Alvin W. Gouldner. Dialektika Ideologi Dan Teknologi

Hubungan erat antara masyarakat dan sosiologi serta kesamaan asumsi-asumsi yang mendasarinya dikembangkan lebih lanjut dalam karya Gouldner yang paling akhir. Sementara The Coming Crisis* terfokus pada sosiologi dan menyingkap kelemahannya, The Dialectic* mencoba mengungkapkan masalah-masalah ideologi yang dihadapi oleh orang-orang modern. Sebagaimana Gouldner harus membahas struktur sosial untuk menyingkap kelemahan sosiologi akademis, beliau juga melancarkan beberapa sindiran terhadap aneka macam duduk kasus dalam sosiologi ketika mencoba menyingkap kelemahan ideologi kapitalisme dan sosialisme.

Menurut Gouldner, dalam sosiologi, ideologi telah menerima daerah dan kritik yang semestinya akan tetapi jarang sekali sebagai subjek analisa dan studi yang sistematis. Ilmu-ilmu sosial konvensional melihat ideologi gagal lantaran tiga hal: yaitu berat-sebelah, ahistoris dan tidak refleksif.

Berat sebelah dalam arti gagal melihat secara tepat kedua sisi yang ada di mata uang ideologis itu, tidak melihat tuntutan-tuntutan ideal serta realitas yang mengelilinginya. Pandangan ilmu-ilmu sosial bersifat ahistoris alasannya ialah tidak memberi perhatian yang semestinya terhadap kompleksitas asal-usul historis ideologi. Tidak refleksif dalam arti “melihat tetapi tidak pernah benar-benar memahami cara ideologi itu terbentuk disebabkan situasi strukturalnya sendiri”.

Gouldner mengulang pernyataan-pernyataan penting yang terdapat dalam karya awalnya mengenai kekerabatan antara ideologi dan ilmu sosial. Sesuai dengan konsepsinya semula sosiologi tidak jauh bergerak dari ideologi. Walaupun sosiologi biasanya mencoba mempelajari ideologi sebagai sesuatu yang “berada di sana”, tetapi ilmu ini harus refleksif, dalam arti ideologi juga “berada di sini”—di dalam disiplin ini.

Oleh alasannya ialah itu Gouldner merasa perlu untuk memahami dan memeriksa ideologi dengan maksud untuk lebih memahami sosiologi sanggup menempatkannya lebih bersahabat dalam rasionalitasnya sendiri. Karyanya mencoba untuk melebihi ideologi dan ilmu sosial sebagaimana yang bisa dipahami, yang merupakan “bagian dari usaha untuk menempatkan suatu dasar pengembangan bentuk ketiga pembahasan yang mengikis habis kebanggaan-kebanggaan, kesadaran palsu dan batas-batas dari ilmu sosial dan ideologi itu”.

Gouldner beropini bahwa ideologi modern ihwal hak dan kekuasaan individu tiba dari dan berakar dalam konsepsi Protestanisme. Walaupun kemudian Protestanisme kehilangan dasarnya, akan tetapi konsepsi ihwal hak dan kekuasaan telah tertanam jauh dalam fatwa sekuler. Dalam retorika rasionalitasnya, “konsep ini membenarkan serangkaian tindakan yang diambil, dengan logika serta pembuktian yang diketengahkan berdasarkan atas pandangan dunia sosial, ketimbang dengan memohon pada kepercayaan, tradisi, wahyu atau kekuasaan dari si pengkhotbah” (Gouldner 1976:30). Sekularisasi ideologi modern bekerjsama telah memperkuat konsepsi kaum Calvinis ihwal hak dan kekuasaan individu. Gouldner lebih jauh menjelaskan konsepsi “kehidupan di bumi ini sanggup disempurnakan oleh pengetahuan dan usaha manusia” (Gouldner 1976:30). Dalam dunia sekuler tidak ada makhluk tertinggi yang membatasi kekuasaan manusia. Semua orang berkuasa, lantaran sadar tidak ada yang membatasi potensinya. Kekuasaan secara ideologis cocok tak hanya bagi para pemimpin atau penguasa saja tetapi juga bagi sebagian besar penduduk. Lagi pula ideologi modern bukan merupakan suatu utopia—dalam arti tidak mendapatkan anggapan bahwa masyarakat mempunyai kemampuan untuk sempurna. Walaupun ideologi itu memperbesar potensi massa, Gouldner beropini ideologi ialah kontra tragis alasannya ialah mencoba untuk mencapai dunia yang lebih baik, bukan dunia yang sempurna, dengan mengetengahkan “hanya” apa yang merupakan perbaikan fundamental (Gouldner 1976:75).

Dengan demikian berdasarkan Gouldner ideologi ialah suatu sistem wangsit sekuler yang dianggap sebagai pembenar. Di zaman penalaran, ideologi memperoleh kekuatan dengan jalan mengurangi efek keagamaan. Ideologi tak hanya suatu sistem kepercayaan yang dianggap sanggup dipertahankan secara rasional, beliau juga disatukan dengan praktek. Perkembangannya menjadi mungkin melalui melek karakter massa dan media-massa. Dengan memakai simbol-simbol serta teknologi komunikasi massa yang modern ideologi itu sanggup disebarluaskan pada khalayak ramai.

Akan tetapi bagaimanapun juga ideologi modern telah gagal. Walaupun keyakinannya terhadap kemajuan potensial insan secara romantis sangat mengesankan, tetapi di saat-saat pikiran sehat berkembang beliau menghadapi masa-masa sulit. Gouldner mengakui bahwa ideologi modern telah gagal mewujudkan janji-janjinya. Gouldner meminta pertimbangan refleksif yang melampaui tipikal pendekatan sepihak terhadap ideologi—suatu pendekatan di mana para pendukungnya berdiam diri terhadap kritik dan kelemahan-kelemahannya serta menutup diri terhadap kemungkinan sifat-sifat baik. Refleksivitas diri akan membawa kita lebih bersahabat pada pengkajian diri secara kritis sehingga nilai-nilai ideal ideologi serta pelaksanaan riel akan mewujudkan keselarasan yang hampir sempurna. Sebagaimana yang terjadi kini keinginan ideologis terpencil dari kebudayaan di mana ia hidup.

Kelihatannya perubahan-perubahan telah terjadi di negara-negara kapitalis di mana kesadaran teknokratis gagal sebagai ideologi. Goulner (1976:248) menganggap bahwa dalam suatu masyarakat “yang telah mengalami kenaikan GNP, mempunyai kelas politik eksekutif, serta berwenang dalam birokrasi yang diilmiahkan, telah terbiasa menuntut kepatuhan tanpa adanya keyakinan ideologis”. Mereka yang berwenang dalam masyarakat cenderung mendapatkan pembuktian otomatis atas kebutuhan lantaran kepatuhan terhadap sistem tanpa menciptakan himbauan-himbauan ideologis yang menggairahkan massa.

Menurut Gouldner ideologi merupakan komponen penting bagi masyarakat modern. Walau telah gagal tetapi ideologi modern mencoba bertindak sebagai pengganti agama yang transenden dan menyediakan legitimasi bagi dunia teknologis. Tetapi ideologi yang menekankan potensi insan bagi kemajuan, terlihat telah kehilangan beberapa kekuatannya dan ideologi yang gres masih dalam proses tumbuh. Menurut Gouldner (1976:245-246) teknologi (termasuk konsumerisme, produktivitas dan ilmu) yang menekankan kenikmatan hidup bukanlah ideologi. Sebaliknya teknologi akan “menekan” masalah-masalah ideologis dan merintangi kreativitas serta penyesuaian ideologi”.

Pertanyaan mengenai perlu tidaknya legitimasi bagi masyarakat modern sanggup ditemukan dalam karya-karya sosiologi klasik, khususnya karya Durkheim dan Weber yang mengakui kemerosotan potensi agama sebagai kekuatan pemberi legitimasi. Pencaharian ideologi yang memberi legitimasi gres versi Gouldner itu menyuarakan kembali karya-karya klasik. Menurut Gouldner (1976:245) gerakan kesadaran lingkungan sanggup berfungsi “sebagai ideologi yang tepat di saat-saat kekacauan, kekurangan material, statis atau turunnya ukuran kehidupan penghematan energi serta bahan-bahan mentah”. Sehubungan dengan duduk kasus lingkungan tersebut, ideologi lain, termasuk agama-agama baru, agama semu, dan gerakan-gerakan kebatinan yang juga berkembang, menekankan perlunya “dematerialisasi” kehidupan sehari-hari.


Ideologi gagal tidak hanya dalam masyarakat kapitalis Barat, tetapi juga dalam masyarakat sosialis. Seperti halnya teknologi yang lebih melayani kelompok tertentu ketimbang sebagai suatu kekuatan moral yang menyatukan masyarakat, ideologi sosialispun telah melayani sejumlah kecil kelompok-kelompok kepentingan dengan mengorbankan kelompok secara keseluruhan. Dalam masyarakat sosialis dan kapitalis ada ketegangan antara pembahasan-pembahasan ideologis yang menolak legitimasi kepentingan para akseptor dan realitas atas keikutsertaan mereka. Pengakuan terhadap pertentangan inheren antara cuilan dengan keseluruhan, individu dengan masyarakat, kepentingan langsung dengan kepentingan umum penting bagi suatu ideologi yang lebih rasional dan masuk akal.

Tugas sosiologi dan teori sosial ialah mengkritik dirinya serta ideologi yang ada. Dia harus berdasar atas “nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan yang sanggup dibenarkan dan bersedia mengambil tanggung jawab untuk itu, terus-menerus berusaha untuk memperdalam pemahaman refleksifnya terhadap komitmennya sendiri” (Gouldner 1976:293).

Goludner menyadari bahwa reflexive sociology* akan tetap merupakan suatu perjuangan, tetapi beliau menyebut hal itu sebagai usaha untuk menyadari kedudukannya di dunia sehingga masyarakat yang harus dimengerti itu sanggup lebih dipahami.


Download di Sini


Sumber.
Poloma, Margaret M. 1979. Sosiologi Kontemporer. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.


Baca Juga
1. Alvin W. Gouldner. The Coming Crisis
2. Alvin W. Gouldner. Sosiologi Reflksif

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel