Eksistensialisme Jean Paul Sartre
Pemikiran dalam Ada dan Ketiadaan
Penjelasan Sartre ihwal Ada dan ketiadaan tampak dalam anak judulnya, “Suatu ontologi atas dasar fenomenologis. Dengan metode fenomenologi Husserl, Sartre ingin merancangkan suatu aliran ihwal Ada. Dengan demikian, bagi Sartre persoalan pokok dari pembahasan Ada dan ketiadaan tersebut ialah korelasi antara kesadaran dengan Ada. Berikut terdapat dua cara berada berdasarkan Sartre.
Dua Cara Berada, entre-en-soi dan entre-pour-soi
Titik tolak filsafat tidak sanggup lain daripada cogito, yaitu kesadaran yang aku miliki ihwal diri aku sendiri. Dalam hal ini, Descartes* benar. Tetapi filsuf masa ke-17 ini eksklusif menafsirkan cogito sebagai suatu cogito tertutup, sebagai cogito yang terpisah dari dunia dan terkurung dalam dirinya. Dari Husserl* sanggup kita petik pelajaran bahwa intensionalitas merupakan ciri khas kesadaran. Menurut kodratnya kesadaran terarah kepada yang lain dari dirinya. Menurut kodratnya kesadaran ialah transendensi (bertentangan dengan imanensi yang menandai cogito Descartes*).
Menurut Sartre, para fenomenolog, dan khususnya Husserl* tidak menawarkan klarifikasi yang memuaskan ihwal Ada-nya fenomena-fenomena. Persoalannya ialah apakah Ada-nya fenomena-fenomena juga merupakan feomena atau tidak? Menurut Huserl* Ada-nya suatu objek tidak berbeda secara prinsipil dengan sepertinya objek tersebut. Husserl berhenti pada esensi atau eidos, tetapi dengan itu tidak pernah mencapai Ada-nya suatu objek. Sartre berkeyakinan bahwa Ada merupakan syarat bagi sepertinya sesuatu. Ada itu selalu bersifat transfenomenal. Kalau kita tidak mendapatkan pikiran ini, mau tidak mau kita jatuh dalam idealism, alasannya kita menggantungkan Ada pada subjek. Perumusan yang masyhur bagi pendirian ini ialah esse est percipi (Berkeley): Ada-nya disamakan dengan pengenalan ihwal hal itu. Jadi, dalam memilih korelasi antara kesadaran dan Ada, tidak mungkin bahwa Ada itu fenomena belaka. Sekali lagi, Ada bersifat transfenomenal, tidak sanggup dijadikan suatu fenomena saja. Tidak pernah sanggup kita lampaui polaritas antara kesadaran dan Ada.
Sekarang marilah kita kembali kepada titik tolak tadi, yaitu kesadaran. Apakah yang sanggup dikatakan ihwal Ada-nya kesadaran? Sudah kita ketahui, kesadaran itu bersifat intensional, berdasarkan kodratnya terarah pada dunia. Hal tersebut dirumuskan oleh Sartre sebagai berikut, ”kesadaran (akan) dirinya berada sebagai kesadaran akan sesuatu”. Kesadaran ialah kesadaran diri (self-consiousness). Tetapi kesadaran (akan) dirinya tidak sama dengan pengalaman ihwal dirinya, mengambil dirinya sebagai objek pengenalan. Cogito bukanlah pengenalan diri, melainkan kehadiran kepada dirinya secara non-tematis. Karena alasan itu kata “akan” oleh Sartre ditulis dalam tanda kurung. Jadi, harus dibedakan antara kesadaran tematis dengan kesadaran non-tematis, yaitu kesadaran akan sesuatu dan kesadaran (akan) dirinya. Hal tersebut berarti bahwa cogito yang merupakan titik tolak bagi filsafat kita, ialah cogito prarefleksif.
Kesadaran akan dirinya “membonceng” pada kesadaran akan dunia. Hal tersebut berarti juga bahwa cogito tidak menunjuk pada suatu kekerabatan pengenalan, melainkan pada suatu kekerabatan Ada. Kesadaran ialah kehadiran (pada) dirinya. Kehadiran (pada) dirinya merupakan syarat yang perlu dan cukup untuk kesadaran. Kita tidak membutuhkan suatu subjek Transendental atau Aku Absolut menyerupai yang diterima oleh idealism.
Seperti kita lihat, kesadaran ialah kesadaran akan sesuatu yang lain. Sartre menyimpulkan, “terdapat Ada yang transenden (dalam arti, tidak sanggup disamakan dengan kesadaran). Di satu pihak terdapat kesadaran, dilain pihak terdapat Ada-nya fenomena-fenomena atau Ada begitu saja. Untuk memperlihatkan Ada, Sartre membuat istilah etre-en-soi (being-in-itself, Ada-pada-dirinya). Tentang etre-en-soi tersebut harus dikatakan, it is what it is. Etre-et-soi tersebut sama sekali identik dengan dirinya. Etre-en-soi tidak aktif, tidak pasif, tidak afirmatif, tidak negatif, kategori-kategori macam itu hanya mempunyai arti dalam kaitan dengan manusia. Etre-en-soi tidak mempunyai masa silam, masa depan, tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. Etre-en-soi tersebut sama sekali kontingen. Artinya, ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa diciptakan, tanpa sanggup diturunkan dari sesuatu yang lain.
Sudah kita dengar, bagi Sartre (dan semua fenomenolog) kesadaran dilarang dipisahkan dari dunia. Suatu hal lain yang ditekankan Sartre (dan ini pun diterima oleh semua fenomenolog) ialah bahwa kesadaran sekali-kali dilarang disamakan dengan benda. Bersama dengan Sartre, untuk seterusnya kita akan memakai istilah etre-pour-soi (being-for-itself, Ada-bagi-dirinya) untuk pertanda kesadaran. Etre-pour-soi bukanlah benda dan berbeda secara radikal dengan etre-en-soi, atau dengan kata lain Etre-pour-soi mempunyai status yang sama sekali berlainan dengan etre-en-soi. Kaprikornus terdapat dua cara berada, dua modes of being yang sama sekali berbeda, etre-en-soi dan etre-pour-soi. Yang satu tidak sanggup diasalkan kepada yang lain. Tentang etre-en-soi tersendiri tidak banyak yang sanggup dikatakan, sehingga mudah seluruh buku Sartre berbicara ihwal kesadaran, berarti ihwal manusia. Ontologi Sartre mudah menjadi antropologi.
Sekarang perlu kita selidiki lebih lanjut kekhususan etre-pour-soi. Untuk itu kita kembali pada perumusan Sartre di atas, kesadaran (akan) dirinya berada sebagai kesadaran akan sesuatu. Dengan kata lain, kesadaran ialah intensional. Rumusan ini sanggup dibalik juga, kesadaran akan sesuatu berada sebagai kesadaran (akan) dirinya. Kehadiran (pada) dirinya sendiri ialah konstitutif bagi kesadaran. Suatu maksud, rasa senang, rasa sedih, atau lain sebagainya hanya sanggup berada sebagai sadar (akan) dirinya, persis menyerupai suatu benda tidak mungkin berada kecuali dengan mempunyai tiga dimensi, kata Sartre. Suatu kesadaran yang tidak sadar atau suatu kegiatan psikis yang tidak sadar (bandingkan Psikoanalisa S. Freud*) bagi Sartre sama sekali mustahil. Tetapi perlu diperhatikan baik-baik bahwa “akan” ditulis dalam tanda kurung. Kehadiran (pada) dirinya sendiri yang mengkonstitusikan kesadaran itu bersifat non-tematis. Bagaimana sanggup kita mengerti bahwa insan tidak eksklusif sadar akan dirinya? Apakah yang memungkinkan hal itu?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab sebagai berikut. Kalau aku sadar akan sesuatu, hal tersebut berarti bahwa aku bukan “sesuatu” itu, bahwa aku tidak sama dengan “sesuatu” itu. Saya melihat lukisan di dinding sana atau gelas berisi teh di meja sini, hal ini berarti, aku sadar bahwa aku bukanlah lukisan atau gelas. Untuk sanggup melihat sesuatu dibutuhkan syarat mutlak, adanya jarak. Bila sesuatu erat sekali dengan mata, apalagi jika sesuatu identik dengan mata (seperti contohnya retina, atau selaput jala), aku tidak akan melihat apa-apa. Sebuah rujukan lain lagi, aku sementara mengetik, hal tersebut berarti aku sadar akan diri aku sebagai orang yang mengetik, tetapi serentak aku juga sadar bahwa aku tidak identik dengan orang yang mengetik. Saya juga sanggup berhenti mengetik dan berjalan-jalan atau membaca koran umpamanya. Dari semuanya ini harus disimpulkan bahwa negativitas merupakan ciri khas etre-pour-soi. Manusia sanggup untuk mengadakan kekerabatan dengan yang tidak ada. Tentang etre-pour-soi harus dikatakan, it is not what it is. Kesadaran berarti distansi, jarak, non-identitas. Bagi Sartre hal tersebut berarti lagi, kesadaran sama dengan kebebasan.
Dengan demikian, Sartre sanggup menjawab pertanyaan yang banyak memusingkan para filusuf, dari mana asalnya ketiadaan? Jawabannya ialah bahwa ketiadaan muncul dengan manusia, dengan etre-por-soi. Manusia ialah makhluk yang membawa “ketiadaan”. Aktivitas khusus etre-pour-soi ialah “menindak”. Hal tersebut tampak terang jika kita bertanya. Sartre memberi rujukan berikut. Saya mempunyai kesepakatan dengan Pierre pukul empat sore di salah satu warung kopi. Saya tiba terlambat seperempat jam. Apakah Pierre ada? Apakah ia masih menunggu saya? Dia selalu sempurna pada waktunya. Saya masuk dan melihat, ternyata ia tidak ada.
Apakah yang terjadi dalam konstatasi ini? Bila aku masuk warung kopi untuk memastikan hadir tidaknya Pierre, warung itu (dengan meja, kursi, tamu, udara penuh asap rokok, dan seterusnya) merupakan latar belakang bagi nampaknya Pierre. Inilah “penidakan” yang pertama, warung hilang sebagai warung dan menjadi latar belakang bagi yang aku cari. Saya melihat semua hadirin, satu demi satu. Mungkin salah seorang dari mereka ialah Pierre. Tetapi ternyata ini bukan Pierre, itu bukan Pierre dan seterusnya. Pierre tidak ada. Tidak adanya Pierre hanya mungkin dipastikan dengan “menidak” apa yang ada. Sartre simpulkan, ketiadaan muncul dengan menidak dunia. Ketiadaan tidak terdapat di luar Ada. Ketiadaan terus-menerus “menghantui” Ada, tidak sanggup dilepaskan darinya. Dan Ada-nya etre-pour-soi ialah “menidak”, menampilkan ketiadaan itu.
Jika kita membandingkan dua cara berada etre-en-soi dan etre-pour-soi tersebut, etre-en-soi sama sekali tidak mempunyai kekerabatan dengan etre-pour-soi, sedangkan etre-pour-soi mempunyai kekerabatan dengan etre-en-soi. Salah satu keinginan etre-pour-soi adalah berada sebagai etre-en-soi, yaitu mempunyai identitas dan kepenuhan Ada (seperti etre-en-soi dan toh mempertahankan sifatnya sebagai etre-pour-soi). Tentu saja, inilah harapan yang mustahil, dikarenakan telah kita ketahui dua cara berada ini tidak mungkin dipersatukan satu sama lain. Cita-cita ini sering kali disinggung dalam analisa-analisa Ada dan Ketiadaan. Sartre antara lain beropini bahwa konsep “Allah” mengandaikan sintesa antara etre-en-soi dan etre-pour-soi, sintesa antara Ada dan Ketiadaan. Suatu konsep yang tentu bersifat kontradiktif. Ini salah satu alasan pokok bagi ateisme Sartre. Dan ihwal harapan insan yang disinyalir tadi harus dikatakan bahwa keinginan insan bantu-membantu tidak lain daripada berada sebagai Allah. Manusia senantiasa berusaha menjadi Allah, sintesa dari etre-en-soi dan etre-pour-soi. Karena itu, pada simpulan bukunya Sartre menyampaikan bahwa insan merupakan une passion inutile, suatu gairah yang sia-sia.
Download di Sini
Sumber:
Bertens, K. "Filsafat Barat Kontemporer, Prancis". 2001. Gramedia. Jakarta
Baca Juga
1. Jean Paul Sartre. Biografi
2. Jean-Paul Sartre. Kebebasan
3. Jean-Paul Sartre. Relasi Antarmanusia
4. Aliran Filsafat. Eksistensialisme
Penjelasan Sartre ihwal Ada dan ketiadaan tampak dalam anak judulnya, “Suatu ontologi atas dasar fenomenologis. Dengan metode fenomenologi Husserl, Sartre ingin merancangkan suatu aliran ihwal Ada. Dengan demikian, bagi Sartre persoalan pokok dari pembahasan Ada dan ketiadaan tersebut ialah korelasi antara kesadaran dengan Ada. Berikut terdapat dua cara berada berdasarkan Sartre.
Dua Cara Berada, entre-en-soi dan entre-pour-soi
Titik tolak filsafat tidak sanggup lain daripada cogito, yaitu kesadaran yang aku miliki ihwal diri aku sendiri. Dalam hal ini, Descartes* benar. Tetapi filsuf masa ke-17 ini eksklusif menafsirkan cogito sebagai suatu cogito tertutup, sebagai cogito yang terpisah dari dunia dan terkurung dalam dirinya. Dari Husserl* sanggup kita petik pelajaran bahwa intensionalitas merupakan ciri khas kesadaran. Menurut kodratnya kesadaran terarah kepada yang lain dari dirinya. Menurut kodratnya kesadaran ialah transendensi (bertentangan dengan imanensi yang menandai cogito Descartes*).
Menurut Sartre, para fenomenolog, dan khususnya Husserl* tidak menawarkan klarifikasi yang memuaskan ihwal Ada-nya fenomena-fenomena. Persoalannya ialah apakah Ada-nya fenomena-fenomena juga merupakan feomena atau tidak? Menurut Huserl* Ada-nya suatu objek tidak berbeda secara prinsipil dengan sepertinya objek tersebut. Husserl berhenti pada esensi atau eidos, tetapi dengan itu tidak pernah mencapai Ada-nya suatu objek. Sartre berkeyakinan bahwa Ada merupakan syarat bagi sepertinya sesuatu. Ada itu selalu bersifat transfenomenal. Kalau kita tidak mendapatkan pikiran ini, mau tidak mau kita jatuh dalam idealism, alasannya kita menggantungkan Ada pada subjek. Perumusan yang masyhur bagi pendirian ini ialah esse est percipi (Berkeley): Ada-nya disamakan dengan pengenalan ihwal hal itu. Jadi, dalam memilih korelasi antara kesadaran dan Ada, tidak mungkin bahwa Ada itu fenomena belaka. Sekali lagi, Ada bersifat transfenomenal, tidak sanggup dijadikan suatu fenomena saja. Tidak pernah sanggup kita lampaui polaritas antara kesadaran dan Ada.
Sekarang marilah kita kembali kepada titik tolak tadi, yaitu kesadaran. Apakah yang sanggup dikatakan ihwal Ada-nya kesadaran? Sudah kita ketahui, kesadaran itu bersifat intensional, berdasarkan kodratnya terarah pada dunia. Hal tersebut dirumuskan oleh Sartre sebagai berikut, ”kesadaran (akan) dirinya berada sebagai kesadaran akan sesuatu”. Kesadaran ialah kesadaran diri (self-consiousness). Tetapi kesadaran (akan) dirinya tidak sama dengan pengalaman ihwal dirinya, mengambil dirinya sebagai objek pengenalan. Cogito bukanlah pengenalan diri, melainkan kehadiran kepada dirinya secara non-tematis. Karena alasan itu kata “akan” oleh Sartre ditulis dalam tanda kurung. Jadi, harus dibedakan antara kesadaran tematis dengan kesadaran non-tematis, yaitu kesadaran akan sesuatu dan kesadaran (akan) dirinya. Hal tersebut berarti bahwa cogito yang merupakan titik tolak bagi filsafat kita, ialah cogito prarefleksif.
Kesadaran akan dirinya “membonceng” pada kesadaran akan dunia. Hal tersebut berarti juga bahwa cogito tidak menunjuk pada suatu kekerabatan pengenalan, melainkan pada suatu kekerabatan Ada. Kesadaran ialah kehadiran (pada) dirinya. Kehadiran (pada) dirinya merupakan syarat yang perlu dan cukup untuk kesadaran. Kita tidak membutuhkan suatu subjek Transendental atau Aku Absolut menyerupai yang diterima oleh idealism.
Seperti kita lihat, kesadaran ialah kesadaran akan sesuatu yang lain. Sartre menyimpulkan, “terdapat Ada yang transenden (dalam arti, tidak sanggup disamakan dengan kesadaran). Di satu pihak terdapat kesadaran, dilain pihak terdapat Ada-nya fenomena-fenomena atau Ada begitu saja. Untuk memperlihatkan Ada, Sartre membuat istilah etre-en-soi (being-in-itself, Ada-pada-dirinya). Tentang etre-en-soi tersebut harus dikatakan, it is what it is. Etre-et-soi tersebut sama sekali identik dengan dirinya. Etre-en-soi tidak aktif, tidak pasif, tidak afirmatif, tidak negatif, kategori-kategori macam itu hanya mempunyai arti dalam kaitan dengan manusia. Etre-en-soi tidak mempunyai masa silam, masa depan, tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. Etre-en-soi tersebut sama sekali kontingen. Artinya, ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa diciptakan, tanpa sanggup diturunkan dari sesuatu yang lain.
Sudah kita dengar, bagi Sartre (dan semua fenomenolog) kesadaran dilarang dipisahkan dari dunia. Suatu hal lain yang ditekankan Sartre (dan ini pun diterima oleh semua fenomenolog) ialah bahwa kesadaran sekali-kali dilarang disamakan dengan benda. Bersama dengan Sartre, untuk seterusnya kita akan memakai istilah etre-pour-soi (being-for-itself, Ada-bagi-dirinya) untuk pertanda kesadaran. Etre-pour-soi bukanlah benda dan berbeda secara radikal dengan etre-en-soi, atau dengan kata lain Etre-pour-soi mempunyai status yang sama sekali berlainan dengan etre-en-soi. Kaprikornus terdapat dua cara berada, dua modes of being yang sama sekali berbeda, etre-en-soi dan etre-pour-soi. Yang satu tidak sanggup diasalkan kepada yang lain. Tentang etre-en-soi tersendiri tidak banyak yang sanggup dikatakan, sehingga mudah seluruh buku Sartre berbicara ihwal kesadaran, berarti ihwal manusia. Ontologi Sartre mudah menjadi antropologi.
Sekarang perlu kita selidiki lebih lanjut kekhususan etre-pour-soi. Untuk itu kita kembali pada perumusan Sartre di atas, kesadaran (akan) dirinya berada sebagai kesadaran akan sesuatu. Dengan kata lain, kesadaran ialah intensional. Rumusan ini sanggup dibalik juga, kesadaran akan sesuatu berada sebagai kesadaran (akan) dirinya. Kehadiran (pada) dirinya sendiri ialah konstitutif bagi kesadaran. Suatu maksud, rasa senang, rasa sedih, atau lain sebagainya hanya sanggup berada sebagai sadar (akan) dirinya, persis menyerupai suatu benda tidak mungkin berada kecuali dengan mempunyai tiga dimensi, kata Sartre. Suatu kesadaran yang tidak sadar atau suatu kegiatan psikis yang tidak sadar (bandingkan Psikoanalisa S. Freud*) bagi Sartre sama sekali mustahil. Tetapi perlu diperhatikan baik-baik bahwa “akan” ditulis dalam tanda kurung. Kehadiran (pada) dirinya sendiri yang mengkonstitusikan kesadaran itu bersifat non-tematis. Bagaimana sanggup kita mengerti bahwa insan tidak eksklusif sadar akan dirinya? Apakah yang memungkinkan hal itu?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab sebagai berikut. Kalau aku sadar akan sesuatu, hal tersebut berarti bahwa aku bukan “sesuatu” itu, bahwa aku tidak sama dengan “sesuatu” itu. Saya melihat lukisan di dinding sana atau gelas berisi teh di meja sini, hal ini berarti, aku sadar bahwa aku bukanlah lukisan atau gelas. Untuk sanggup melihat sesuatu dibutuhkan syarat mutlak, adanya jarak. Bila sesuatu erat sekali dengan mata, apalagi jika sesuatu identik dengan mata (seperti contohnya retina, atau selaput jala), aku tidak akan melihat apa-apa. Sebuah rujukan lain lagi, aku sementara mengetik, hal tersebut berarti aku sadar akan diri aku sebagai orang yang mengetik, tetapi serentak aku juga sadar bahwa aku tidak identik dengan orang yang mengetik. Saya juga sanggup berhenti mengetik dan berjalan-jalan atau membaca koran umpamanya. Dari semuanya ini harus disimpulkan bahwa negativitas merupakan ciri khas etre-pour-soi. Manusia sanggup untuk mengadakan kekerabatan dengan yang tidak ada. Tentang etre-pour-soi harus dikatakan, it is not what it is. Kesadaran berarti distansi, jarak, non-identitas. Bagi Sartre hal tersebut berarti lagi, kesadaran sama dengan kebebasan.
Dengan demikian, Sartre sanggup menjawab pertanyaan yang banyak memusingkan para filusuf, dari mana asalnya ketiadaan? Jawabannya ialah bahwa ketiadaan muncul dengan manusia, dengan etre-por-soi. Manusia ialah makhluk yang membawa “ketiadaan”. Aktivitas khusus etre-pour-soi ialah “menindak”. Hal tersebut tampak terang jika kita bertanya. Sartre memberi rujukan berikut. Saya mempunyai kesepakatan dengan Pierre pukul empat sore di salah satu warung kopi. Saya tiba terlambat seperempat jam. Apakah Pierre ada? Apakah ia masih menunggu saya? Dia selalu sempurna pada waktunya. Saya masuk dan melihat, ternyata ia tidak ada.
Jika kita membandingkan dua cara berada etre-en-soi dan etre-pour-soi tersebut, etre-en-soi sama sekali tidak mempunyai kekerabatan dengan etre-pour-soi, sedangkan etre-pour-soi mempunyai kekerabatan dengan etre-en-soi. Salah satu keinginan etre-pour-soi adalah berada sebagai etre-en-soi, yaitu mempunyai identitas dan kepenuhan Ada (seperti etre-en-soi dan toh mempertahankan sifatnya sebagai etre-pour-soi). Tentu saja, inilah harapan yang mustahil, dikarenakan telah kita ketahui dua cara berada ini tidak mungkin dipersatukan satu sama lain. Cita-cita ini sering kali disinggung dalam analisa-analisa Ada dan Ketiadaan. Sartre antara lain beropini bahwa konsep “Allah” mengandaikan sintesa antara etre-en-soi dan etre-pour-soi, sintesa antara Ada dan Ketiadaan. Suatu konsep yang tentu bersifat kontradiktif. Ini salah satu alasan pokok bagi ateisme Sartre. Dan ihwal harapan insan yang disinyalir tadi harus dikatakan bahwa keinginan insan bantu-membantu tidak lain daripada berada sebagai Allah. Manusia senantiasa berusaha menjadi Allah, sintesa dari etre-en-soi dan etre-pour-soi. Karena itu, pada simpulan bukunya Sartre menyampaikan bahwa insan merupakan une passion inutile, suatu gairah yang sia-sia.
Download di Sini
Sumber:
Baca Juga
Baca Juga
1. Jean Paul Sartre. Biografi
2. Jean-Paul Sartre. Kebebasan
3. Jean-Paul Sartre. Relasi Antarmanusia