Filsafat Strukturalisme Prancis
Yang ingin mempelajari pemikiran filsafat Prancis yang disebut strukturalisme, segera terbentur pada banyak sekali kesulitan. Marilah kita mulai dengan memandang beberapa di antara kesulitan tersebut. Pertama, dalam kalangan ilmiah istilah "struktur" dan "strukturalisme" banyak digunakan dan tidak selalu dalam arti yang sama. Istilah-istilah itu digunakan dalam bidang matematika, logika, fisika, biologi, psikologi, sosiologi, ilmu bahasa, dan ilmu insan lainnya. Dan kalau sebentar lagi akan dikatakan bahwa strukturalisme Prancis memiliki relasi dengan suatu perkembangan dalam ilmu bahasa, harus diperhatikan juga bahwa dalam ilmu bahasa pun kata "strukturalisme" digunakan dengan banyak sekali cara; contohnya di situ terdapat apa yang disebut "strukturalisme Amerika" (Fr. Boas, E. Sapir, B. Whorf) yang tidak berkaitan dengan apa yang dimaksudkan dengan "strukturalisme" di Prancis.
Kedua, sanggup dipersoalkan apakah strukturalisme Prancis merupakan suatu pemikiran di bidang filsafat begitu saja. Misalnya Claude Levi-Strauss*, yang dikenal sebagai "bapak strukturalisme Prancis" ialah spesialis antropologi budaya dan bukan filsuf. Rupanya tidak gampang untuk memilih identitas seorang strukturalis.
Ketiga, dari orang-orang yang digolongkan dalam kelompok strukturalis, hampir tidak ada yang merasa bahagia dengan sebutan itu. Seperti akan kita lihat lagi, beberapa di antara mereka dengan tegas menolak sebutan "strukturalis".
Di sini dengan "strukturalisme" dimaksudkan sekelompok pemikir yang menarik banyak perhatian sekitar tahun 60-an. Mereka tidak semua filsuf profesional, tetapi-kalau begitu-tidak sanggup disangkal adanya implikasi filosofis dalam karya-karya mereka. Strukturalisme menjadi suatu mode filosofis di Prancis pada tahun 60-an. Itu tentu tidak berarti bahwa sehabis dasawarsa 60-an pemikiran itu lenyap dengan mendadak, namun masa kejayaannya dalam dasawarsa berikut niscaya sudah lewat.
Barangkali tidak ada negara di mana filsafat sanggup mencapai taraf mode menyerupai di Prancis. Di sana, ternyata tidak hanya terdapat mode dibidang haute couture atau adibusana (pembuatan pakaian yang eksklusif), tetapi juga dibidang intelektual. Tepat sehabis Perang Dunia II eksistensialisme terang sekali memiliki ciri-ciri suatu mode intelektual. Pada waktu itu setiap orang yang tidak mau ketinggalan zaman berusaha untuk berpikir dan berbicara dengan gaya eksistensialistis. Demikian halnya juga dengan strukturalisme pada tahun 60-an. Secara agak umum dosen-dosen muda dan mahasiswa-mahasiswa dihinggapi mode intelektual yang gres itu dan dengan demikian terang bereaksi terhadap eksistensialisme Sartre* sebagai mode dari periode sebelumnya. Dalam kalangan lebih terbatas strukturalisme dikemukakan juga sebagai reaksi melawan fenomenologi yang di Prancis tentu berkaitan bersahabat dengan eksistensialisme.
Sebetulnya kepopuleran tokoh-tokoh strukturalisme ini sanggup mengherankan kita, jikalau kita menyadari tingkat kesulitan karya-karya mereka. Tokoh-tokoh itu tidak lagi menghadapi publik luas dengan karangan-karangan sastra (novel, drama, otobiografi, skenario film, dan sebagainya) sebagaimana banyak eksistensialis dulu. Suatu kekecualian ialah otobiografi Levi Strauss* yang akan sedikit kita uraikan ke depan. Bila kadang kala tokoh-tokoh strukturalisme mencari kontak dengan publik lebih luas, hal itu terjadi melalui wawancara-wawancara dalam beberapa majalah di mana mereka menjelaskan latar belakang dan motif-motif karya mereka.
Di bawah ini akan dibicarakan beberapa pemikir yang sekitar tahun 60-an secara umum digolongkan dalam strukturalisme. Dua di antara mereka telah dan akan dipaparkan lagi pada postingan sebelum dan yang akan datang, alasannya ialah kemudian hari ternyata pemikiran mereka mustahil dibatasi pada strukturalisme saja. Jadi, di sini kami hanya melukiskan penampilan mereka dalam cakrawala filsafat Prancis tahun 60-an. Lalu akan dibentangkan beberapa tema yang dipermasalahkan oleh strukturalisme-tema-tema yang sangat hakiki untuk filsafat sebelumnya. Akhirnya akan diperkenalkan beberapa unsur kritik yang telah dikemukakan terhadap pemikiran strukturalistis.
Kendati demikian, terlebih dahulu harus diberi perhatian kepada suatu pokok pembicaraan yang sepintas kemudian rupanya kurang bersangkut paut dengan filsafat, yaitu pembaharuan dalam ilmu bahasa yang dirintis oleh Ferdinan de Sausure*. Kiranya akan menjadi terang lagi bahwa teori linguistik Sausure* itu merupakan pengikat utama yang mempersatukan tokoh-tokoh strukturalisme dalam pemikiran yang sama. Walaupun terdapat banyak perbedaan antara pemikir-pemikir yang dinamakan strukturalis, terdapat titik persamaan, yaitu bahwa mereka semua memiliki kaitan tertentu dengan prinsip-prinsip dasar linguistik Saussure*. Karena itu, tidak jarang sanggup didengar bahwa strukturalisme Prancis intinya tidak berbuat lain daripada memakai linguistik Saussure* sebagai model dan menerapkannya pada bidang-bidang lain di luar bahasa.
Download di Sini
Sumber:
Bertens. K. "Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.
Kedua, sanggup dipersoalkan apakah strukturalisme Prancis merupakan suatu pemikiran di bidang filsafat begitu saja. Misalnya Claude Levi-Strauss*, yang dikenal sebagai "bapak strukturalisme Prancis" ialah spesialis antropologi budaya dan bukan filsuf. Rupanya tidak gampang untuk memilih identitas seorang strukturalis.
Ketiga, dari orang-orang yang digolongkan dalam kelompok strukturalis, hampir tidak ada yang merasa bahagia dengan sebutan itu. Seperti akan kita lihat lagi, beberapa di antara mereka dengan tegas menolak sebutan "strukturalis".
Di sini dengan "strukturalisme" dimaksudkan sekelompok pemikir yang menarik banyak perhatian sekitar tahun 60-an. Mereka tidak semua filsuf profesional, tetapi-kalau begitu-tidak sanggup disangkal adanya implikasi filosofis dalam karya-karya mereka. Strukturalisme menjadi suatu mode filosofis di Prancis pada tahun 60-an. Itu tentu tidak berarti bahwa sehabis dasawarsa 60-an pemikiran itu lenyap dengan mendadak, namun masa kejayaannya dalam dasawarsa berikut niscaya sudah lewat.
Barangkali tidak ada negara di mana filsafat sanggup mencapai taraf mode menyerupai di Prancis. Di sana, ternyata tidak hanya terdapat mode dibidang haute couture atau adibusana (pembuatan pakaian yang eksklusif), tetapi juga dibidang intelektual. Tepat sehabis Perang Dunia II eksistensialisme terang sekali memiliki ciri-ciri suatu mode intelektual. Pada waktu itu setiap orang yang tidak mau ketinggalan zaman berusaha untuk berpikir dan berbicara dengan gaya eksistensialistis. Demikian halnya juga dengan strukturalisme pada tahun 60-an. Secara agak umum dosen-dosen muda dan mahasiswa-mahasiswa dihinggapi mode intelektual yang gres itu dan dengan demikian terang bereaksi terhadap eksistensialisme Sartre* sebagai mode dari periode sebelumnya. Dalam kalangan lebih terbatas strukturalisme dikemukakan juga sebagai reaksi melawan fenomenologi yang di Prancis tentu berkaitan bersahabat dengan eksistensialisme.
Sebetulnya kepopuleran tokoh-tokoh strukturalisme ini sanggup mengherankan kita, jikalau kita menyadari tingkat kesulitan karya-karya mereka. Tokoh-tokoh itu tidak lagi menghadapi publik luas dengan karangan-karangan sastra (novel, drama, otobiografi, skenario film, dan sebagainya) sebagaimana banyak eksistensialis dulu. Suatu kekecualian ialah otobiografi Levi Strauss* yang akan sedikit kita uraikan ke depan. Bila kadang kala tokoh-tokoh strukturalisme mencari kontak dengan publik lebih luas, hal itu terjadi melalui wawancara-wawancara dalam beberapa majalah di mana mereka menjelaskan latar belakang dan motif-motif karya mereka.
Di bawah ini akan dibicarakan beberapa pemikir yang sekitar tahun 60-an secara umum digolongkan dalam strukturalisme. Dua di antara mereka telah dan akan dipaparkan lagi pada postingan sebelum dan yang akan datang, alasannya ialah kemudian hari ternyata pemikiran mereka mustahil dibatasi pada strukturalisme saja. Jadi, di sini kami hanya melukiskan penampilan mereka dalam cakrawala filsafat Prancis tahun 60-an. Lalu akan dibentangkan beberapa tema yang dipermasalahkan oleh strukturalisme-tema-tema yang sangat hakiki untuk filsafat sebelumnya. Akhirnya akan diperkenalkan beberapa unsur kritik yang telah dikemukakan terhadap pemikiran strukturalistis.
Kendati demikian, terlebih dahulu harus diberi perhatian kepada suatu pokok pembicaraan yang sepintas kemudian rupanya kurang bersangkut paut dengan filsafat, yaitu pembaharuan dalam ilmu bahasa yang dirintis oleh Ferdinan de Sausure*. Kiranya akan menjadi terang lagi bahwa teori linguistik Sausure* itu merupakan pengikat utama yang mempersatukan tokoh-tokoh strukturalisme dalam pemikiran yang sama. Walaupun terdapat banyak perbedaan antara pemikir-pemikir yang dinamakan strukturalis, terdapat titik persamaan, yaitu bahwa mereka semua memiliki kaitan tertentu dengan prinsip-prinsip dasar linguistik Saussure*. Karena itu, tidak jarang sanggup didengar bahwa strukturalisme Prancis intinya tidak berbuat lain daripada memakai linguistik Saussure* sebagai model dan menerapkannya pada bidang-bidang lain di luar bahasa.
Download di Sini
Baca Juga
Sumber:
Bertens. K. "Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.