Joseph Butler. Cinta Diri Tenang

Orang sering menyamakan perilaku sopan santun yang tercela dengan egoisme. Egoisme di sini dimengerti sebagai perilaku yang selalu menomorsatukan kepentingan sendiri. Lawan egoisme ialah altruisme, perilaku yang mendahulukan kepentingan orang lain. Sering moralitas disamakan dengan altruisme, sedangkan egoisme dianggap sumber segala dosa; begitu pula Hutcheson beropini bahwa hakikat sopan santun sendiri dalam benevolence, dalam perilaku baik terhadap sesama.

Dalam hal ini pun Butler membetulkan suatu paham yang berat sebelah. Butler melaksanakan hal ini dengan menunjukkan dua hal. Pertama, apa yang umumnya dianggap egois, ibarat contohnya orang yang mengikuti hawa nafsu dan emosinya, jangan disebut egoisme, dan kedua, jikalau egoisme dimengerti dengan tepat, egoisme merupakan perilaku yang nyata dan menunjang pembangunan kepribadian yang matang.

Mari kita melihat butir pertama. Kalau orang menjadi pemabuk dan penjudi lama-kelamaan menghancurkan kehidupannya sendiri dan kehidupan keluarganya, jikalau ia sering murka terhadap istri, jikalau ia tidak sanggup menguasai nafsu seks dan akhirnya ketularan HIV, jikalau ia iri hati, emosi, sentimen, mata gelap, dan apa lagi, apakah itu egoisme? Bukankah sikap-sikap dan kelakuan-kelakuan itu malah bertentangan dengan kepentingan si pelaku sendiri? Bukankah ia sendiri yang rugi?

Sikap dan kelakuan cacat itu bukan alasannya ialah orang itu terlalu memikirkan kepentingannya, melainkan alasannya ialah ia tidak berpikir; alasannya ialah ia lebih membiarkan diri dibawa oleh nafsu daripada dengan damai berpikir apa yang paling baik dan sempurna baginya. Kedosaan sikap-sikap itu tidak terletak dalam perhatian kepada dirinya sendiri, melainkan bahwa orang itu tidak menggunakan nalar dan perhatian, bahwa ia membiarkan dikuasai oleh dorongan-dorongan irasional—mirip dengan hewan yang memang selalu mengikuti dorongan batin terkuat. Hakikat dosa bukan bahwa orang mempertimbangkan kepentingannya sendiri, melainkan bahwa ia melepaskan kekuasaan atas dirinya sendiri, bahwa ia tidak menggunakan refleksi, bahwa ia mau menjadi budak perasaan-perasaannya. Kemudian, ia sering bukan hanya merugikan orang lain, melainkan juga dirinya sendiri.

Sebaliknya, orang yang selalu mengadakan refleksi, yang bisa mempertimbangkan sarana untuk melaksanakan suatu perbuatan dan akibatnya, baik terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri, ialah orang yang matang kepribadiannya, pintar balig cukup akal secara mental dan emosional. Kemampuan untuk mengendalikan reaksi, sikap, dan perbuatan-perbuatan dengan mempertimbangkan kepentingan sendiri ialah tanda kepribadian sopan santun yang kuat.

Karena itu, Butler mengoreksi anggapan terkenal wacana dosa, seperti hakikatnya ialah perhatian terhadap dirinya sendiri. Dosa-dosa terbesar bukan alasannya ialah orang mengejar apa yang menjadi kepentingannya yang sebenarnya, melainkan alasannya ialah ia membiarkan diri dibawa oleh perasaan dan hawa nafsu.

Oleh alasannya ialah itu, Butler, mengikuti Shaftesbury, menunjukkan nilai nyata terhadap cinta diri. Ia bicara wacana cool self-love, “cinta-diri yang tenang”. Cinta diri merupakan padanan refleksi atau bunyi hati tadi. Cinta diri yang damai ialah bab dari bunyi hati yang menilai baik buruknya sebuah tindakan. Daripada dengan rakus mengejar apa yang pada dikala itu merangsang dan tampak paling enak, cinta diri yang damai mempertimbangkan apa yang sesungguhnya sesuai dengan kepentingan diri, dilihat dari kodratnya.

Karena itu, dalam membangun kepribadian sopan santun yang dewasa, jangan hanya ditekankan kebaikan terhadap orang lain. Kepribadian yang seimbang bisa membenarkan dan menyayangi dirinya sendiri. Karena ia bersikap nyata terhadap dirinya sendiri, ia gampang bersikap nyata terhadap orang lain alasannya ialah kodrat insan memang sosial. Aku tidak sanggup menyebarkan diriku jikalau tidak sekaligus mendukung perkembangan orang lain. Aku juga tidak sanggup bersikap nyata terhadap orang lain apabila tidak mantap dengan diriku sendiri.

Dengan demikian, Butler juga sanggup menunjukkan klarifikasi yang lebih meyakinkan wacana suatu duduk kasus yang menjadi pokok Shaftesbury dan Hutcheson berbeda pendapat, yaitu wacana hubungan antara benevolence, kebaikan hati terhadap orang lain, dan moralitas. Kita ingat bahwa bagi Shaftesbury perilaku sopan santun yang baik ialah keseimbangan antara cinta diri dan perilaku baik terhadap orang lain. Adapun Hutcheson hampir mengidentikkan perilaku sopan santun dengan perilaku baik terhadap orang lain dan tidak menunjukkan daerah nyata kepada cinta diri.


Dengan menekankan refleksi dan bunyi hati, daerah cinta diri yang damai memainkan peranan penting, Butler menunjukkan bahwa identifikasi antara moralitas dan kebaikan hati tidak sanggup dipertahankan. Sikap sopan santun menuntut lebih daripada benevolence. Cinta damai kepada diri sendiri merupakan bab penting di dalamnya. Namun, Butler juga mengatasi Shaftesbury. Ia menegaskan bahwa perilaku sopan santun pada hakikatnya bukan suatu perasaan sama sekali, melainkan perilaku sopan santun mau mempertimbangkan apakah suatu tindakan sesuai atau tidak dengan kodrat manusia. Tindakan itu sanggup mewujudkan perilaku baik terhadap orang lain, juga perjuangan untuk melaksanakan apa yang sesuai dengan cinta diri yang tenang. Cinta diri yang damai tidak bertentangan dengan benevolence. Sikap baik terhadap orang lain sesuai dengan kodrat sosial kita. Karena itu, orang yang menyayangi diri juga terbuka bagi orang lain. Cinta diri yang damai itu terbuka terhadap kebutuhan orang lain, jadi tidak egoistik dalam arti sempit. Yang ditolak Butler ialah identifikasi moralitas dengan perilaku baik terhadap orang lain.

Butler juga menolak dengan tegas anggapan Hutcheson bahwa prinsip utama sopan santun ialah “kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbesar”. Butler di sini mengemukakan sebuah argumen yang kemudian akan banyak dipergunakan melawan utilitarisme: atas nama kebahagiaan orang banyak, aneka macam perbuatan tidak adil sanggup dibenarkan.

Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta


Download

Baca Juga

Baca Juga

1. Joseph Butler. Refleksi dan Emosi
2. Joseph Butler. Kodrat Manusia

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel