Plato. Sifat Khusus

Suatu tradisi kuno menceritakan bahwa setelah berkenalan dengan Sokrates*, cowok Plato memperabukan karya-karya peristiwa yang ditulisnya, dengan maksud berbalik dari kesusastraan dan mencurahkan seluruh tenaganya kepada filsafat. Kebenaran kisah ini harus disangsikan, tetapi tidak sanggup dibantah bahwa pertemuan dengan Sokrates* merupakan peristiwa penentu dalam kehidupan Plato. Buat Plato, Sokrates ialah “orang yang paling baik, paling bijaksana, dan paling jujur” (kata-kata terakhir dalam obrolan Phaidon), dan “manusia yang paling adil dari seluruh zamannya” (Surat VII). Di dalam karya-karyanya pun Sokrates di beri kawasan sentral. Kita sudah melihat bahwa, kecuali dalam Nomoi, di mana pelaku utama ialah “orang ajaib dari Athena”, Sokrates* memiliki peranan dalam semua obrolan Plato dan hampir selalu, kecuali dalam dialog-dialog yang dikarang Plato dalam masa tuanya, Sokrates* memainkan peranan dominan. Di samping Plato, baik dalam sejarah kesusastraan maupun dalam sejarah filsafat tidak ada pola lain ihwal seorang pemikir dan seniman yang mengabadikan segenap hidupnya untuk menggambarkan satu tokoh dan meneruskan keaktifannya.
Kita memiliki kesan bahwa Plato dalam karyanya tidak ada maksud lain daripada membangun suatu monumen untuk mengenangkan serta menghormati gurunya. Hermann Diels menyampaikan bahwa Plato seolah-olah bersumpah membuat nama Sokrates* menjadi “immortal” dan sepanjang seluruh hidupnya ia setia pada “sumpah” itu.

Tetapi dari semua peristiwa sekitar Sokrates* tidak ada peristiwa yang begitu mengesankan bagi Plato ibarat eksekusi dan janjkematian Sokrates*. Kita tahu bahwa setelah jatuhnya pemerintahan “30 Tyrannoi” Plato menaruh cita-cita baru, ketika di Athena demokrasi dipulihkan kembali. Tetapi ternyata kekecewaan Plato lebih besar lagi, lantaran justru rezim demokrasi inilah yang menghukum dan membunuh gurunya yang tercinta. Kita boleh menganggap seluruh filsafat Plato sebagai refleksi atas peristiwa yang menyedihkan itu. Dalam hal ini perlu ditambah lagi, peristiwa ini terutama dipertimbangkan dalam hubungannya dengan negara. Bagi Plato sudah faktual bahwa susunan negara Athena niscaya tidak beres, dikarenakan telah menyebabkan peristiwa yang begitu jelek. Karena alasan itu Plato yang sudah semenjak masa mudanya hidup dalam lingkungan yang bekerjasama dekat dengan politik Athena, memusatkan perhatiannya sebagai filsuf terutama pada negara. Bagaimanakah seharusnya susunan suatu negara yang ideal? Itulah pertanyaan yang dijawab dalam obrolan Politheia, yang oleh banyak mahir sejarah filsafat dianggap sebagai karya sentral dari seluruh pemikiran Plato. Lalu obrolan panjang yang berjudul Nomoi—karya terakhir yang ditulis Plato dan gres diedarkan setelah meninggalnya—membicarakan juga soal negara. Keyakinan Plato bahwa filsuf harus dijadikan penguasa negara, boleh dipandang juga sebagai buah hasil refleksi Plato atas janjkematian Sokrates*. Keyakinan ini mengilhami Plato untuk mendirikan Akademia dan menjalankan usaha-usahanya dalam bidang politik di Sisilia. Dipandang begitu, refleksi atas janjkematian Sokrates* menjuruskan seluruh pemikiran dan keaktifan Plato hingga masa tuanya.

Filsafat sebagai Dialog
Semua karya yang ditulis Plato merupakan dialog-dialog, kecuali Surat-surat dan Apologia. Tetapi ihwal karangan terakhir ini harus dicatat bahwa bentuknya tidak berbeda besar dengan dialog. Dalam karya ini Sokrates membela diri di hadapan hakim-hakimnya dan semua warga negara Athena. Ia berbuat begitu dengan mengajukan banyak pertanyaan dan mengemukakan keberatan-keberatan yang dijawabnya sendiri. Sekalipun hanya Sokrates* yang berbicara di sini (jadi monolog), namun suasana obrolan tetap ada. Plato ialah filsuf pertama dalam sejarah filsafat yang menentukan obrolan sebagai bentuk sastra untuk mengekspresikan pikiran-pikirannya. Sesudahnya bentuk ini sering kali akan ditiru lagi, baik dalam masa kuno maupun dalam masa modern, tetapi tidak ada filsuf lain yang sanggup membuat kesatuan begitu tepat antara obrolan sebagai bentuk sastra dan pemikiran yang diucapkan dengannya.

Pertanyaan muncul, apa lantaran Plato menggemari obrolan sebagai bentuk sastra dan bukan risalah atau uraian sistematis lain yang lazim dipergunakan dalam dunia ilmiah. Tidak simpel memperlihatkan tanggapan yang tepat atas pertanyaan ini. Selain seorang filsuf yang original sekali, Plato ialah juga seorang sastrawan yang nilainya unggul dalam kesusastraan dunia dan selalu sukar untuk menentukan mengapa seniman menentukan bentuk ini dan bukan bentuk yang lain. Tetapi sekurang-kurangnya ada dua alasan yang kiranya sanggup menjelaskan sedikit pertanyaan tadi.

Alasan pertama memiliki korelasi dekat dengan sifat “sokratik” filsafat Plato, yang sudah diuraikan di atas. Plato menentukan obrolan sebagai bentuk sastra, justru lantaran Sokrates* memainkan peranan sentral dalam pemikirannya. Sokrates tidak mengajar, tetapi mengadakan tanya jawab dengan kawan-kawan se kota di Athena. Plato meneruskan keaktifan Sokrates* dengan mengarang dialog-dialog, ibarat gurunya pun tidak tahu lelah dalam mengadakan percakapan-percakapan. Dengan demikian kenyataan bahwa karya-karya Plato merupakan suatu monumen bagi gurunya yang dikaguminya, tampak juga dalam bentuk yang dipilih untuk mengarang karya-karya itu. Tidak ada bentuk sastra yang lebih cocok untuk menghormati Sokrates*, daripada dialog.

Alasan kedua bertalian dengan anggapan Plato sendiri mengenai filsafat. Plato menentukan obrolan sebagai bentuk sastra, lantaran ia yakin bahwa filsafat berdasarkan pada dasarnya tidak lain daripada suatu dialog. Di sini kita mesti ingat bahwa kata “philo-sophia” berasal dari kalangan Plato (dan Sokrates). Berfilsafat berarti mencari kecerdikan atau kebenaran, dan sanggup dimengerti bahwa “mencari kebenaran” itu sebaiknya dilakukan bahu-membahu dalam suatu dialog, di mana orang A sanggup mengoreksi orang B dan sebaliknya. Filsafat seolah-olah merupakan suatu drama yang hidup, yang tidak pernah selesai tetapi selalu harus dimulai kembali. Karena anggapan ihwal filsafat ini, Plato sesungguhnya merasa enggan untuk menuliskan pikiran-pikirannya, sebagaimana diterangkan dalam Surat VII. Pena dan tinta membekukan pemikiran yang sejati dan kalau kita meminta keterangan kepada suatu naskah, maka huruf-hurufnya tetap diam saja. Jika seorang filsuf toh mengambil keputusan untuk menuliskan pikiran-pikirannya, rupanya obrolan ialah bentuk sastra yang paling cocok untuk menyimpan sifat hidup pemikiran filosofisnya.

Karena Plato mengarang filsafatnya berupa dialog, tidak mengherankan pula bahwa uraian pemikirannya kurang bersifat sistematis. Kita tidak bisa menyampaikan dengan niscaya apakah Plato sendiri memiliki suatu “sistem”, ya atau tidak. Tentang itu sanggup dibuka suatu diskusi berkepanjangan. Tetapi tidak sanggup dipersoalkan bahwa sistem semacam itu sekali-kali tidak disampaikan oleh karya-karya karangan Plato. Baik dalam Surat VII maupun dalam Surat II, Plato menjelaskan bahwa hingga dikala itu belum pernah ia memperlihatkan suatu uraian sistematis (syngramma) dan uraian sedemikian itu tidak akan diberikan pula. Dalam suatu obrolan yang sejati pokok-pokok pembicaraan tidak dibahas menyeluruh, tetapi orang beralih dari satu pokok ke pokok lain, sejauh dirasai berkhasiat dan pada tempatnya. Ini juga yang terjadi dalam dialog-dialog Plato. Disajikan rupa-rupa pokok yang menyangkut seluruh ilmu pengetahuan pada waktu itu, tetapi tidak ada satu pokok percakapan yang dipercakapkan secara sistematis. Sudah faktual bahwa keadaan ini menyebabkan banyak kesulitan bagi sejarah filsafat. Jika Plato sendiri tidak menguraikan pemikirannya dengan cara sistematis, bagaimanakah sanggup diperlukan kita menyajikan suatu uraian yang lebih kurang sistematis ihwal filsafatnya? Di manakah mesti kita mulai untuk menyelidiki pemikiran Plato dan berdasarkan prinsip apakah mesti kita lanjutkan penyelidikan itu? Apalagi, kalau kita teringat akan sifat “sokratik” filsafat Plato, kesulitan-kesulitan bertambah lagi. Bagaimanakah sanggup ditentukan bahwa Plato berbicara atas nama sendiri dan tidak hanya menyalurkan pendapat-pendapat Sokrates* saja? Untuk menghindari semua kesulitan ini, A. E Taylor dalam bukunya Plato. The man and his work mempercakapkan semua obrolan Plato, satu demi satu. Harus diakui bahwa ini memang metode yang paling baik untuk membahas filsafat Plato. Tetapi dalam suatu uraian yang memiliki batas-batas sempit, tentu mustahil mempergunakan metode tersebut. Oleh lantaran itu, terpaksa kami membatasi diri pada beberapa pokok fatwa Plato saja, tetapi kiranya pokok-pokok fatwa ini termasuk yang paling menonjol.

Peranan mitos dalam dialog-dialog Plato
Salah satu ciri khas dari karangan-karangan Plato ialah bahwa di sini kita sering kali menemui mitos-mitos. Itu sama sekali tidak berarti bahwa Plato berbalik dari logos dengan memulihkan kembali mythos. Tidak sanggup dibantah bahwa pada Plato pun terdapat tendensi yang tampak dalam seluruh filsafat Yunani, yaitu mengutamakan rasio sambal menolak mitologi kuno. Malah boleh dikatakan bahwa tendensi ini lebih berpengaruh pada Plato daripada para pendahulunya. Namun demikian, Plato beropini bahwa mitos tidak bertentangan mutlak dengan rasio. Ada juga mitos yang memiliki unsur-unsur kebenaran dan lantaran itu sanggup dipergunakan dalam uraian filosofis. Acapkali terjadi bahwa rasio menemui perbatasan yang tidak sanggup dilampaui. Justru, di sinilah mitos memberanikan diri untuk masuk wilayah-wilayah yang tidak dikenal. Khususnya mitos digunakan untuk mengemukakan dugaan-dugaan mengenai hal-hal adiduniawi dan nasib jiwa. Plato mempergunakan seluruh bakatnya sebagai sastrawan dalam membuat mitos yang memikat hati lantaran gaya puitisnya.

Ajaran lisan
Sayang sekali kita hanya memiliki sedikit informasi mengenai cara mengajar Plato dalam Akademia. Beberapa data disampaikan oleh Aristoteles*, tetapi kita dihentikan lupa bahwa Arsitoteles* gres masuk Akademia pada tahun 367, ketika Plato sudah berusia 60 tahun, sehingga kesaksiannya barangkali tidak berlaku untuk 20 tahun pertama berdirinya Akademia. Dari kesaksian Arsitoteles* boleh disimpulkan bahwa Plato tidak mempergunakan suatu naskah untuk pelajaran-pelajarannya dalam Akademia. Agaknya ia tidak memberi kuliah-kuliah sistematis, tetapi menyelenggarakan diskusi-diskusi yang sebagian dipimpin oleh Plato sendiri, sebagian oleh murid-muridnya yang diangkat menjadi “asisten”. Metode mengajar ini lebih cocok dengan anggapan Plato mengenai filsafat sebagai dialog. Karangan-karangan yang kita namakan “dialog Plato”, agaknya tidak digunakan sebagai materi pengajaran dalam Akademia. Karangan-karangan ini dimaksudkan untuk publik lebih luas biar dengan cara yang menarik hati, mereka diperkenalkan dengan filsafat.

Bagi Aristoteles* membicarakan filsafat Plato, biasanya ia menunjuk pada dialog-dialog. Tetapi beberapa kali ia juga mempergunakan sumber-sumber lain.

Satu kali Aristoteles* menyebut suatu ceramah Plato (atau barangkali serangkaian ceramah) ihwal “yang baik” dan rupanya ceramah itu sangat menarik perhatian para murid-muridnya, lantaran juga Xenokrates dan penulis-penulis lain lagi menyebut ceramah ini dalam karangan-karangan mereka. Lebih penting lagi ialah kesaksian Arsitoteles* bahwa Plato memiliki agrapha dogamata (pendirian-pendirian yang tidak tertulis). Pada Aristoteles* dan murid-murid Plato yang lain kita juga mendengar sedikit mengenai isi pendirian-pendirian ini, tetapi sulit sekali untuk menafsirkan data-data ini. Yang niscaya ialah Plato dalam “pendiriannya yang tidak tertulis” menganggap ide-ide sebagai bilangan-bilangan. Itu tentu berarti bahwa ia menyamakan ide-ide dengan bilangan-bilangan yang memiliki peranan begitu besar dalam pemikiran Pythagorean*. Tetapi dihentikan disimpulkan bahwa Plato menganut fatwa Pythagorean begitu saja, lantaran kita memiliki data-data tertentu yang menyatakan bahwa dalam beberapa hal ia menyimpang dari pendapat mereka ihwal bilangan-bilangan. Seluk beluknya tidak penting bagi kita di sini. Dalam uraian lebih lanjut kita akan membatasi diri pada ajarannya yang terdapat dalam dialog-dialog, lantaran “pendirian-pendirian yang tidak tertulis” itu masih diperdebatkan dalam kalangan para ahli. Karena informasi terlalu kurang, harus disangsikan apakah diskusi itu pada satu hari kelak sanggup diselesaikan.

Download di Sini


Sumber

Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Kanisius. Yogyakarta

Baca Juga
1. Plato. Biografi
2. Plato. Karya-Karya  
3. Plato. Politeia
4. Plato. Ajaran ihwal Jiwa
5. Plato. Ajaran ihwal Ide-Ide
6. Plato. Nomoi
7. Plato. Politikos

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel