Sokrates. Etika

Semua sumber yang menawarkan warta wacana fatwa Sokrates, setuju dalam menyampaikan bahwa Sokrates memperhatikan soal-soal mudah dalam hidup manusia. Dengan lain perkataan, Sokrates mencurahkan perhatiannya pada cabang filsafat yang disebut “etika”. Tetapi sumber-sumber tersebut tidak setuju lagi dalam melukiskan isi fatwa adat ini. Dapat dipersoalkan apakah pemikiran Sokrates wacana masalah-masalah etis memang merupakan suatu fatwa yang bercorak sistematis. Itu hampir tidak sanggup dibutuhkan pada seorang filusuf yang tidak pernah menuliskan pikiran-pikirannya dan juga tidak mengajar dalam arti kata yang sebenarnya. Namun demikian, beberapa pokok fatwa yang biasanya dianggap sebagai pendapat Sokrates hendak kami singkatkan di sini.

Dalam Apologia, Sokrates menerangkan kepada hakim-hakimnya, bahwa ia menganggap sebagai tugasnya mengingatkan para warga negara Athena agar mereka mengutamakan jiwa mereka dan bukan kesehatan, kekayaan, kehormatan atau hal-hal lain yang tidak sebanding dengan jiwa. Menurut Sokrates, tujuan tertinggi kehidupan insan ialah membuat jiwanya menjadi sebaik mungkin. Boleh dicatat bahwa dengan itu Sokrates menambah arti gres pada kata “jiwa” (psykhe) yang semenjak waktu itu diterima umum dalam bahasa Yunani, yaitu jiwa sebagai inti sari kepribadian manusia. Tingkah laris insan hanya sanggup disebut “baik”, kalau dengan itu ia berusaha agar supaya insan berdasarkan inti sarinya—dan bukan berdasarkan salah satu aspek lahiriah saja—dijadikan sebaik mungkin. Dengan cara lain lagi boleh dikatakan bahwa tujuan kehidupan insan ialah kebahagiaan (eudaimonia), asalkan istilah ini dimengerti dalam bahasa Yunani. Bagi kita orang modern, kata “kebahagiaan” atau “happiness” memperlihatkan suatu keadaan subjektif orang bersangkutan. Dalam bahasa-bahasa modern kebahagiaan sama artinya dengan “merasa bahagia”. Tetapi dalam bahasa Yunani “kebahagiaan” berarti suatu keadaan objektif yang tidak tergantung pada perasaan subjektif. Bagi bangsa Yunani eudaimonia berarti kesempurnaan; atau lebih tepat lagi, eudaimonia berarti “mempunyai daimon yang baik” dan yang dimaksudkan dengan daimon ialah jiwa. Dari lantaran itu J. Burnet mengusulkan agar eudaimonia disalin dalam bahasa Inggris dengan kata “well-being”. Eudaimonia itu akan memainkan peranan penting lagi dalam adat Yunani di kemudian hari. Plato* dan Aristoteles* akan mengakui eudaimonia sebagai tujuan tertinggi dalam hidup manusia.

Bagaimanakah insan sanggup mencapai eudaimonia atau kebahagiaan itu? Dengan arete. Kata arete biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan kata “virtue”. Dalam bahasa Indonesia dipergunakan kata “kebajikan” dan juga kata “keutamaan”. Tetapi terjemahan yang sama sekali tepat tidak ada, lantaran sebagaimana banyak kata Yunani lainnya arete pun termasuk kata yang mempunyai gema khusus dalam bahasa Yunani, yang tidak terdapat lagi dalam bahasa-bahasa modern. Ketika kita membahas induksi, kita telah menjelaskan unsur metode Sokrates ini dengan menentukan arete sebagai contoh. Ketika itu kita melihat bahwa arete berarti keutamaan yang terdapat pada seorang tukang sepatu misalnya. Arete ialah yang mengakibatkan beliau menjadi seorang tukang yang baik. Dan seorang negarawan mempunyai arete yang memungkinkan ia menjadi seorang politikus yang baik. Dengan itu kata arete belum mempunyai arti moral. Tetapi insan tidak saja mempunyai arete sebagai tukang atau negarawan, ia juga mempunyai arete sebagai manusia. Ada arete yang membuat insan seorang insan yang baik. Terutama arti ini yang dimaksudkan Sokrates, bila ia berbicara mengenai arete dan dari arti ini berkembanglah keutamaan sebagai istilah moral.

Salah satu pendirian Sokrates yang populer ialah bahwa “keutamaan yakni pengetahuan”. Pendirian ini mudah sanggup dimengerti bila kita ingat bahwa kata arete mempunyai latar belakang yang lebih luas dari pada arti moral saja. Arete seorang tukang sepatu membuat beliau menjadi seorang tukang yang baik dan arete itu niscaya mengandung juga pengetahuan, lantaran seorang tukang sepatu harus mengetahui apakah itu sebuah sepatu dan untuk apa sepatu dipakai. Tidak mungkin ia menjadi seorang tukang sepatu yang baik, kalau ia tidak mempunyai pengetahuan serupa itu. Demikian juga keutamaan yang membuat insan menjadi seorang insan yang baik, harus dianggap sebagai pengetahuan. Seorang yang mempunyai keutamaan sudah tahu apakah “yang baik” dan hidup baik tidak berati lain daripada mempraktekan pengetahuan itu.

Dari pendiriannya bahwa keutamaan yakni pengetahuan, Sokrates menarik tiga kesimpulan. [1] Pertama-tama harus dikatakan bahwa insan tidak berbuat salah dengan sengaja. Ia berbuat salah lantaran keliru atau ketidaktahuan. Seandainya ia tahu apakah “yang baik” baginya, ia akan melakukannya pula. [2] kesimpulan lain ialah bahwa keutamaan itu satu adanya. Tidak mungkin bahwa seorang tertentu mempunyai keutamaan keberanian dan tidak mempunyai keutamaan lain, keadilan misalnya. Kalau seseorang tidak adil atau berkekurangan lain, bagi Sokrates sudah faktual bahwa orang itu tidak mempunyai keutamaan yang sungguh-sungguh. Keutamaan sebagai pengetahuan wacana “yang baik” tentu merupakan pengetahuan yang menyeluruh. Mustahillah bahwa pengetahuan itu hanya terdapat dalam satu bidang saja, sedangkan tidak tampak pada bidang lain. [3] Kesimpulan ketiga ialah bahwa keutamaan sanggup diajarkan kepada orang lain. Pengajaran itu tidak lain daripada memberikan pengetahuan kepada sesama. Kalau keutamaan boleh disamakan dengan pengetahuan, maka harus diakui pula bahwa keutamaan sanggup diajarkan. Akan tetapi, dengan itu Sokrates tentu tidak bermaksud bahwa keutamaan sanggup diajarkan dengan pengajaran-pengajaran khusus, melainkan bahwa ada kemungkinan untuk menghantar orang (dengan metode tanya jawab atau bagaimanapun juga) kepada pengetahuan yang betul. Bagi Sokrates, adanya pendidikan sudah menerangkan bahwa keutamaan sanggup diajarkan. Seandainya keutamaan tidak sanggup diajarkan, pendidikan mustahil dijalankan.

Pendapat Sokrates bahwa keutamaan yakni pengetahuan, kadang kala dinamakan “intelektualisme etis”. Aristoteles* telah membantah dengan sangat pokok fatwa Sokrates ini. Tetapi rupanya Aristoteles menguraikan pendapat Sokrates dengan agak berat sebelah, agar kemudian kritiknya lebih gampang. Kalau kita membaca kesaksian Aristoteles* kita menerima kesan seolah-olah Sokrates beropini bahwa keutamaan sama saja dengan pengetahuan yang semata-mata teoretis. Kalau demikian tidak sulit untuk mengemukakan keberatan serius terhadap pendapat itu.

Tidakkah kita semua mengalami sendiri, bahwa kita sanggup menyimpang dari pengetahuan (teoritis) yang kita miliki? Kalau saya tahu bahwa merokok merugikan kesehatan langsung dan kesejahteraan keluarga, apakah pengetahuan itu sudah cukup agar saya tidak merokok lagi? Akan tetapi, apabila kita menyidik dialog-dialog Plato*, kita menerima kesan lain. ”Pengetahuan” itu tidak merupakan pengetahuan yang semata-mata teoretis, melainkan harus dianggap sebagai pengetahuan wacana “yang baik”, yang telah mendarah daging dalam hati manusia. Dengan memakai suatu istilah modern sanggup kita katakan, bahwa pengetahuan itu bersifat “eksistensial”: melibatkan seluruh kepribadian manusia. Seorang dokter sanggup memakai pengetahuannya dengan baik dan dengan buruk: untuk menyembuhkan dan untuk membunuh. Itulah pengetahuan yang semata-mata teoretis. Tetapi seorang yang mempunyai pengertian sungguh-sungguh mengenai yang baik bagi seorang manusia, tidak sanggup lain daripada bertindak baik saja. Seandainya ia bertindak jahat, sudah faktual bahwa ia tidak mempunyai pengertian tersebut.

Dengan pendapatnya bahwa keutamaan yakni pengetahuan, Sokrates menentang relativisme Protagoras* dan Sofis-sofis lain. Tidak benar bahwa “yang baik” itu lain bagi warga negara Athena dan lain lagi bagi warga negara Sparta; atau lain bagi Yunani dan lain bagi seorang barbar. “Yang baik” mempunyai nilai yang sama bagi semua manusia. Itulah sebabnya keutamaan selalu berdasar pada pengertian yang sama. Mempunyai arete berarti mempunyai kesempurnaan insan sebagai manusia. Dengan demikian Sokrates membuat suatu adat yang berlaku bagi semua manusia.


Download di Sini


Sumber.

Bertens, k. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Kanisius. Yogyakarta

Baca Juga
1. Sokrates. Biografi dan Karya
2. Sokrates. Metode
3. Sokrates. Kepribadian dan Cara Hidupnya
4. Sokrates. Perkara Pengadilan dan Kematiannya 
5. Sokrates. Ajaran
6. Sokrates. Pemikiran wacana Politik

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel