seseorang telah meninggalkan tujuan budaya, tetapi tetap berpegang pada cara yang ditentukan oleh masyarakat. Adakalanya ritualisme berwujud sikap berpegang teguh pada kaidah tertentu, tapi dengan mengorbankan nilai dan norma lain.
d. Retreatisme (retreatism)
Bentuk pembiasaan ini sanggup ditemui pada orang-orang yang ada di dalam masyarakat tapi tidak menjadi penggalan dari masyarakat. Perilakunya sama sekali tidak mengindahkan tujuan dan cara yang dikehendaki masyarakat.
e. Pemberontakan (rebellion)
Pada bentuk pembiasaan terakhir ini, seseorang tidak lagi mengakui struktur sosial yang ada sehingga berketetapan untuk meninggalkannya atau berupaya membuat struktur sosial baru.
2. Teori Differential Association
Dirumuskan oleh Edwin H. Sutherland* (1981). Menurut pandangan Sutherland*, penyimpangan bersumber pada differential association (pergaulan yang berbeda). Penyimpangan dipelajari melalui proses alih budaya (cultural transmission). Melalui proses belajar, seseorang mempelajari suatu sub kebudayaan menyimpang (deviant subculture). Teori ini mempunyai sejumlah proposisi (Narwoko, 2006:113-114), yaitu:
a. Perilaku menyimpang yakni hasil dari proses berguru atau sesuatu yang dipelajari
b. Perilaku menyimpang dipelajari oleh seseorang dalam interaksinya dengan orang lain dan melibatkan proses komunikasi yang intens
c. Bagian utama dari pembelajaran sikap menyimpang terjadi di dalam kelompok-kelompok personal yang intim dan akrab. Sedangkan media massa, menyerupai TV, internet, majalah, atau koran, hanya memainkan peranan sekunder dalam mempelajari penyimpangan.
d. Hal-hal yang dipelajari di dalam proses terbentuknya periaku menyimpang yakni cara-cara melaksanakan penyimpangan (yang bisa jadi sangat rumit atau cukup sederhana) dan petunjuk khusus ihwal motif, dorongan, alasan pembenaran, dan sikap-sikap berperilaku menyimpang.
e. Petunjuk-petunjuk khusus ihwal motif dan dorongan untuk berperilaku menyimpang itu dipelajari dari definisi-definisi ihwal norma-norma yang baik atau tidak baik
f. Seseorang menjadi menyimpang lantaran ia menganggap lebih menguntungkan untuk melanggar norma daripada tidak.
g. Terbentuknya kelompok pergaulan yang berperilaku menyimpang itu bervariasi, tergantung dari frekuensi, durasi, dan intensitas interaksi, serta prioritas.
h. Tidak ada proses berguru yang unik untuk memperoleh cara-cara berperilaku menyimpang. Perilaku menyimpang dipelajari dalam prosedur berguru yang umum.
i. Meskipun sikap menyimpang merupakan salah satu mulut dari kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat umum, tetapi penyimpangan sikap tersebut tidak sanggup dijelaskan melalui kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut. Karena sikap yang tidak menyimpang juga sebagai mulut dari nilai-nilai dan kebutuhan yang sama. Dengan perkataan lain, kebutuhan yang sama bisa diekspresikan secara menyimpang ataupun tidak.
Contohnya, kebutuhan untuk diakui, sanggup diekspresikan melalui tindak kenakalan menyerupai menjadi anggota geng (menyimpang) atau dengan cara berprestasi di sekolah (tidak menyimpang).
3. Teori Kontrol
Salah satu hebat yang membuatkan teori ini yakni Hirschi* (1969). Ide utama dari teori kontrol ialah bahwa sikap menyimpang merupakan hasil dari kekosongan atau tidak adanya pengendalian sosial (social control). Teori kontrol dibangun atas dasar pandangan bahwa setiap insan cenderung untuk tidak patuh pada norma dan mempunyai dorongan melaksanakan pelanggaran.
Pengendalian sosial sanggup bersifat eksternal, dan dilakukan oleh lembaga-lembaga tertentu. Namun, yang lebih bermakna sebenarnya yakni pengendalian internal, meliputi kasih sayang (attachment), tanggung jawab (commitment), keterlibatan atau partisipasi (involvement), keterlibatan atau partisipasi (involvement), dan kepercayaan/keyakinan (beliefs). Keempat unsur tersebut diyakini menjadi ikatan sosial (social bond) yang bisa mengendalikan sikap individu serta mencegah sikap menyimpang.
4. Teori Labeling
Dipelopori oleh Edwin M. Lemert* (1951). Menurut Lemert*, seseorang menjadi penyimpang lantaran proses labeling (pemberian julukan, cap, etiket) negatif yang dilekatkan masyarakat kepadanya.
Contohnya, seorang individu mula-mula tidak pernah berpikir untuk mencuri. Namun, setiap kali ada sesuatu yang hilang di daerah kerjanya, semua orang selalu menuduhnya sebagai pelaku. Lambat laun, ia akan berpikir, tidak mencuri apapun ia dituduh pencuri, maka lebih baik ia mencuri saja alasannya yakni toh ia telah terlanjur dicap sebagai pencuri.
Download di Sini
Sumber.
Damanik, Fritz. 2010. SeribuPena: Sosiologi untuk SMA/MA Kelas XI. Erlangga. Jakarta
Baca Juga
1. Robert K. Merton. Anomie Theory (Teori Anomi)
2. Edwin H. Sutherland. Differential Association Thoery (Teori Belajar Sosial)
3. Travis Hirschi. Social Bond Theory (Teori Kontrol Sosial)
4. Edwin M. Lemert. Labelling Theory (Teori Label)