Franz Rosenzweig

Peranan Rosenzweig dalam kalangan Yahudi pernah dibandingkan orang dengan peranan Pascal* dan Kierkegaard* dalam dunia Kristen. Seperti halnya pada kedua pemikir Katolik itu, dalam karya-karya Rosenzweig juga terdapat hubungan bersahabat antara agama dan filsafat. Dan menyerupai mereka, Rosenzweig pula berfilsafat dengan melibatkan seluruh kepribadiannya. Caranya eksistensial, jikalau boleh dikatakan demikian. Dan memang ia pernah diberi nama the father of Jewish existensialism, biarpun ia sendiri tidak pernah memakai istilah “eksistensi”.

Filsafat Rosenzweig terdapat dalam buku Bintang penebusan, ditambah beberapa karangan kecil dan surat-surat. Buku setebal 600 halaman ini tidak jarang bagi para filsuf terlalu berbau teologis, sedangkan beberapa teolog menganggapnya terlalu filosofis. Pengarang sendiri dengan tegas menekankan sifat filosofis bukunya. Biarpun suasananya sama sekali ditandai oleh agama Yahudi, dalam buku ini ia mau berbicara sebagai filsuf.

Bukunya terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama berbicara wacana tiga fenomena mendasar dari pengalaman kita, yaitu Allah, dunia, dan manusia. Tiga fenomena ini tidak sanggup diasalkan yang satu dari yang lain. Bagian pertama ini diberi semboyan In philosophos: melawan para filsuf. Maksudnya dengan ‘filsuf’ ialah para filsuf idealis yang memasukkan semua unsur pengalaman (Allah, dunia, dan manusia) ke dalam satu sistem yang mencakup segala-galanya. Rosenzweig menentang setiap macam monisme (ajaran yang mengasalkan realitas kepada satu prinsip saja, menyerupai bahan dan roh) dan ia beropini bahwa monisme ini memuncak dalam idealisme Hegel*. Ia menekankan bahwa realitas mendahului pemikiran dan alasannya yaitu itu mustahil tergantung dari pemikiran, sebagaimana dikatakan dalam idealisme. Seluruh bab pertama ini mau menjelaskan kekhususan ketiga fenomena tersebut.

Bagian kedua berbicara wacana penciptaan, pewahyuan (relevation) serta penebusan dan menjelaskan bagaimana melalui penciptaan, pewahyuan dan penebusan diadakan hubungan satu sama lain antara Allah, dunia, dan manusia. Bagian kedua ini diberi semboyan In theologos: melawan para teolog. Maksud dengan “teolog” ialah beberapa mahir teologi yang mengabaikan tema istimewa teologi itu sendiri, yaitu penciptaan, pewahyuan, dan penebusan. Dalam penciptaan, Allah menentukan dan memanggil dunia dan manusia. Dalam pewahyuan—yaitu bila Allah menyatakan nama Nya—keadaan tertutup insan dibongkar dan hubungan Aku-Engkau diadakan. Jika insan menjawab, ia sanggup meneruskan dialog. Jika ia tidak mau menjawab, ia menghambat berlangsungnya dialog. Dalam penebusan yang berasal dari “perintah” (Gebot) yang disampaikan dalam pewahyuan, terlaksanalah keterarahan pada dunia dan orang lain. Hal itu memungkinkan suatu keadaan baru: cita kasih yang mengarahkan diri pertama-tama kepada Kerajaan Allah, kemudian kepada sesama sebagai wakil Kerajaan.

Bagian ketiga menyoroti hasil hubungan-hubungan yang dibahas dalam bab kedua. Bagian ini diberi semboyan In tyrannos: “melawan para tiran”. Maksudnya dengan “tiran-tiran” ialah kuasa-kuasa yang mempertahankan status quo atau realitas yang tertutup pada dirinya. Dalam bab ini pula dengan panjang lebar dibicarakan wacana hubungan antara agama Yahudi dengan agama Kristen.

Dengan demikian sudah diperkenalkan tema-tema utama yang berperanan dalam buku besar ini. Rosenzweig sendiri menamakan filsafatnya sebagai das neue Denken, “pemikiran yang baru”. Mari kita memandang secara singkat saja ciri-ciri utama yang menandai pemikiran ini. Empat ciri sanggup dibedakan. Ciri pertama yaitu tekanan pada pengalaman. Tetapi jikalau begitu pengalaman dimengerti dalam arti lain daripada dalam emprisisme atau positivisme. Bagi beliau pengalaman tidak sama dengan pengalaman inderawi atau fakta-fakta saja. Bagi Rosenzweig pengalaman itu sama dengan perjumpaan: perjumpaan dengan Allah, dunia, dan sesama. Dengan mementingkan pengalaman ia hendak mengkritik setiap filsafat yang mempelajari hakikat benda-benda. Bukan hakikat, melainkan realitas harus menjadi objek filsafat. Hal itu tentu tidak berarti bahwa pengalaman diterima secara naif, tanpa kritik atau kontrol. Tetapi kritik atas pengalaman berdasarkan beliau hanya mungkin atas dasar suatu pengalaman yang lebih mendalam dan murni, bukan dengan meninggalkan pengalaman.


Ciri kedua yang tampak dalam “pemikiran baru” ini ialah perhatiannya untuk relasi. Allah yaitu relasi; artinya Ia bukan Allah-bagi-Dirinya, melainkan Allah-bagi-yang-lain. Dan bukan saja Allah yaitu relasi, tetapi ia juga mengadakan hubungan antara insan dan dunia dan insan satu sama lain, melalui penciptaan (yang berlangsung di masa lampau), pewahyuan (yang berlangsung di masa kini), dan penebusan (yang berlangsung di masa mendatang). Dalam konteks ini perlu diperhatikan bahwa Rosenzweig sudah berbicara wacana hubungan Aku-Engkau, sebelum tema ini muncul pada Buber dan menjadi masyhur melalui sahabat Rosenzweig ini.

Ciri ketiga ialah pentingnya bahasa atau, lebih sempurna lagi, dialog. Pemikiran yang tidak berbicara tetap tinggal monologis saja. Dan berbicara selalu berarti “berbicara dengan”. Berbicara selalu berarti menjawab dan mempertanggungjawabkan. Dan juga menulis bagi Rosenzweig berati “menulis kepada seseorang”. Filsafat bagi beliau yaitu “filsafat yang bercerita”. Oleh para komentator, filsafat Rosenzweig tidak jarang disebut “filsafat dialogis”.

Ciri terakhir ialah ciri dinamis yang menandai pemikiran Rosenzweig, yaitu keterarahan pada masa mendatang. Ciri ini terang berasal dari suasana agama Yahudi, yang secara konsekuen terarah pada eksatologi (pemenuhan di masa depan). Suatu ciri yang tampak juga pada filsuf-filsuf masa ke-20 yang mengindahkan harapan, khususnya Ernst Bloch—seorang Yahudi pula—dan Gabriel Marcel*.


Baca Juga

Baca Juga

Franz Rosenzweig. Biografi

Download di Sini


Sumber.
Bertens, Kees. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta. Gramedia.

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel