Pemilihan Umum

Pemilihan Umum yakni acara politik untuk menentukan atau menentukan orang-orang yang duduk di DPR maupun eksekutif. Pemilihan umum juga masih diyakini sebagai cara terbaik untuk menentukan pejabat publik. Selain itu, penyelenggaraan pemilihan umum sanggup dinyatakan sebagai bab yang tidak terpisahkan dan sebagai barometer dari kehidupan demokrasi, terutama di negara-negara Barat (Lipset, 1960; Schumpeter, 1942). Sesuai dengan perkembangan demokrasi, pemilihan umum kini telah meluas, tidak sekedar milik Eropa dan Amerika Utara. Pada tahun 1975, hanya 33 negara di dunia yang tidak menyelenggarakan pemilihan umum untuk menentukan para pemimpinnya.
Namun, bagi kebanyakan negara, pertanyaan lebih penting adalah, pemilihan umum macam apa yang seharusnya dilaksanakan? (Kavanagh, 2000: 284).

Adapun fungsi-fungsi adanya pemilihan umum berdasarkan Rose dan Mossawir (1967), antara lain
a. Menentukan pemerintahan secara eksklusif maupun tak langsung

b. Sebagai wahana umpan balik antara pemilik bunyi dan pemerintah
c. Barometer santunan rakyat terhadap penguasa
d. Sarana rekrutmen politik
e. Alat untuk mempertajam kepekaan pemerintah terhadap tuntutan rakyat

Sedangkan dilihat dari unsur-unsur yang diharapkan dalam pemilihan umum, yakni
a. Objek pemilu, yaitu warga negara yang menentukan pemimpinnya
b. Sistem kepartaian atau teladan santunan yang menjadi mediator antara pemilik bunyi dan elite atau para pejabat publik
c. Sistem pemilihan (electoral system) yang menerjemahkan suara-suara menjadi bangku jabatan di parlemen ataupun pemerintahan (Lipset dan Rokkan, 1967)

Dilihat dari bentuknya, terdapat beberapa macam sistem pemilihan umum. Ada bentuk pemilihan sistem distrik yang didasarkan atas satu kesatuan geografis. Di luar itu pun berdasarkan Kavanagh (2000: 284), terdiri dari banyak variasi.

Pertama, sistem lebih banyak didominasi absolut, contohnya Prancis, di mana pemenang harus memperoleh sekurang-kurangnya separuh dari total suara. Kedua, sistem pluralis, dipraktikkan di sebagian besar negara berbahasa Inggris, dengan banyak sekali tingkatan proporsionalitas, mulai dari representasi proporsi murni, contohnya Belanda, di mana 0,67% dari total bunyi sanggup memberi sebuah bangku di parlemen bagi sebuah kelompok, sampai ke sistem yang memadukan banyak sekali mekanisme, menyerupai Jerman, separuh bangku di parlemen diberikan kepada pihak yang memperoleh bunyi terbanyak, sedangkan sisanya dibagi-bagi untuk setiap pihak yang memperoleh 5% suara.

Download


Sumber
Supardan, Dadang. 2008. Pengantar Ilmu Sosial; Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Bumi Aksara. Jakarta

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel