Al-Farabi. Logika Dan Filsafat Bahasa
Salah satu pokok perhatian dalam karya-karya kecerdikan Al-Farabi yaitu hubungan antara kecerdikan filsafat dan tata bahasa umum. Kitab Al-Huruf (Al-Farabi, 1969b) dan Kitab Al-Alfazh Al-Musta’malah Fi Al-Mantiq (Al-Farabi, 1968a), dengan topik-topik kecerdikan dan kebahasaan, menekankan perlunya memahami hubungan terminologi filsafat dengan bahasa dan tata bahasa yang lazim.
Realitas historis masuknya filsafat ke dalam bahasa Arab dari suatu bahasa dan budaya asing, masuknya bahasa Yunani kuno, dan munculnya kesulitan tanggapan kebutuhan untuk membuat kosa kata filsafat dalam bahasa Arab, menjadi info penting bagi para filsuf Arab awal, termasuk guru dan murid Al-Farabi.
Di samping itu, fokus kebahasaan dari sebagian besar kecerdikan Aristotelian membuat konflik teritorial dengan para praktisi ilmu tata bahasa Arab orisinil setempat yang melihat bahwa minat filsuf pada kecerdikan Yunani hanya merupakan upaya untuk menggantikan tata bahasa Arab dengan Yunani. Karya-karya kecerdikan dan kebahasaan Al-Farabi menggambarkan perjuangan sistematis untuk menyelaraskan pendekatan yang saling berlawanan dalam studi bahasa.
Pada sepanjang karya-karya linguistiknya, Al-Farabi mengangkat konsepsi ihwal kecerdikan sebagai sejenis tata bahasa universal, yang menawarkan kaidah-kaidah yang harus diikuti untuk berpikir secara benar dalam bahasa apa pun. Tata bahasa senantiasa wajib menawarkan kaidah yang dibangun atas dasar konvensi dalam pemakaian bahasa tertentu dari budaya tertentu.
Oleh alasannya yaitu itu, Al-Farabi meletakannya dalam suatu penggalan karyanya yang terkenal Ihsha Al-‘Ulum, “seni (logika) ini analog dengan seni tata bahasa, dalam pengertian bahwa hubungan kecerdikan dengan intelek dan inteligibiel-inteligibel (hal-hal yang sanggup dipikirkan dan dipahami oleh akal), menyerupai hubungan seni tata bahasa dengan bahasa dan ungkapan-ungkapan. Maksudnya, bagi setiap kaidah pengungkapan yang diberikan oleh ilmu tata bahasa, terdapat (kaidah) inteligibel sepadan yang diberikan oleh ilmu kecerdikan kepada kita” (Al-Farabi, 1968b:68).
Dengan menegaskan bahwa kecerdikan dan tata bahasa merupakan dua ilmu berlandaskan kaidah (rule-based science) yang terpisah, masing-masing dengan lingkup dan pokok permasalahannya sendiri, Al-Farabi berusaha membangun kecerdikan sebagai kajian otonom filsafat bahasa yang saling melengkapi, bukan bertentangan dengan ilmu tata bahasa tradisional. Akan tetapi, meskipun kecerdikan dan tata bahasa tetap merupakan ilmu yang terpisah dan otonom, Al-Farabi juga berpendirian bahwa logikawan dan filsuf bergantung pada andal tata bahasa lantaran kemampuan mereka dalam mengartikulasikan doktrin-doktrin mereka dengan idiom suatu bangsa tertentu. Oleh lantaran itu, “seni tata bahasa seyogyanya sangat diharapkan untuk mengakibatkan kita tahu dan paham terhadap prinsip-prinsip seni (logika)” (Al-Farabi, 1987:83).
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Download
Baca Juga
1. Al-Farabi. Riwayat Hidup
2. Al-Farabi. Karya Filsafat
3. Al-Farabi. Pemikiran Filsafat
4. Al-Farabi. Metafisika
5. Al-Farabi. Filsafat Kenegaraan
6. Al-Farabi. Filsafat Praktis
Realitas historis masuknya filsafat ke dalam bahasa Arab dari suatu bahasa dan budaya asing, masuknya bahasa Yunani kuno, dan munculnya kesulitan tanggapan kebutuhan untuk membuat kosa kata filsafat dalam bahasa Arab, menjadi info penting bagi para filsuf Arab awal, termasuk guru dan murid Al-Farabi.
Pada sepanjang karya-karya linguistiknya, Al-Farabi mengangkat konsepsi ihwal kecerdikan sebagai sejenis tata bahasa universal, yang menawarkan kaidah-kaidah yang harus diikuti untuk berpikir secara benar dalam bahasa apa pun. Tata bahasa senantiasa wajib menawarkan kaidah yang dibangun atas dasar konvensi dalam pemakaian bahasa tertentu dari budaya tertentu.
Oleh alasannya yaitu itu, Al-Farabi meletakannya dalam suatu penggalan karyanya yang terkenal Ihsha Al-‘Ulum, “seni (logika) ini analog dengan seni tata bahasa, dalam pengertian bahwa hubungan kecerdikan dengan intelek dan inteligibiel-inteligibel (hal-hal yang sanggup dipikirkan dan dipahami oleh akal), menyerupai hubungan seni tata bahasa dengan bahasa dan ungkapan-ungkapan. Maksudnya, bagi setiap kaidah pengungkapan yang diberikan oleh ilmu tata bahasa, terdapat (kaidah) inteligibel sepadan yang diberikan oleh ilmu kecerdikan kepada kita” (Al-Farabi, 1968b:68).
Dengan menegaskan bahwa kecerdikan dan tata bahasa merupakan dua ilmu berlandaskan kaidah (rule-based science) yang terpisah, masing-masing dengan lingkup dan pokok permasalahannya sendiri, Al-Farabi berusaha membangun kecerdikan sebagai kajian otonom filsafat bahasa yang saling melengkapi, bukan bertentangan dengan ilmu tata bahasa tradisional. Akan tetapi, meskipun kecerdikan dan tata bahasa tetap merupakan ilmu yang terpisah dan otonom, Al-Farabi juga berpendirian bahwa logikawan dan filsuf bergantung pada andal tata bahasa lantaran kemampuan mereka dalam mengartikulasikan doktrin-doktrin mereka dengan idiom suatu bangsa tertentu. Oleh lantaran itu, “seni tata bahasa seyogyanya sangat diharapkan untuk mengakibatkan kita tahu dan paham terhadap prinsip-prinsip seni (logika)” (Al-Farabi, 1987:83).
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Baca Juga
1. Al-Farabi. Riwayat Hidup
2. Al-Farabi. Karya Filsafat
3. Al-Farabi. Pemikiran Filsafat
4. Al-Farabi. Metafisika
5. Al-Farabi. Filsafat Kenegaraan