Strukturalisme Dan Psikoanalisa. Jacques Lacan

Sudah kita lihat bahwa Levi-Strauss* sangat mementingkan taraf tak sadar dan kita lihat pula bahwa ia mengakui psikoanalisa Freud* sebagai salah satu sumber wangsit bagi usahanya di bidang strukturalisme. Juga bagi tokoh-tokoh strukturalisme yang lain pendiri gerakan psikoanalitis itu tidak lagi seorang asing. Tetapi dalam aliran pemikiran Prancis yang sedang kita bicarakan ini terdapat juga seorang yang secara ekslusif berkecimpung di bidang psikoanalisa dan berusaha memperlihatkan suatu interpretasi gres mengenai psikoanalisa Freud dalam perspektif strukturalistis. Namanya ialah Jacques Lacan (1901-1981). Ia dilahirkan di Paris dan mencar ilmu ilmu kedokteran serta psikiatri di kota asalnya. Tahun 1932 ia meraih gelar “doktor dalam ilmu kedokteran” berdasarkan disertasi la psychose paranoiaque dans ses rapports avec la personalite (dicetak ulang tahun 1975) (Psikosan Paranoia dalam Hubungan dengan Kepribadian). Sekitar waktu yang sama ia mencari kontak pribadi dengan aliran dalam kesenian Prancis yang disebut “surealisme”. Tahun 1936 ia memberi ceramah pada Kongres ke-14 dari “Himpunan internasional untuk psikoanalisa” (The international psychoanalytic association) di Marienbad wacana teorinya yang disebut “fase cermin” [ini suatu fase dalam perkembangan subjek manusiawi berdasarkan Lacan berlangsung antara umur enam dan delapan belas bulan. Dikonfrontasikan dengan pantulannya dalam cermin anak kecil menemukan kesatuan tubuhnya. Yang penting ialah bahwa kesatuan ini tercapai melalui “gambaran tubuh” di luar subjek, yaitu dalam cermin. Keberhasilan “fase cermin” merupakan syarat supaya nanti anak sanggup mencapai identitasnya sebagai subjek dalam kekerabatan dengan “orang lain”]. Pada kongres ke-16 di Zurich (1949) ia memberi suatu uraian lebih lanjut dan lebih matang wacana teori yang sama.
Tahun 1953 Lacan dikeluarkan dari “Himpunan international untuk psikoanalisa” dan serentak juga dari cabangnya di Prancis. Sebagai alasan resmi disebut praktek-praktek Lacan yang menyimpang dari psikoanalisa yang ortodoks, menyerupai contohnya bahwa lamanya pengobatan-pengobatan psikoanalitisnya kadang kala tidak melebihi tiga atau lima menit saja dan juga problem latihan analisis-analisis baru. Tetapi pada latar belakang niscaya juga berperan perbedaan pendapat teoretis. Lacan sudah usang mengkritik beberapa tendensi dalam “Himpunan internasional untuk psikoanalisa”, khususnya di antara anggota-anggota Amerika dalam himpunan itu. Ia menolak perilaku empiristis dan sientistis mereka, ia menentang bertambah pentingnya Ego psychology di kalangan mereka (Hartman*, Kris, Lowenstein) dan mempersoalkan tendensi “medikalisasi” (medicalization) pada analis-analis Amerika, yaitu tendensi untuk mengaitkan secara ekslusif psikoanalisa dengan profesi medis. Dalam hal terakhir ini ia akrab dengan ikhtiar Freud* sendiri dalam Masalah analisa awam (1927). Di Paris ia mendirikan suatu himpunan gres Societe Francaise de psychanalyse (1953) yang mengakui sebagai tujuannya untuk secara konsekuen kembali pada psikoanalisa Freud* sendiri, dan memakai sebagai organnya majalah La Psychanalise. Tahun 1964 himpunan gres itu dibubarkan dan diganti dengan Ecole Freudiene de Paris (Sekolah Freudian di Paris) yang mempunyai sebagai organ komunikasi majalah berjulukan Scilicet (kata Latin yang berarti “yaitu”). Karya Lacan yang tebal berjudul Ecrits (1966) (Karangan-Karangan) terdiri dari ceramah-ceramah yang diberikannya pada banyak sekali kesempatan. Sejak tahun 1953, secara terencana ia memberi seminar wacana masalah-masalah psikoanalitis. Seminar-seminar ini menarik semakin banyak peminat dan menjalankan efek besar sekali atas kehidupan intelektual di Paris pada tahun 60-an dan 70-an. Karena jumlah peminat semakin membengkak, seminar ini diberikan di banyak sekali kawasan di ruang-ruang yang semakin besar. Sekali juga di kampus universiter di Vincennes yang populer radikal itu; tetapi lantaran banyak sekali kesulitan kawasan itu segera diganti dengan kawasan lain, biarpun pemikiran Lacan tetap mempunyai dampak atas pengajaran di sana. Seminar-seminar tersebut selalu direkam dan dengan persetujuan dan kolaborasi sendiri mulai diterbitkan semenjak tahun 1957 dengan judul Le seminare de Jacques Lacan, di bawah pimpinan menantuanya, Jacques-Alain Miller. Proyek seluruhnya direncanakan dalam 21 jilid. Tahun 1974 terbit bukunya Television (Televisi), berisikan dua wawancara yang diberikan untuk televisi Prancis. Seperti halnya dengan “bapak psikoanalisa” dulu, Lacan pun di kalangan murid-muridnya harus mengalami penyimpangan-penyimpangan. Pada tahun sebelum meninggalnya ia sendiri membubarkan Ecole Freudienne de Paris, lantaran berdasarkan pendapatnya di situ telah terjadi terlalu banyak penyimpangan dan kompromi.

Karya-karya Lacan sulit sekali untuk dibaca. Dari apa yang diterangkan di atas sudah menjadi terang bahwa ia terutama menguraikan pemikirannya secara lisan. Karyanya sebagian terbesar terdiri atas teks-teks yang pernah diucapkan sebagai ceramah atau materi seminar dan kemudian oleh si penceramah dituliskan dan direvisi. Tetapi sukarnya gaya bahasanya tidak disebabkan hanya lantaran asal ajakan karya ini. Rupanya cara menulis yang serba sulit itu sengaja dipraktekan Lacan demikian. Ia sangat curiga terhadap cara menulis yang terang dan jernih, yang bekerjsama sudah usang menjadi tradisi dalam sastra dan filsafat Prancis. Kita menerima kesan bahwa gaya bahasa yang penuh suasana misteri itu harus “mengamankan” pemikirannya terhadap penyalahgunaan oleh pihak yang tidak berkepentingan, menyerupai yang telah terjadi dengan karangan-karangan Freud* sendiri. Lacan penulis untuk insiders; sering diulanginya bahwa ia hanya bicara untuk analis-analis. Tetapi ironinya ialah bahwa buku Ecrits telah menjadi best-seller yang banyak dibaca atau sekurang-kurangnya dimiliki oleh orang yang tidak akan mengerti. Tentu saja, keadaan karangan-karangan Lacan yang khusus itu menjadikan banyak sekali kesulitan bagi siapa saja yang ingin menerjemahkannya ke dalam bahasa lain. Bagi Lacan berlaku lebih daripada bagi pengarang lain bahwa terjemahan tidak pernah sanggup mengganti teks yang asli. Namun demikian, sudah dilakukan beberapa percobaan untuk menerjemahkan sejumlah teks Lacan. Dapat dimengerti juga bahwa gaya Bahasa ini telah menampilkan banyak kritik yang terlalu “murah’. Karena orang tidak sabar memenuhi semua syarat yang dituntut oleh karya unik ini Lacan pribadi dituduh mengenai obskurantisme dan mistisisme. Di bawah ini akan kami usahakan menguraikan beberapa pikiran dasar Lacan terutama sejauh berafiliasi dengan strukturalisme sebagai keseluruhan.

Semboyan yang sanggup dipasang di atas seluruh perjuangan Lacan ialah “kembalilah kepada Freud*”. Karangan-karangan Freud selama ini tidak pernah kekurangan peminat. Psikoanalisa Freud* telah diinterpretasikan dari banyak sekali sudut pandangan: biologi, sosiologi, kulturalisme, dan lain-lain. Di samping itu Freud* telah diseret ke gelanggang perhatian masyarakat ramai, sehingga dalam apa yang dikatakan dan dipikirkan wacana ia hampir tidak ada perkaitan lagi dengan maksudnya yang sesungguhnya. Untuk fenomena terakhir ini dengan cara menyindir Lacan membuat istilah frofreudisme, Freudsime semu. Sudah waktunya kita kembali kepada Freud* sendiri. Untuk mengerti maksud pemikiran Freud, kita kini mempunyai suatu alat sangat berharga yang belum dikenal oleh penemu psikoanalisa itu sendiri, yaitu linguistik modern. Lacan ingin membuat psikoanalisa menjadi suatu “antropologi otentik” dengan mengambil ilmu bahasa “sebagai pedoman” (Ecrits, hlm. 284). Sebagai inovasi Freud yang paling mencolok mata sanggup dianggap bahwa ia memperlihatkan suatu decentrement (dalam Bahasa Inggirs telah diterjemahkan: decentering) pada manusia. Ia memperkenalkan kita dengan kenyataan bahwa insan “seakan tergeser dari pusatnya”. Sesudah Freud* kesadaran mustahil dipandang lagi sebagai sentra insan yang mutlak dan otonom. “Manusia tidak lagi tuan dan penguasa dalam rumahnya sendiri”, dikatakan Freud. Anggapan itu tidak kurang dari suatu revolusi dalam cara memandang manusia. Untuk itu kita teringat saja akan peranan yang dimainkan oleh kesadaran dalam seluruh pemikiran Barat semenjak Descartes*. Dengan menyelami ketidaksadaran, Freud memperlihatkan pada insan suatu lapisan lebih mendalam yang tidak terduga sebelumnya, suatu taraf tak sadar serta anonim. Nah, perjuangan Lacan ialah menjelaskan ketidaksadaran itu dalam cahaya penemuan-penemuan linguistik wacana bahasa. Perbedaan Saussure antara signifiant dan signifie, antara “penanda” dan “yang ditandakan”, banyak digunakan oleh Lacan. Mimpi, tanda-tanda neurotis, “salah tindak” (Fehlleistung) dan lain-lain, semuanya merupakan “penanda”. Seluruh percakapan si analis dengan si analisan merupakan une chaine de signifiants, seuntai rantai penanda-penanda. Bahasa (langue menyerupai dimengerti oleh Saussre) merupakan suatu sistem yang terdiri dari relasi-relasi dan oposisi-oposisi yang mempunyai prioritas terhadap subjek yang berbicara. Manusia tidak merancang sistem itu, tetapi sebaliknya takluk kepadanya. Dan justru ketaklukan ini memungkinkan ia berbicara. Menurut Lacan hal yang sama berlaku juga untuk ketidaksadaran. Ketidaksadaran ialah semacam logos yang mendahului insan perseorangan. Manusia beradaptasi dengannya dan mendengarkannya. Ketidaksadaran merupakan suatu struktur, tetapi insan sendiri tidak menguasai struktur ini. In this structure man as cogito or as consciousness is not the center and the subject of structuration but rather a moment or an element. He is not the one who structures, but the one who is structured, that is, the result and the product [Dalam struktur ini insan sebagai cogito atau kesadaran bukannya sentra dan subjek strukturisasi, melainkan suatu momen atau suatu unsur. Manusia bukannya orang yang menstrukturisasi melainkan orang yang distrukturisasi; artinya ia merupakan hasil dan produk].

Supaya semuanya itu jangan salah dimengerti, perlu ditambah lagi bahwa Lacan selalu membahas ketidaksadaran dalam konteks percakapan psikoanalisis, artinya percakapan seorang psikoanalis dengan pasiennya atau—lebih umum—percakapan seorang psikoanalis dengan analisannya. Dalam percakapan itu ketidaksadaran tampak sebagai Bahasa. L’inconscient est structure comme un langage (Ecrits, hlm.379) merupakan salah satu ucapan Lacan yang sudah menjadi termasyur: ketidaksadaran mempunyai struktur yang sama menyerupai Bahasa. Dan bila ditanyakan: siapakah yang berbicara dalam percakapan itu, mungkin akan dijawab bahwa tentu saja analisa sendirilah yang berbicara. Tetapi Lacan tidak puas dengan balasan serupa itu. Ia mendapatkan betul-betul inovasi Freud* bahwa insan “telah tergeser dari pusatnya”. Dalam percakapan psikoanalitis subjek tidak berbicara, tetapi subjek dibicarakan: le sujet y est parle plutot qu’il ne parle (Ecrits, hlm. 280). Bukan saya yang bicara; ada yang bicara dalam diri saya (it speaks in me). Ketidaksadaran merupakan le discours de l’Autre (diskursus dari yang lain) (Ecrits, hlm. 379).

Sengaja kita membatasi diri pada aspek ini saja dari pemikiran Lacan—sambil melewati begitu banyak aspek lain yang penting juga—karena di sinilah tampak persamaan paling terang dengan apa yang sudah diuraikan mengenai Levi-Strauss*. Pada mereka berdua status subjek sebagai cogito atau kesadaran (sebagaimana dimengerti dalam filsafat klasik) dipersoalkan secara radikal. Itulah titik singgung yang menonjol, sekalipun konteks ilmiah kedua pemikir ini sangat berlainan.


Akhirnya, kami ingin minta perhatian untuk suatu titik singgung lain lagi, yaitu antara Lacan dan Heidegger* (disamping Hegel*, filusuf yang juga memainkan peranan besar dalam pemikiran Lacan). Harus dicatat dulu, yang dimaksudkan disini ialah Heidegger pada usia lebih lanjut atau kadang kala diberi nama juga Heidegger II, artinya periode dalam pemikiran Heidegger setelah bukunya Sein und Zeit (Ada dan Waktu). Lacan ialah seorang psikoanalis dan dengan tegas ditandaskanya bahwa ia bukan filusuf. Tetapi ia menaruh minat besar untuk pemikiran filusuf Jerman yang tersohor itu, tidak jarang ia mengutipnya dan pernah menerjemahkan salah satu teksnya, yang kemudian dimuat dalam majalah La Psychanalyse. Salah satu alasan untuk minat tersebut (dan niscaya ada lain lagi) ialah bahwa pada Heidegger* terdapat anggapan mengenai Bahasa seperti merupakan ruang di mana kita sanggup bangun dan di mana benda-benda tampak bagi kita. Dengan bertutur kita mengembangkan terang, tetapi kita sendiri (sebagai perseorangan maupun sebagai umat insan secara kolektif) tidak merupakan asal-usul terang itu. Apa yang terjadi dalam Bahasa boleh dilukiskan dengan kategori-kategori menyerupai “pemberian”, “rahmat”, “peristiwa”. Tetapi sudut pendekatan Heidegger* tentu saja sama sekali berlainan dengan Lacan. Perspektifnya bersifat ontologis dan sekali-kali tidak psikoanalitis.


Download di Sini


Sumber:
Bertens. K. "Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel