Nicolai Hartmann (1882-1950)
Tujuan seluruh perjuangan filosofis Hartmann ialah membuat suatu ontologi baru, suatu anutan ihwal Ada. Ia yakin bahwa Ada merupakan suatu wilayah yang patut dijadikan objek penelitian kritis dan ilmiah. Dalam perjuangan ini ia selalu mencari kontak dengan tradisi filsafat yang amat luas, baik zaman purba maupun zaman modern. Dari zaman purba tidak ada tokoh yang lebih akrab dengan pemikirannya daripada Aristoteles*. Tetapi filsafat Hartmann tidak membatasi diri pada tradisi; ia tidak bermaksud kembali salah satu aliran dari masa lampau. Sifatnya tidak merupakan suatu neoaristotelisme umpamanya. Dengan menimba dari suatu tradisi filsafat yang amat kaya, ia ingin membuka jalan-jalan gres bagi ontologi kini ini. Dalam pada itu ia tidak mengasingkan diri terhadap perkembangan pengetahuan orang modern, alasannya ialah dalam karya-karyanya diperlihatkan pengetahuan yang mendalam ihwal ilmu pengetahuan modern.
Usaha untuk membuat ontologi gres harus dilihat sebagai reaksi melawan neokantianisme. Hartmann sebagai filsuf didik di Marburg dalam suasana neokantianisme. Dan mula-mula pemikirannya dijalankan dalam kerangka aliran ini. Tetapi sudah agak cepat idealisme logis dari Mazhab Marburg tidak memuaskan lagi bagi dia. Hartman mulai menjauhkan diri dari neokantianisme dengan suatu buku yang membahas tema yang selalu menerima prioritas dalam kalangan neokantianisme, yaitu pengenalan manusiawi. Yang dimaksudkan ialah Metafisika pengenalan berdasarkan garis besarnya (1921). Tesis pokok Hartmann dalam buku ini ialah bahwa si subjek dalam pengenalan tidak memproduksi objeknya, melainkan menangkap (erfassen) objek yang ada terlepas dari subjek. Bagi neokantianisme objek pengenalan tergantung dari subjek, sedangkan berdasarkan Hartmann pengenalan hanya mungkin, jikalau objek itu tidak tergantung dari subjek. Adalah suatu ciri khas pengenalan insan bahwa objek memperlihatkan diri kepada subjek. Atau dengan perkataan lebih teknis, objek itu transenden terhadap subjek. Tesis ini ditemukan Hartmann melalui metode fenomenologis, alasannya ialah untuk memilih kodrat pengenalan dilarang kita dasari diri atas satu evidensi saja (seperti cogito ergo sum pada Descartes*), tetapi kita harus mempelajari banyak fenomena. Tetapi Hartmann beropini juga bahwa fenomenologi saja tidak cukup untuk memecahkan kasus pengenalan. Menurut dia, fenomenologi dilarang menjadi suatu filsafat yang mengambil pendirian dalam dilema idealisme atau realisme (jadi, kasus yang mempersoalkan ada tidaknya suatu dunia di luar subjek terlepas dari subjek) dan beropini bahwa Husserl* jatuh dalam idealisme semenjak bukunya Ideen I (1913). Dalam kasus idealisme atau realisme, fenomenologi harus tetap netral. Bagi Hartmann fenomenologi hanya merupakan suatu persiapan saja, satu langkah pertama yang harus diikuti oleh langkah-langkah lain lagi.
Langkah kedua yang ditempuh dalam Metafisika pengenalan diberi nama “aporetika”, suatu nama yang digunakan Aristoteles* untuk memperlihatkan metode yang digunakan dalam Metaphysica dan Physica. Metode ini dihidupkan kembali oleh Hartmann. Melalui langkah ini sanggup dipelajari dan disadarkan semua problem dan kesulitan yang menyangkut pengenalan. Baru sesudah fenomena-fenomena dan problem-problem diuraikan serta dijelaskan, dalam suatu langkah ketiga dan terakhir sanggup diusahakan pemecahan-pemecahan. Langkah terakhir ini disebut “teori pengenalan”. Tetapi secara apriori tidak sanggup dipastikan bahwa setiap problem sanggup dipecahkan juga. Itulah suatu prasangka rasional. Di sini ihwal pengenalan dan kemudian dalam ontologinya, ia tidak berusaha mengemukakan pemecahan bagi setiap problem dengan cara bagaimanapun juga. Ia mengakui adanya hal-hal yang irasional—“yang metafisis”, katanya—yang ditanyakan sepanjang sejarah manusia, tetapi mustahil dipecahkan secara definitif.
Metafisika pengenalan membawa Hartmann kepada “yang ada”. Dalam hal ini dengan tegas ia menolak reduksi transendental Husserl*, artinya, perjuangan untuk menjabarkan “yang ada” dari being in itself menjadi being for me. Menurut pandangan Hartmann, dengan itu Husserl* telah mengkhianati kiprah fenomenologi yang sebenarnya, yaitu menghantar kita pada yang ada. Karena Hartman mengakui Ada yang bangkit sendiri, maka menjadi tema ontologi untuk memeriksa struktur-struktur dan penyusunan dari “yang ada” atau dengan lain perkataan struktur-struktur dunia real. Bukankah dengan itu Hartmann jatuh kembali dalam suatu realisme naif yang tidak tahu menahu ihwal keberhasilan kritisisme Kant*? Tidak. Ontologi sebelum Kant* terlalu banyak dicampurkan dengan logika, sehingga ontologi itu menjadi suatu anutan ihwal bentuk-bentuk, dalam arti esensi dan substansi. Kant* telah membuka mata kita bagi kelemahan-kelemahan ontologi usang itu, tetapi berdasarkan Hartmann hal itu tidak berarti bahwa kritisisme Kant* menutup jalan bagi setiap macam ontologi. Hartmann mau merancang ontologi yang mempertimbangkan dan memanfaatkan kritik Kant*.
Sebelum ia melakukan aktivitas ontologinya, Hartmann mengerjakan etikanya. Tetapi itu tidak berarti bahwa Etika (1926) sama sekali terlepas dari pendirian ontologisnya di masa mendatang. Dalam buku ini—karya Hartmann yang paling panjang dan salah satu buku terpenting ihwal adat dalam filsafat kala ke-20—tidak jarang kita menemui unsur-unsur pemikiran yang menunjuk kepada ontologi yang akan dikembangkan dikemudian hari. Buku Etika terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama, yang disebut “Fenomenologi moral”, menganalisis fenomena-fenomena moral. Bagian kedua, yang diberi nama “Aksiologi”, secara mendetail membahas cakrawala nilai-nilai moral. Metode yang diikuti dalam bab pertama dan kedua ini tidak lain daripada metode fenomenologis. Bagian ketiga dan terakhir berjulukan “Metafisika moral”. Bagian ini membicarakan kasus kebebasan. Besar sekalilah efek Scheler* atas pemikiran Hartman dalam karya ini, terutama dalam analisis mengenai nilai-nilai. Tetapi pembahasan Hartman ini lebih teliti dan sistematis daripada yang kita baca pada Scheler*. Suatu perbedaan lain dengan Scheler* ialah bahwa Hartmann secara ketat memisahkan adat dari agama. Jika pada Scheler* “yang kudus” merupakan nilai tertinggi, pada Hartmann nilai-nilai religius sudah tidak muncul lagi. Juga uraian ihwal persona, yang dianggap begitu penting oleh Scheler*, dalam adat Hartmann tidak menerima daerah lagi. Dapat dikatakan bahwa barangkali filsafat agama merupakan satu-satunya cabang filsafat yang tidak pernah dikaji oleh Hartmann. Pendiriannya di bidang agama ialah ateisme, tetapi dalam hal ini ia tidak pernah menjadi agresif.
Ontologi Hartman dikembangkan dalam empat buku yang bekerjasama erat satu sama lain: Demi pendasaran ontologi, Kemungkinan dan kenyataan, Konstruksi dunia real, dan Filsafat alam. Tertralogi ontologis ini sanggup dianggap sebagai prestasi Hartman yang terbesar sebagai filusuf. Pada umumnya sanggup dikatakan bahwa kiprah ontologi bagi Hartmann masih tetap sama menyerupai bagi ontologi klasik Aristoteles*, yaitu mempelajari yang ada sejauh ada (being as being). Tetapi masalah-masalah yang menyangkut Allah, kebakaan jiwa, dan sebagainya tidak disinggung olehnya. Masalah-masalah serupa itu bagi Hartman merupakan masalah-masalah “metafisis”, artinya, memang berkaitan dengan pengetahuan ilmiah, tetapi mustahil dipecahkan dengan metode ilmiah. Secara singkat kami menyebut persoalan-persoalan yang dibicarakan dalam empat buku tersebut. Buku pertama memandang yang ada sejauh ada (jadi, yang paling umum yang sanggup dikatakan segala sesuatu yang ada), tetapi juga eksistensi (Dasein) dan esensi (Sosein) yang disebut Seinsmomente (momen-momen dari yang ada), lagi banyak sekali cara berada (Seinsweisen) yang ditunjukkan oleh sebutan menyerupai “real” dan “ideal”. Buku kedua membicarakan modalitas-modalitas di bidang Ada (Seinsmodi) menyerupai kemungkinan dan kebetulan, ketidakmungkinan dan ketidakrelaan. Buku ketiga dan buku keempat membahas kategori-kategori yang menyangkut lapisan-lapisan (Schichten) paling mendasar yang sanggup dibedakan dalam dunia real. Dan dalam buku keempat secara khusus dibentangkan ihwal kategori-kategori yang menyangkut suatu wilayah yang terbatas, yaitu alam. Akhirnya masih ada kategori-kategori yang menyangkut fenomena-fenomena kultural, yang sudah dibahas dalam suatu buku yang mendahului tetralogi tadi, yaitu Fenomena-fenomena kultural sebagai problem.
Dengan ini hanya disebut tema-tema terpenting yang disinggung dalam ontologi Hartmann. Tetapi inventarisasi singkat ini kiranya sudah cukup untuk menawarkan kesan ihwal corak sistematis pemikiran ini. Di sini mustahil membicarakan detail-detail. Hanya satu hal lagi boleh diberi perhatian khusus, yaitu anutan ihwal lapisan-lapisan (Schichte) dalam realitas. Hal ini dibentangkan dalam Konstruksi dunia real. Menurut Hartmann, struktur dunia real memperlihatkan empat “lapisan” atau “taraf”: materi, kehidupan, psike, dan roh. Hartman ingin menganalisis kategori-kategori atau ciri-ciri khas yang menandai lapisan-lapisan tersebut. Dalam analisis ini ia memakai banyak unsur dari tradisi filosofis (terutama Aristoteles*, Kant*, dan Hegel*) di samping hasil-hasil ilmu pengetahuan modern, baik ilmu pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan manusia. Dengan membedakan empat lapisan dalam dunia real, Hartmann mengharap sanggup mengatasi dualisme Descartes* (realitas terbagi atas dua hal: pemikiran dan uang) yang dengan begitu mendalam menghipnotis filsafat modern, dan juga segala macam monisme yang mengasalkan realitas kepada materi atau kehidupan atau psike atau roh. Seluruh anutan ini dengan terang memperlihatkan kecenderungan pada pluralisme yang menandai pemikiran Hartmann.
Dalam studi ihwal lapisan-lapisan tersebut terutama dua hal menarik perhatian Hartmann: ciri-ciri konstitutif yang terdapat pada setiap lapisan; kedua, pertautan satu sama lain antara keempat lapisan. Tentang ciri-ciri konstitutif tadi sanggup dicatat bahwa bagi Hartmann mempelajari keempat lapisan dalam realitas tidak sama dengan studi ihwal mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia. Hal-hal ini oleh Hartmann dinamakan bentukan-bentukan atau formasi-formasi (Gebilde). Suatu bentukan tidak sama dengan suatu lapisan, lantaran hanya sanggup dimengerti berdasarkan struktur-struktur yang menandai suatu lapisan dan hubungan satu sama lain antara lapisan-lapisan. Manusia, misalnya, ialah bentukan yang berdasarkan pada keempat lapisan. Maka dari itu Hartman ingin mempelajari kategori-kategori yang memilih suatu lapisan menjadi lapisan itu. Dengan kata lain, ia mencari ciri-ciri konstitutif suatu lapisan. Demikian, misalnya, lapisan kehidupan (atau lapisan organis) antara lain ditandai oleh kategori-kategori organisasi (penyusunan), pembiasaan dan auto-regulasi.
Ruang ialah kategori yang terdapat pada kedua lapisan terendah saja. Ada juga kategori-kategori yang terdapat pada semua lapisan (biarpun tidak dengan cara yang sama), menyerupai waktu, determinasi (penentuan), dan ketergantungan. Kelemahan ontologi-ontologi usang ialah bahwa mereka memperluas kategori-kategori yang berlaku bagi satu lapisan saja hingga pada lapisan-lapisan lain juga.
Pertautan antara lapisan-lapisan itu dijamin oleh kategori-kategori yang terdapat pada semua lapisan oleh hukum-hukum yang menguasai hubungan lapisan-lapisan satu sama lain. Dengan teliti Hartmann mempelajari hukum-hukum itu. Sebagai hasil penelitian itu antara lain sanggup disebut bahwa kategori-kategori yang terdapat pada beberapa lapisan selalu memilih lapisan-lapisan dari bawah ke atas dan tidak sebaliknya (jadi, berasal dari lapisan lebih rendah); bahwa kategori-kategori yang sama selalu mengalami perubahan, kalau terdapat pada lapisan yang berlain-lainan; bahwa kekhususan suatu lapisan lebih tinggi selalu disertai dengan suatu yang gres di bidang kategori-kategori; bahwa ketergantungan satu lapisan terhadap lapisan lain sanggup menyangkut eksistensi atau isi lapisan-lapisan; bahwa lapisan yang paling rendah lebih “kuat” daripada lapisan yang paling tinggi, sedangkan lapisan yang paling tinggi lebih “lemah”, tetapi juga lebih “bebas” daripada yang paling rendah.
Bisa saja diperkirakan betapa pentingnya seluruh analisis ini untuk pengertian Hartman ihwal manusia. Manusia seolah-olah berpartisipasi pada semua tahap; materi maupun kehidupan, kesadaran maupun roh. Seperti sudah dikatakan dalam filsafat Yunani, insan sanggup disebut “mikrokosmos”; seluruh realitas dalam bentuk “mini”. Ia terpaksa tunduk pada kekuatan dari “yang lebih rendah”, namun menyatakan keunggulan dari “yang lebih tinggi”. Dengan demikian di bidang insan pula sanggup kita hindari dualisme Kartesian yang menghantui pemikiran begitu banyak filsuf modern.
Download di Sini
Baca Juga
Nicolai Hartmann. Biografi dan Karya
Sumber
Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman. Gramedia. Jakarta
Usaha untuk membuat ontologi gres harus dilihat sebagai reaksi melawan neokantianisme. Hartmann sebagai filsuf didik di Marburg dalam suasana neokantianisme. Dan mula-mula pemikirannya dijalankan dalam kerangka aliran ini. Tetapi sudah agak cepat idealisme logis dari Mazhab Marburg tidak memuaskan lagi bagi dia. Hartman mulai menjauhkan diri dari neokantianisme dengan suatu buku yang membahas tema yang selalu menerima prioritas dalam kalangan neokantianisme, yaitu pengenalan manusiawi. Yang dimaksudkan ialah Metafisika pengenalan berdasarkan garis besarnya (1921). Tesis pokok Hartmann dalam buku ini ialah bahwa si subjek dalam pengenalan tidak memproduksi objeknya, melainkan menangkap (erfassen) objek yang ada terlepas dari subjek. Bagi neokantianisme objek pengenalan tergantung dari subjek, sedangkan berdasarkan Hartmann pengenalan hanya mungkin, jikalau objek itu tidak tergantung dari subjek. Adalah suatu ciri khas pengenalan insan bahwa objek memperlihatkan diri kepada subjek. Atau dengan perkataan lebih teknis, objek itu transenden terhadap subjek. Tesis ini ditemukan Hartmann melalui metode fenomenologis, alasannya ialah untuk memilih kodrat pengenalan dilarang kita dasari diri atas satu evidensi saja (seperti cogito ergo sum pada Descartes*), tetapi kita harus mempelajari banyak fenomena. Tetapi Hartmann beropini juga bahwa fenomenologi saja tidak cukup untuk memecahkan kasus pengenalan. Menurut dia, fenomenologi dilarang menjadi suatu filsafat yang mengambil pendirian dalam dilema idealisme atau realisme (jadi, kasus yang mempersoalkan ada tidaknya suatu dunia di luar subjek terlepas dari subjek) dan beropini bahwa Husserl* jatuh dalam idealisme semenjak bukunya Ideen I (1913). Dalam kasus idealisme atau realisme, fenomenologi harus tetap netral. Bagi Hartmann fenomenologi hanya merupakan suatu persiapan saja, satu langkah pertama yang harus diikuti oleh langkah-langkah lain lagi.
Langkah kedua yang ditempuh dalam Metafisika pengenalan diberi nama “aporetika”, suatu nama yang digunakan Aristoteles* untuk memperlihatkan metode yang digunakan dalam Metaphysica dan Physica. Metode ini dihidupkan kembali oleh Hartmann. Melalui langkah ini sanggup dipelajari dan disadarkan semua problem dan kesulitan yang menyangkut pengenalan. Baru sesudah fenomena-fenomena dan problem-problem diuraikan serta dijelaskan, dalam suatu langkah ketiga dan terakhir sanggup diusahakan pemecahan-pemecahan. Langkah terakhir ini disebut “teori pengenalan”. Tetapi secara apriori tidak sanggup dipastikan bahwa setiap problem sanggup dipecahkan juga. Itulah suatu prasangka rasional. Di sini ihwal pengenalan dan kemudian dalam ontologinya, ia tidak berusaha mengemukakan pemecahan bagi setiap problem dengan cara bagaimanapun juga. Ia mengakui adanya hal-hal yang irasional—“yang metafisis”, katanya—yang ditanyakan sepanjang sejarah manusia, tetapi mustahil dipecahkan secara definitif.
Metafisika pengenalan membawa Hartmann kepada “yang ada”. Dalam hal ini dengan tegas ia menolak reduksi transendental Husserl*, artinya, perjuangan untuk menjabarkan “yang ada” dari being in itself menjadi being for me. Menurut pandangan Hartmann, dengan itu Husserl* telah mengkhianati kiprah fenomenologi yang sebenarnya, yaitu menghantar kita pada yang ada. Karena Hartman mengakui Ada yang bangkit sendiri, maka menjadi tema ontologi untuk memeriksa struktur-struktur dan penyusunan dari “yang ada” atau dengan lain perkataan struktur-struktur dunia real. Bukankah dengan itu Hartmann jatuh kembali dalam suatu realisme naif yang tidak tahu menahu ihwal keberhasilan kritisisme Kant*? Tidak. Ontologi sebelum Kant* terlalu banyak dicampurkan dengan logika, sehingga ontologi itu menjadi suatu anutan ihwal bentuk-bentuk, dalam arti esensi dan substansi. Kant* telah membuka mata kita bagi kelemahan-kelemahan ontologi usang itu, tetapi berdasarkan Hartmann hal itu tidak berarti bahwa kritisisme Kant* menutup jalan bagi setiap macam ontologi. Hartmann mau merancang ontologi yang mempertimbangkan dan memanfaatkan kritik Kant*.
Sebelum ia melakukan aktivitas ontologinya, Hartmann mengerjakan etikanya. Tetapi itu tidak berarti bahwa Etika (1926) sama sekali terlepas dari pendirian ontologisnya di masa mendatang. Dalam buku ini—karya Hartmann yang paling panjang dan salah satu buku terpenting ihwal adat dalam filsafat kala ke-20—tidak jarang kita menemui unsur-unsur pemikiran yang menunjuk kepada ontologi yang akan dikembangkan dikemudian hari. Buku Etika terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama, yang disebut “Fenomenologi moral”, menganalisis fenomena-fenomena moral. Bagian kedua, yang diberi nama “Aksiologi”, secara mendetail membahas cakrawala nilai-nilai moral. Metode yang diikuti dalam bab pertama dan kedua ini tidak lain daripada metode fenomenologis. Bagian ketiga dan terakhir berjulukan “Metafisika moral”. Bagian ini membicarakan kasus kebebasan. Besar sekalilah efek Scheler* atas pemikiran Hartman dalam karya ini, terutama dalam analisis mengenai nilai-nilai. Tetapi pembahasan Hartman ini lebih teliti dan sistematis daripada yang kita baca pada Scheler*. Suatu perbedaan lain dengan Scheler* ialah bahwa Hartmann secara ketat memisahkan adat dari agama. Jika pada Scheler* “yang kudus” merupakan nilai tertinggi, pada Hartmann nilai-nilai religius sudah tidak muncul lagi. Juga uraian ihwal persona, yang dianggap begitu penting oleh Scheler*, dalam adat Hartmann tidak menerima daerah lagi. Dapat dikatakan bahwa barangkali filsafat agama merupakan satu-satunya cabang filsafat yang tidak pernah dikaji oleh Hartmann. Pendiriannya di bidang agama ialah ateisme, tetapi dalam hal ini ia tidak pernah menjadi agresif.
Ontologi Hartman dikembangkan dalam empat buku yang bekerjasama erat satu sama lain: Demi pendasaran ontologi, Kemungkinan dan kenyataan, Konstruksi dunia real, dan Filsafat alam. Tertralogi ontologis ini sanggup dianggap sebagai prestasi Hartman yang terbesar sebagai filusuf. Pada umumnya sanggup dikatakan bahwa kiprah ontologi bagi Hartmann masih tetap sama menyerupai bagi ontologi klasik Aristoteles*, yaitu mempelajari yang ada sejauh ada (being as being). Tetapi masalah-masalah yang menyangkut Allah, kebakaan jiwa, dan sebagainya tidak disinggung olehnya. Masalah-masalah serupa itu bagi Hartman merupakan masalah-masalah “metafisis”, artinya, memang berkaitan dengan pengetahuan ilmiah, tetapi mustahil dipecahkan dengan metode ilmiah. Secara singkat kami menyebut persoalan-persoalan yang dibicarakan dalam empat buku tersebut. Buku pertama memandang yang ada sejauh ada (jadi, yang paling umum yang sanggup dikatakan segala sesuatu yang ada), tetapi juga eksistensi (Dasein) dan esensi (Sosein) yang disebut Seinsmomente (momen-momen dari yang ada), lagi banyak sekali cara berada (Seinsweisen) yang ditunjukkan oleh sebutan menyerupai “real” dan “ideal”. Buku kedua membicarakan modalitas-modalitas di bidang Ada (Seinsmodi) menyerupai kemungkinan dan kebetulan, ketidakmungkinan dan ketidakrelaan. Buku ketiga dan buku keempat membahas kategori-kategori yang menyangkut lapisan-lapisan (Schichten) paling mendasar yang sanggup dibedakan dalam dunia real. Dan dalam buku keempat secara khusus dibentangkan ihwal kategori-kategori yang menyangkut suatu wilayah yang terbatas, yaitu alam. Akhirnya masih ada kategori-kategori yang menyangkut fenomena-fenomena kultural, yang sudah dibahas dalam suatu buku yang mendahului tetralogi tadi, yaitu Fenomena-fenomena kultural sebagai problem.
Dengan ini hanya disebut tema-tema terpenting yang disinggung dalam ontologi Hartmann. Tetapi inventarisasi singkat ini kiranya sudah cukup untuk menawarkan kesan ihwal corak sistematis pemikiran ini. Di sini mustahil membicarakan detail-detail. Hanya satu hal lagi boleh diberi perhatian khusus, yaitu anutan ihwal lapisan-lapisan (Schichte) dalam realitas. Hal ini dibentangkan dalam Konstruksi dunia real. Menurut Hartmann, struktur dunia real memperlihatkan empat “lapisan” atau “taraf”: materi, kehidupan, psike, dan roh. Hartman ingin menganalisis kategori-kategori atau ciri-ciri khas yang menandai lapisan-lapisan tersebut. Dalam analisis ini ia memakai banyak unsur dari tradisi filosofis (terutama Aristoteles*, Kant*, dan Hegel*) di samping hasil-hasil ilmu pengetahuan modern, baik ilmu pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan manusia. Dengan membedakan empat lapisan dalam dunia real, Hartmann mengharap sanggup mengatasi dualisme Descartes* (realitas terbagi atas dua hal: pemikiran dan uang) yang dengan begitu mendalam menghipnotis filsafat modern, dan juga segala macam monisme yang mengasalkan realitas kepada materi atau kehidupan atau psike atau roh. Seluruh anutan ini dengan terang memperlihatkan kecenderungan pada pluralisme yang menandai pemikiran Hartmann.
Dalam studi ihwal lapisan-lapisan tersebut terutama dua hal menarik perhatian Hartmann: ciri-ciri konstitutif yang terdapat pada setiap lapisan; kedua, pertautan satu sama lain antara keempat lapisan. Tentang ciri-ciri konstitutif tadi sanggup dicatat bahwa bagi Hartmann mempelajari keempat lapisan dalam realitas tidak sama dengan studi ihwal mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia. Hal-hal ini oleh Hartmann dinamakan bentukan-bentukan atau formasi-formasi (Gebilde). Suatu bentukan tidak sama dengan suatu lapisan, lantaran hanya sanggup dimengerti berdasarkan struktur-struktur yang menandai suatu lapisan dan hubungan satu sama lain antara lapisan-lapisan. Manusia, misalnya, ialah bentukan yang berdasarkan pada keempat lapisan. Maka dari itu Hartman ingin mempelajari kategori-kategori yang memilih suatu lapisan menjadi lapisan itu. Dengan kata lain, ia mencari ciri-ciri konstitutif suatu lapisan. Demikian, misalnya, lapisan kehidupan (atau lapisan organis) antara lain ditandai oleh kategori-kategori organisasi (penyusunan), pembiasaan dan auto-regulasi.
Pertautan antara lapisan-lapisan itu dijamin oleh kategori-kategori yang terdapat pada semua lapisan oleh hukum-hukum yang menguasai hubungan lapisan-lapisan satu sama lain. Dengan teliti Hartmann mempelajari hukum-hukum itu. Sebagai hasil penelitian itu antara lain sanggup disebut bahwa kategori-kategori yang terdapat pada beberapa lapisan selalu memilih lapisan-lapisan dari bawah ke atas dan tidak sebaliknya (jadi, berasal dari lapisan lebih rendah); bahwa kategori-kategori yang sama selalu mengalami perubahan, kalau terdapat pada lapisan yang berlain-lainan; bahwa kekhususan suatu lapisan lebih tinggi selalu disertai dengan suatu yang gres di bidang kategori-kategori; bahwa ketergantungan satu lapisan terhadap lapisan lain sanggup menyangkut eksistensi atau isi lapisan-lapisan; bahwa lapisan yang paling rendah lebih “kuat” daripada lapisan yang paling tinggi, sedangkan lapisan yang paling tinggi lebih “lemah”, tetapi juga lebih “bebas” daripada yang paling rendah.
Bisa saja diperkirakan betapa pentingnya seluruh analisis ini untuk pengertian Hartman ihwal manusia. Manusia seolah-olah berpartisipasi pada semua tahap; materi maupun kehidupan, kesadaran maupun roh. Seperti sudah dikatakan dalam filsafat Yunani, insan sanggup disebut “mikrokosmos”; seluruh realitas dalam bentuk “mini”. Ia terpaksa tunduk pada kekuatan dari “yang lebih rendah”, namun menyatakan keunggulan dari “yang lebih tinggi”. Dengan demikian di bidang insan pula sanggup kita hindari dualisme Kartesian yang menghantui pemikiran begitu banyak filsuf modern.
Download di Sini
Baca Juga
Nicolai Hartmann. Biografi dan Karya
Sumber
Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman. Gramedia. Jakarta