Belajar Berdemokrasi Dan Hidup Dalam Pluralisme

Yang gres bagi masyarakat Indonesia dari polemik modernisme/posmodernisme bukanlah pluralisme/pluralitas, alasannya yaitu semenjak usang kita hidup dalam masyarakat majemuk, melainkan cara bertindak menghadapi pluralitas/pluralisme tersebut. Tentu kita sanggup setuju, bahwa tradisi dan paradigma yang berlainan dalam agama, etnis, golongan, kelompok, dan seterusnya yaitu sesuatu yang heterogen dan tidak sanggup direduksi pada homogenitas tertentu entah atas nama norma agama atau bangsa sekalipun. Dewasa ini orang semakin sensitif terhadap tendensi-tendensi totaliter dalam universalisme palsu yang dipaksakan secara sepihak. Meski demikian, kita juga perlu waspada terhadap “strategi ke-lain-an” yang dilancarkan oleh posmodernisme alasannya yaitu justru akan melegitimasi sikap-sikap antidialog yang sudah ada dalam masyarakat kita sendiri, bahkan sanggup melegitimasi suatu getthoisasi, egoisme narsistik, dan anarkisme. Tekanan eksesif posmodernisme terhadap “kebenaran-kebenaran lokal” juga sanggup memadamkan gairah untuk keluar dari kepicikan-kepicikan sektarian dan primordialistis serta sanggup menghentikan refleksivitas tradisi.

Dari polemik tersebut, kita sanggup banyak berguru menjawab sebuah tantangan yang serius dalam masyarakat kita, yaitu bagaimana berdemokrasi dan hidup dalam pluralisme. Demokrasi itu justru menjadi mungkin saat setiap pihak berusaha keras untuk mendapatkan dan memahami pluralisme pendapat tanpa terpeleset ke dalam relativisme, yaitu suatu anggapan bahwa tak ada kebenaran dan yang ada yaitu kebenaran-kebenaran. Alegori yang barangkali sanggup menjelaskan tuntutan perilaku demokratis, yang sanggup kita pelajari dari polemik tersebut, yaitu “model” Habermas* dan Derrida*. Demokrasi mengandaikan mungkinnya suatu “pemahaman timbal-balik” dan “konsensus yang tidak dipaksakan”, sekurang-kurangnya mengenai norma-norma yang sanggup diuniversalkan bersama, sebagaimana disarankan Habermas dalam Teori Tindakan Komunikatifnya. Meski demikian, kita juga berguru dari dekonstruksi Derrida suatu kenyataan bahwa suatu “pemahaman timbal-balik” kerap merupakan “kesalahan timbal-balik” atau suatu “kekerasan tersembunyi” (pseudokomunikasi atau trace yang diabsolutkan) yang harus dibongkar. “Kebenaran” palsu dalam arti itulah yang mau direlatifkan lewat dekonstruksi. Hal itu juga diandaikan jikalau mau ber-demokrasi.

Mungkin klaim ihwal zaman posmodern tiba terlalu pagi ke pikiran kita di Indonesia, tetapi “muatan etis” yang dibawa polemik tersebut sungguh-sungguh merupakan tantangan nyata yang harus dipelajari, dihadapi, dan dipecahkan.


Download di Sini


Sumber
Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel