Filsafat Kehendak. Paul Ricoeur
Konon sebagai mahasiswa muda dan sebelum berkenalan dengan pemikiran Husserl*, Ricour sudah memiliki impian akan menjadi orang pertama di tanah air Descartes dan daerah lahir intelektualisme, yang membuat suatu filsafat kehendak. Jilid pertama dari Filsafat kehendak diberi judul khusus Yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki. Dalam jilid ini Ricoeur ingin menyajikan suatu “deskripsi murni” perihal kehendak dan aktus-aktusnya. Konkret itu berarti suatu perjuangan untuk melukiskan struktur-struktur mendasar dari apa yang dikehendaki insan dan unsur-unsur dalam eksistensinya yang tidak bergantung pada kehendaknya, alasannya ialah kehendak selalu beraksi dalam suatu lingkungan yang tidak dikehendaki.
Manusia selalu terbentur pada oposisi antara kebebasan dan keniscayaan; selalu ada relasi timbal balik antara yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki. Dan yang tidak dikehendaki itu harus dimengerti dengan bertitik tolak dari subjek, alasannya ialah unsur yang pertama ialah bahwa saya mengerti diri saya sebagai “saya berkehendak” (volo, sejajar dengan cogito Descartes*).
Untuk melaksanakan proyek ini Ricoeur memakai metode fenomenologi Husserl*. Atau lebih tepat lagi sanggup dikatakan, ia memakai belahan metode Husserl yang mencari eidos atau hakikat sesuatu. Ia ingin menawarkan suatu “eidetika” perihal kehendak, suatu pelukisan tentang eidos kehendak. Untuk itu perlu diadakan dua abstraksi, yang kiranya mengingatkan kita pada “reduksi” dalam filsafat Husserl*, namun dihentikan disamakan begitu saja dengan berfungsinya reduksi dalam pemikiran pendiri fenomenologi itu.
Karena ia ingin menawarkan suatu deskripsi murni perihal kehendak, lebih dahulu harus ditempatkan dalam tanda kurung problem kesalahan etis (faute) yang bersifat abnormal dan problem transendensi yang penuh misteri. Supaya sanggup melukiskan kehendak berdasarkan struktur-struktur yang sanggup dimengerti, untuk sementara kita harus mengurung kesalahan etis yang irasional dan transendensi ilahi yang metarasional. Dalam hal ini ia mengkritik di satu pihak Kierkegaard*, Jaspers*, dan Heidegger* yang “mengontologisasikan” kebersalahan (culpabilitie; Inggris culpability) manusia, artinya menjadikan kebersalahan suatu unsur yang termasuk keberadaan insan sendiri, dan di lain pihak filusuf-filusuf ibarat Blondel* yang terlalu cepat beralih dari perbuatan (action) ke transendensi.
Dalam perwujudan konkert kehendak Ricoeur membedakan tiga tahap: memutuskan (decider), melaksanakan (agir) dan menyetujui (consenter). Tiga wilayah penelitian ini merupakan tiga belahan besar buku Ricoeur. “Memutuskan” meliputi proyek atau rancangan, pilihan, dan motivasi. Di sini tentu “deskripsi murni” berdasarkan metode fenomenologi sanggup dilaksanakan. Tetapi bila ia beralih ke faktor-faktor yang tidak dikehendaki yang berkaitan dengan bidang ini, ibarat kebutuhan-kebutuhan, kesenangan dan ketidaksenangan, metode fenomenologis sudah tidak memadai, lantaran metode itu membatasi diri pada “kesadaran murni”, sedangkan faktor-faktor tersebut menyangkut pengalaman badan dan sejarah pribadi seseorang. Karena itu di sini ia harus memperluas metodenya dengan suatu “partisipasi ekistensial” di mana ia mengambil Gabriel Marcel* (dan analisanya tenang “tubuhku”) sebagai sumber inspirasi.
Tahap “melakukan” dalam bentuk yang paling mendasar ialah “saya menggerakkan badan saya”. Suatu “deskripsi murni” sanggup menjelaskan apa yang oleh Ricoeur disebut “pragma” atau “apa yang dilakukan”, yang merupakan kutub intensional dari aktus “melakukan”. Tetapi lantaran peranan badan sebagai alat perbuatan di sini timbul kesulitan-kesulitan besar, alasannya ialah melalui tubuhnya subjek terlibat dalam dunia material. Dapat diperkirakan bahwa Ricoeur dalam konteks ini dengan tegas menolak setiap konsepsi dualistis perihal manusia, artinya setiap konsepsi yang memandang insan sebagai keduaan yang terdiri atas badan dan jiwa tanpa menghiraukan kesatuannya. Lagi pula, pada tahap ini kehendak tercampur dengan banyak aspek yang tidak dikehendaki; ibarat insting, emosi, dan kebisaan-kebisaan. Fenomena “percobaan” (effort) berdasarkan Ricoeur di sini sebagian sanggup menjembatani kesenjangan antara yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki.
Tahap terakhir meliputi aktus “menyetujui” yang oleh Ricoeur dimengerti sebagai “menerima”, “membuat menjadi miliknya sendiri”. “Menyetujui” itu menyangkut faktor yang tidak dikehendaki yang sanggup disebut keniscayaan. Bukan keniscayaan yang terdapat dalam ilmu pengetahuan (seperti hukum-hukum alam yang tak terelakkan) melainkan necessite vecue, kata Ricoeur, keniscayaan yang dihayati; artinya bukan keniscayaan yang berhadapan dengan insan secara objektif, melainkan keniscayaan yang menempel pada subjektivitasnya. Keniscayaan yang dihayati ini meliputi watak, ketidaksadaran dan apa yang dengan suatu istilah umum sanggup disebut “kehidupan” (misalnya fase-fase pertumbuhan, kelahiran—salah satu tema original dalam pemikiran Ricoeur—dan usia).
Seluruh analisa ini berakhir dengan suatu penilaian filosofis terhadap kebebasan. Ricoeur menganggap kebebasan sebagai percampuran antara ketergantungan dan ketidaktergantungan dan sebagai perdamaian antara unsur-unsur yang dikehendaki dan unsur-unsur yang tidak dikehendaki dalam diri manusia. Tetapi kebebasan bukanlah penciptaan absolut. “Suatu kebebasan yang bersifat manusiawi dan tidak ilahi”, kata Ricoeur. Biarpun nama Sartre* tidak disebut eksplisit, sanggup saja diandaikan bahwa Ricoeur dengan itu menolak pandangan ekstrem perihal kebebasan dari tokoh eksistensialisme yang begitu ramai dibicarakan dalam kalangan filosofis Prancis pada waktu itu.
Jilid kedua Filsafat Kehendak memiliki judul umum Keberhinggaan dan Kebersalahan. Di sini Ricoeur menghapus abstraksi pertama yang dilakukan dalam jilidnya yang pertama, yaitu kesalahan etis dan kebersalahan. Seperti sudah kita lihat, jilid kedua ini terdiri atas dua buku tersendiri. Anak judul untuk belahan pertama ialah Manusia yang Dapat Salah. Bahwa insan sanggup salah merupakan suatu prasyarat bagi terjadinya kejahatan. Bagaimana falibilitas (fallibility) itu mungkin? Di sini Ricoeur mengaitkan metode fenomenologi dengan metode transendental Kant. Sesudah itu penelitian panjang dan teliti, Ricoeur hingga pada kesimpulan bahwa dasar untuk falibilitas itu terletak pada perjuangan insan untuk memperdamaikan keberhinggaan dan ketakberhinggaan; perjuangan yang tidak pernah berhasil. Usaha itu dipraktekan insan dibidang pengenalan, perbuatan, dan terutama perasaan. Di semua bidang itu ia terbentur pada adanya disproposisi antara keberhinggaan dan ketakberhinggaan yang mustahil diatasi. Kerapuhan manusia, biang keladi kemungkinan untuk sanggup salah, terletak dalam non-coincidence of man with himself suatu disproposisi yang membelah keberadaan insan sendiri.
Dibidang pengenalan disproposisi itu tampak dalam pengenalan inderawi yang bersifat berhingga di satu pihak dan pengenalan rasional yang memiliki suatu pretense tak berhingga di lain pihak. Di bidang perbuatan disproposisi itu menjadi kentara dalam ketegangan antara tabiat insan (perspektif terbatas bagi seluruh kesanggupannya) dan kebahagiaan, horizon tak terbatas yang meliputi semua nilai. Teristimewa disproposisi dalam keberadaan itu tampak dalam hati sanubari insan yang tidak pernah puas, selalu gelisah, selalu mencari objek yang lebih baik dan lebih memuaskan. Terutama dalam hati insan kita menyaksikan terjadinya konflik antara kutub berhingga dan kutub tak berhingga. Terutama hati yang tidak stabil itu dikemukakan Ricoeur sebagai the weak point, di mana yang jahat memasuki manusia.
Tetapi dengan menjelaskan kemungkinan terjadinya kejahatan belum disinggung kejahatan sendiri sebagai fakta. Dalam belahan kedua dari Keberhinggaan dan kebersalahan yang berjudul Simbol-Simbol perihal Kejahatan Ricoeur mempelajari kejahatan faktual dalam keberadaan manusia. Untuk sanggup menilik kejahatan sebagai kenyataan Ricoeur tidak bertolak dari pandangan-pandangan dan teori-teori perihal kejahatan, ia ingin menunjukkan bagaimana manusia—dan faktual itu berarti insan beragama—mengalami kejahatan atau—lebih tepat lagi—bagaimana insan itu “mengakui” kejahatan. Bahasa yang digunakan insan untuk mengakui pengalamannya perihal kejahatan bersifat simbolis. Maka dari itu langkah pertama dalam refleksi Ricoeur perihal kejahatan ini ialah mempelajari tiga simbol pokok yang digunakan insan untuk mengungkapkan pengalamannya itu: noda, dosa, dan kebersalahan (guilt).
Yang menandai simbol pertama—noda—adalah bahwa di situ kejahatan dihayati sebagai sesuatu “pada dirinya” (in itself). Kejahatan dilihat sebagai sesuatu yang merugikan yang tiba dari luar dan dengan cara magis menimpa serta mencemarkan manusia. Kejahatan di sini masih merupakan suatu kejadian objektif; misalnya, orang yang dengan tidak sengaja menjadi najis, terkena juga. Berbuat jahat berarti melanggar suatu orde atau tata susunan yang tetap harus dipertahankan ibarat apa adanya dan lantaran itu—kalau pernah dikacaukan—perlu dipulihkan kembali. Orang yang dinajiskan masih mengalami kejahatan setengah fisis dan setengah etis. Sifat objektif dan serentak subjektif itu tampak dalam ritus pentahiran (mencuci badan atau belahan tubuh) yang tidak pernah dihayati sebagai pembersihan yang semata-mata material. Mungkin lantaran alasan itu noda sebagai dimensi simbolis tidak pernah akan hilang seluruhnya dari penghayatan mengenai kejahatan, biarpun bagi orang modern dimensi ini kurang penting dibandingkan dengan insan dan masyarakat tradisional (yang tampak contohnya dalam penghayatan orang modern terhadap seksualitas).
Menurut simbol kedua—dosa—manusia melaksanakan kejahatan “di hadapan Tuhan”. Simbol ini untuk pertama kali tampil ke muka dalam kesadaran religius bangsa Israel pada zaman nabi-nabi. Berbuat jahat tidak lagi berarti melanggar suatu tata susunan yang magis dan anonym, melainkan ketidaktaatan terhadap Allah yang telah mengadakan suatu Perjanjian dengan bangsa-Nya. Dosa merupakan ketidaksetiaan bangsa Israel terhadap Allah yang setia. Dan reaksi terhadap dosa bukanlah suatu tanggapan buta dari suatu tata susunan anonym, melainkan marah Allah. Tetapi di sini juga tata susunan Perjanjian sanggup dan harus dipulihkan. Melalui pengasingan di daerah jauh dan hukuman-hukuman lainnya Israel dibebaskan dari dosanya.
Simbol “dosa” itu diungkapkan dalam banyak simbol lain lagi. Pertama-tama terdapat suatu kelompok simbol-simbol yang menggarisbawahi sifat negatif dari dosa sebagai terputusnya relasi dialogal dengan Allah. Dosa ialah “menempuh jalan kesesatan”, “pemberontakan” terhadap kekuasaan Allah atau “zinah” (Nabi Hosea). Mengganti kemuliaan Allah dengan berhala ialah “udara”, “kesia-siaan”, “asap”, dan “dusta”. Pendeknya, dosa adalah, “ketiadaan”. Memilih antara baik dan jahat tidak sama dengan menentukan antara dua kenyataan; pilihan itu antara Allah dan ketiadaan. Sekelompok simbol-simbol lain melukiskan dosa sebagai sesuatu yang lebih positif sifatnya, sebagai sesuatu yang real di luar manusia. Dosa contohnya dilambangkan sebagai “perbudakan”, “pengasingan”, “hati yang membatu”: pendeknya, suatu kuasa dari luar yang menimpa manusia. Di sini simbolisme lebih bersahabat dengan kenajisan dan noda. Sifat positif dosa itu antara lain tampak dari kenyataan bahwa dosa diampuni atau dihapus, malah dosa-dosa yang sudah dilupakan atau tidak disadari. Tetapi juga dalam konteks ini realitas dosa (termasuk besar kecilnya) tidak ditentukan oleh suatu tata susunan anonym, melainkan diukur dan ditentukan oleh pandangan Allah yang mengetahui segala sesuatu.
Simbol yang ketiga ialah kebersalahan (guilt). Cara penghayatan perihal kejahatan ini berkembang di Israel sehabis pengasingan di Babilonia selesai. Pada waktu itu kejahatan ditemukan sebagai kebersalahan pribadi. Simbol-simbol yang digunakan untuk mengungkapkan kebersalahan ini ialah terutama “beban” dan “kesusahan” yang menekan dan memberatkan hati nurani saya. Dari dosa yang menyangkut bangsa seluruhnya, kebersalahan menjadi sesuatu yang menyangkut saya pribadi. Dari sesuatu yang terdapat di luar saya, kebersalahan telah menjadi sesuatu di dalam diri saya. Telah berlangsung suatu proses internalisasi dan personalisasi dalam cara insan menghayati kejahatan. Kejahatan merupakan perbuatan saya yang bebas; bukan lagi suatu kuasa dari luar yang menyergap saya. Saya bersalah, lantaran saya bertanggungjawab. Dalam konteks kebersalahan, berbuat jahat dihayati sebagai suatu pengkhianatan terhadap hakikat saya yang sebenarnya, bukan—seperti dosa—sebagai suatu pemberontakan terhadap Tuhan. Kesempurnaan insan tercapai dengan memenuhi peraturan-peraturan dan perintah-perintah Tuhan secara seksama (aliran Farisi), tetapi dengan melanggar peraturan-peraturan dan perintah-perintah itu saya tidak bersalah terhadap Tuhan, melainkan terhadap diri saya sendiri. Orang yang bersalah menjadi terisolasi: ia sendiri ialah hakim dan terdakwa sekaligus. Ia terkurung dalam dirinya. Nah, seluruh situasi ini menghadapi suatu jalan buntu. Justru pemenuhan peraturan-peraturan (Hukum Taurat) dan pelaksanaan kesempurnaan yang saya sendiri wujudkan ialah dosa, lantaran saya sebagai “orang saleh” meninggikan diri terhadap Allah yang hanya sanggup menawarkan kesempurnaan sebagai anugerah (Rasul Paulus, khususnya dalam surat kepada umat di Roma). Pembebasan hanya mungkin, kalau ketertutupan insan dibuka dan ia dibenarkan oleh kebaikan Tuhan dengan tidak memperhitungkan kebersalahannya.
Setelah menguraikan simbol-simbol dasar yang mengungkapkan penghayatan insan terhadap kejahatan, dalam suatu langkah kedua Ricoeur mempelajari mitos-mitos yang menceritakan dari mana asalnya kejahatan (dalam arti segala hal yang kurang beres di dunia ini: dosa, kematian, kesusahan) dan bagaimana kesudahannya atau bagaimana kejahatan itu sanggup diatasi. Mitos-mitos boleh disebut “simbol-simbol sekunder”, lantaran membeberkan dalam bentuk dongeng simbol-simbol dasar yang dipelajari tadi, yang merupakan simbol-simbol primer. Mitos-mitos perihal kejahatan berdasarkan Ricour memiliki tiga fungsi. Pertama, mitos-mitos itu menyediakan suatu universalitas faktual bagi pengalaman insan perihal kejahatan. Pahlawan, leluhur atau insan pertama dari mitos merupakan “model” bagi umat insan seluruhnya. Kedua, dengan dongeng perihal awal mula dan kesudahan kejahatan itu mitos membawa suatu orientasi dan ketegangan dramatis dalam hidup manusia: pengalaman insan dikaitkan dengan suatu “sejarah” yang menyangkut kebinasaan dan keselamatan. Ketiga, yang paling penting ialah bahwa dalam bentuk dongeng mitos menjelaskan peralihan dari keadaan insan tak berdosa yang orisinil ke keadaannya kini yang penuh noda, dosa, dan kebersalahan. Mitos memiliki suatu aspek ontologis: memandang relasi antara keadaan insan yang orisinil dengan keadaan historisnya kini yang ditandai alienasi.—Tetapi, dari semula perlu disadari bahwa mitos tidak sama dengan alegori. Simbol-simbol yang digunakan dalam mitos mustahil diterjemahkan dengan konsep-konsep; bahasa mitis tidak pernah diganti begitu saja dengan bahasa rasional.
Orang yang ingin mempelajari mitos-mitos perihal kejahatan harus mulai dengan mengadakan klasifikasi. Ia harus berusaha membedakan beberapa tipe mitos. Ricoeur membedakan empat macam mitos yang menyangkut awal mula dan kesudahan kejahatan: mitos kosmis, mitos tragis, mitos perihal Adam, dan mitos Orfis.
Mitos Babilonia yang berjulukan Enuma Elish sanggup dianggap sebagai salah satu referensi khas perihal mitos kosmis. Dalam mitos itu kejahatan disamakan dengan “khaos” (keadaan kacau balau) yang terdapat pada awal mula. Dan sebaliknya, keselamatan atau pembebasan dari kejahatan disamakan dengan penciptaan dunia. Dunia diciptakan dengan kemenangan tuhan Marduk atas naga maritim Tiamat. Jadi, dunia diciptakan sebagai akhir perkelahian antara dewa-dewa, di mana Tiamat melambangkan keadaan kacau balau. Dengan kemenangan Marduk, “khaos” diatasi dan segera lahirlah “kosmos” (dunia yang teratur) yang dibuat dari bagian-bagian mayit Tiamat. Manusia diciptakan sebagai akhir suatu perkelahian lain lagi, ketika tuhan Ea—atas nasihat Marduk—membentuk insan dari darah seorang tuhan lain yang telah dikalahkannya. Dengan demikian penciptaan insan ialah kemenangan definitive atas khaos dan serentak juga dikala definitive didirikannya dunia yang teratur. Dalam pandangan mitis ini penciptaan dan keselamatan dianggap identik. Bisa terjadi, adakala khaos dari awal mula itu tampil ke muka lagi; kalau begitu, dengan ritus-ritus kemenangan Marduk yang pertama sekali lagi harus diulangi.
Mitos tragis berdasarkan bentuknya yang paling terang dijumpai dalam tragedy-tragedi Yunani, khususnya tragedy-tragedi yang ditulis Aiskhylos. Menurut pandangan tragis perihal manusia, tuhan merupakan asal-usul kejahatan; tuhan yang tidak berwujud persona, yang disebut Moira (suratan nasib, takdir), theos (tanpa kata sandang: ketuhanan), kakos daimon (roh jahat). Dewa mengakibatkan pendekar (artinya manusia) menjadi bersalah dan terkutuk lantaran bersalah. Kejahatan ialah “takdir” yang menimpa seseorang lantaran ketidaktahuan atau kebutaan. Orang yang melaksanakan kejahatan lebih ibarat dengan korban daripada dengan penjahat. Oidipus tidak mengetahui dan tidak menghendaki apa yang telah dilakukannya, ketika ia membunuh ayahnya dan menikahi ibunya. Kenajisan yang menimpa dirinya lantaran perbuatan itu tidak lain dan tak bukan ialah kutuk yang telah ditakdirkan menjadi nasibnya. Tragik memuncak lagi bila sang pendekar menentang nasib yang telah ditakdirkan dan diramalkan perihal dia. Justru dengan menentang dan berusaha melarikan diri, ia mewujudkan nasib yang menimpa dirinya dengan tidak mengenal ampun. Drama bencana yang menggambarkan kehidupan insan itu menimbulkan fobos (ketakutan) akan kehidupan insani yang terancam dan terkutuk, tetapi juga eleos (kasihan) dengan keberadaan insan yang lantaran takdir ilahi itu jahat dan penuh kesusahan. Dalam bencana Yunani perasaan-perasaan dibahasakan dan dinyanyikan oleh paduan bunyi yang bertindak sebagai penonton dan komentator. Tetapi di sini juga terbuka kemungkinan untuk semacam keselamatan, bukan dalam arti ia dibebaskan dari penderitaan melainkan dalam arti ia diperdamaikan dengan nasibnya. Dengan menyaksikan petualangan-petualangan sang pendekar di pentas dan turut menghayati apa yang dinyanyikan oleh paduan suara, si penonton mencapai catharsis, pembersihan hati, lantaran ia mengerti bahwa insan harus mengalah kepada takdir yang tak terhindarkan. Pathei mathos—kata Aiskhylos--, insan harus menderita untuk sanggup mengerti. Kebebasan di sini sama dengan mendapatkan apa yang mutlak harus terjadi.
Dalam mitos perihal Adam yang diceritakan dalam Kitab Kejadian, kitab pertama dari Kitab Suci Yahudi, insan sendirilah ditunjukkan sebagai asal-usul kejahatan. Semua hal yang tidak beres masuk dunia lantaran insan (Adam berarti “manusia”). Di sini kita menjumpai suatu mitos antropologis perihal kejahatan. Cerita perihal Adam itu mengungkapkan dengan cara mitis penghayatan bangsa Israel mengenai asal mula kejahatan yang sudah kita pelajari dalam simbol dosa. Karena monotheismenya yang memiliki pandangan etis yang luhur, Israel menolak setiap mitos yang mengasalkan kejahatan dari Allah. Kejahatan berasal dari lubuk hati manusia; kejahatan disebabkan lantaran insan tidak setia, lantaran ia “jatuh”. Penciptaan Tuhan itu sendiri baik dan sempurna, hanya insan bertanggung jawab atas segala ketidakberesan dalam dunia.
Menurut Ricoeur, mitos Hibrani ini memiliki dua segi dan balasannya sanggup dibaca dengan dua cara. Menurut suatu sketsa pertama peralihan dari keadaan baik ke keadaan jahat berlangsung lantaran satu orang, satu perbuatan dan pada satu saat. Satu orang yaitu Adam, mewakili seluruh umat manusia; bersama dengan diri Adam setiap insan jatuh dalam dosa. Kejadian itu berlangsung dengan satu perbuatan, yaitu memakan buah terlarang dan dengan demikian pada satu dikala keadaan tak berdosa bermetamorfosis keadaan terkutuk. Dengan mendadak terjadilah keretakan dalam ciptaan Tuhan yang selaras dan tepat itu; dunia yang diciptakan begitu manis telah menjadi busuk. Di samping itu terdapat suatu sketsa kedua di mana terjatuhnya insan digambarkan sebagai suatu drama yang mengikutsertakan beberapa tokoh dan beberapa fase. Selain dari Adam memainkan peranan juga Hawa dan ular. Ular mengingatkan kita pada naga-naga dari mitologi Babilonia, tetapi berdasarkan mitos Hibrani ular itu bukanlah tuhan melainkan ciptaan: “Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala hewan di darat yang dijadikan oleh Tuhan Allah (kej. 3:1). Ular menggodai Hawa, yang kiranya melambangkan kerapuhan dan kelemahan manusia. Dan Hawa kemudian menggodai Adam. Dalam kejadian penggodaan ini menjadi terang bahwa dosa tidak berasal dari insan saja. Pendosa telah digodai. Kejahatan yang dilakukannya sudah ada sebelum ia jatuh. Kejahatan mendahului manusia. Ular melambangkan kejahatan yang berada di luar manusia, ibarat halnya dengan simbol “noda”. Manusia tidak berbuat lain daripada melanjutkan kejahatan yang sudah ada sebelumnya. Dosa tidak pernah merupakan sesuatu yang baru, tetapi hanya meneruskan serta mengikutsertakan kuasa jahat yang mendahului manusia.—Dalam pandangan ini keselamatan tidak lagi bertepatan dengan penciptaan, ibarat halnya dalam mitos kosmis. Keselamatan menjadi eskatologis (menyangkut tamat zaman). Keselamatan ditunggu dari seorang Penebus—Adam yang kedua—yang pada kiamat akan menyelesaikan penebusan yang sudah dimulai, dengan membuat “bumi yang baru” dan menggenapkan sejarah umat manusia.
Masih terdapat mitos tipe lain yang memiliki kedudukan agak terisolasi tetapi pengaruhnya besar sekali dalam kebudayaan Barat. Oleh Ricoeur mitos ini disebut “mitos perihal jiwa yang diasingkan” atau juga “mitos Orfis”, lantaran berasal dari tradisi keagamaan Yunani yang dikenal sebagai Orfisme. Suatu fatwa keagamaan yang menjalankan imbas mendalam atas perkembangan filsafat Yunani, khususnya Platoisme, dan Neoplatonisme. Mitos ini memecah insan ke dalam jiwa dan tubuh. Jiwa tiba dari daerah lain dan memiliki status ilahi tetapi kini terkurung dalam tubuh. Jadi, insan telah “jatuh” lantaran jiwanya dikaitkan dengan badan dan dalam keadaan itu kejahatannya semakin bertambah dan semakin bertambah pula kerinduan akan pembebasan. Pembebasan itu diperoleh melalui jalan pengetahuan, khususnya pengetahuan bahwa badan itu hanya hawa nafsu dan bahwa jiwa harus menentangnya untuk sekali lagi sanggup mencapai “taraf ilahi”.
Sebagai filsuf kita dihentikan membatasi diri pada suatu analisa perihal simbol-simbol dan mitos-mitos yang mengungkapkan pengalaman insan terhadap kejahatan. Filsuf harus berusaha juga untuk menggali dan memahami kebenaran yang terkandung dalam semuanya itu. Ricoeur beropini bahwa di sini ia harus mengadakan suatu pertaruhan (le pari; kata yang tentu saja mengingatkan kita pada Pascal*). Ia bertaruh bahwa suatu refleksi filosofis mengenai kejahatan harus berpusatkan mitos perihal Adam. Dari situ semua mitos lain akan sanggup dimengerti dan sebagian dibenarkan sebagian dikritik. Pilihannya berakar dalam kenyataan bahwa mitos Yahudi itu memberi daerah kepada kebebasan dan tanggung jawab manusia. Namun demikian, mitos perihal Adam itu menjelaskan kejahatan tidak semata-mata etis; insan bukan saja bersalah lantaran ia melaksanakan kejahatan dengan cara bebas, secara tak terelakkan ia juga menjadi korban kejahatan lantaran ia mengalah pada kejahatan yang sudah merajalela. Yang terakhir itu ialah kebenaran dari mitos tragis, sebagaimana juga mitos-mitos lain memuat unsur-unsur kebenaran. Bila kita membaca mitos-mitos lain dalam perspektif mitos perihal Adam itu, tampaklah dimensi-dimensi supra-etis dari kejahatan dan serentak juga batas-batas suatu pandangan langsung etis perihal kejahatan. Mitod Hibrani ini membutuhkan mitos-mitos yang lain, supaya teologinya tidak menjadi suatu monotheisme etis yang terlalu simplistik (Allah sebagai legislator dan Hakim sepenuh-penuhnya berhadapan dengan subjek etis yang selalu dan seluruhnya bebas). Dengan demikian, Allah pada akhirnya tetap Deus Absconditus (Allah yang Tersembunyi) dan insan tidak saja bersalah tetapi juga menjadi korban suatu mysterium iniquitatis (misteri kejahatan), lantaran hal-hal yang tidak beres di dunia ini tidak pernah merupakan semata-mata eksekusi saja.
Download di Sini
Sumber:
Bertens. K. "Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.
Baca Juga
1. Faul Ricoeur. Biografi
2. Faul Ricoeur. Menuju Filsafat Bahasa
Manusia selalu terbentur pada oposisi antara kebebasan dan keniscayaan; selalu ada relasi timbal balik antara yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki. Dan yang tidak dikehendaki itu harus dimengerti dengan bertitik tolak dari subjek, alasannya ialah unsur yang pertama ialah bahwa saya mengerti diri saya sebagai “saya berkehendak” (volo, sejajar dengan cogito Descartes*).
Karena ia ingin menawarkan suatu deskripsi murni perihal kehendak, lebih dahulu harus ditempatkan dalam tanda kurung problem kesalahan etis (faute) yang bersifat abnormal dan problem transendensi yang penuh misteri. Supaya sanggup melukiskan kehendak berdasarkan struktur-struktur yang sanggup dimengerti, untuk sementara kita harus mengurung kesalahan etis yang irasional dan transendensi ilahi yang metarasional. Dalam hal ini ia mengkritik di satu pihak Kierkegaard*, Jaspers*, dan Heidegger* yang “mengontologisasikan” kebersalahan (culpabilitie; Inggris culpability) manusia, artinya menjadikan kebersalahan suatu unsur yang termasuk keberadaan insan sendiri, dan di lain pihak filusuf-filusuf ibarat Blondel* yang terlalu cepat beralih dari perbuatan (action) ke transendensi.
Dalam perwujudan konkert kehendak Ricoeur membedakan tiga tahap: memutuskan (decider), melaksanakan (agir) dan menyetujui (consenter). Tiga wilayah penelitian ini merupakan tiga belahan besar buku Ricoeur. “Memutuskan” meliputi proyek atau rancangan, pilihan, dan motivasi. Di sini tentu “deskripsi murni” berdasarkan metode fenomenologi sanggup dilaksanakan. Tetapi bila ia beralih ke faktor-faktor yang tidak dikehendaki yang berkaitan dengan bidang ini, ibarat kebutuhan-kebutuhan, kesenangan dan ketidaksenangan, metode fenomenologis sudah tidak memadai, lantaran metode itu membatasi diri pada “kesadaran murni”, sedangkan faktor-faktor tersebut menyangkut pengalaman badan dan sejarah pribadi seseorang. Karena itu di sini ia harus memperluas metodenya dengan suatu “partisipasi ekistensial” di mana ia mengambil Gabriel Marcel* (dan analisanya tenang “tubuhku”) sebagai sumber inspirasi.
Tahap “melakukan” dalam bentuk yang paling mendasar ialah “saya menggerakkan badan saya”. Suatu “deskripsi murni” sanggup menjelaskan apa yang oleh Ricoeur disebut “pragma” atau “apa yang dilakukan”, yang merupakan kutub intensional dari aktus “melakukan”. Tetapi lantaran peranan badan sebagai alat perbuatan di sini timbul kesulitan-kesulitan besar, alasannya ialah melalui tubuhnya subjek terlibat dalam dunia material. Dapat diperkirakan bahwa Ricoeur dalam konteks ini dengan tegas menolak setiap konsepsi dualistis perihal manusia, artinya setiap konsepsi yang memandang insan sebagai keduaan yang terdiri atas badan dan jiwa tanpa menghiraukan kesatuannya. Lagi pula, pada tahap ini kehendak tercampur dengan banyak aspek yang tidak dikehendaki; ibarat insting, emosi, dan kebisaan-kebisaan. Fenomena “percobaan” (effort) berdasarkan Ricoeur di sini sebagian sanggup menjembatani kesenjangan antara yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki.
Tahap terakhir meliputi aktus “menyetujui” yang oleh Ricoeur dimengerti sebagai “menerima”, “membuat menjadi miliknya sendiri”. “Menyetujui” itu menyangkut faktor yang tidak dikehendaki yang sanggup disebut keniscayaan. Bukan keniscayaan yang terdapat dalam ilmu pengetahuan (seperti hukum-hukum alam yang tak terelakkan) melainkan necessite vecue, kata Ricoeur, keniscayaan yang dihayati; artinya bukan keniscayaan yang berhadapan dengan insan secara objektif, melainkan keniscayaan yang menempel pada subjektivitasnya. Keniscayaan yang dihayati ini meliputi watak, ketidaksadaran dan apa yang dengan suatu istilah umum sanggup disebut “kehidupan” (misalnya fase-fase pertumbuhan, kelahiran—salah satu tema original dalam pemikiran Ricoeur—dan usia).
Seluruh analisa ini berakhir dengan suatu penilaian filosofis terhadap kebebasan. Ricoeur menganggap kebebasan sebagai percampuran antara ketergantungan dan ketidaktergantungan dan sebagai perdamaian antara unsur-unsur yang dikehendaki dan unsur-unsur yang tidak dikehendaki dalam diri manusia. Tetapi kebebasan bukanlah penciptaan absolut. “Suatu kebebasan yang bersifat manusiawi dan tidak ilahi”, kata Ricoeur. Biarpun nama Sartre* tidak disebut eksplisit, sanggup saja diandaikan bahwa Ricoeur dengan itu menolak pandangan ekstrem perihal kebebasan dari tokoh eksistensialisme yang begitu ramai dibicarakan dalam kalangan filosofis Prancis pada waktu itu.
Jilid kedua Filsafat Kehendak memiliki judul umum Keberhinggaan dan Kebersalahan. Di sini Ricoeur menghapus abstraksi pertama yang dilakukan dalam jilidnya yang pertama, yaitu kesalahan etis dan kebersalahan. Seperti sudah kita lihat, jilid kedua ini terdiri atas dua buku tersendiri. Anak judul untuk belahan pertama ialah Manusia yang Dapat Salah. Bahwa insan sanggup salah merupakan suatu prasyarat bagi terjadinya kejahatan. Bagaimana falibilitas (fallibility) itu mungkin? Di sini Ricoeur mengaitkan metode fenomenologi dengan metode transendental Kant. Sesudah itu penelitian panjang dan teliti, Ricoeur hingga pada kesimpulan bahwa dasar untuk falibilitas itu terletak pada perjuangan insan untuk memperdamaikan keberhinggaan dan ketakberhinggaan; perjuangan yang tidak pernah berhasil. Usaha itu dipraktekan insan dibidang pengenalan, perbuatan, dan terutama perasaan. Di semua bidang itu ia terbentur pada adanya disproposisi antara keberhinggaan dan ketakberhinggaan yang mustahil diatasi. Kerapuhan manusia, biang keladi kemungkinan untuk sanggup salah, terletak dalam non-coincidence of man with himself suatu disproposisi yang membelah keberadaan insan sendiri.
Dibidang pengenalan disproposisi itu tampak dalam pengenalan inderawi yang bersifat berhingga di satu pihak dan pengenalan rasional yang memiliki suatu pretense tak berhingga di lain pihak. Di bidang perbuatan disproposisi itu menjadi kentara dalam ketegangan antara tabiat insan (perspektif terbatas bagi seluruh kesanggupannya) dan kebahagiaan, horizon tak terbatas yang meliputi semua nilai. Teristimewa disproposisi dalam keberadaan itu tampak dalam hati sanubari insan yang tidak pernah puas, selalu gelisah, selalu mencari objek yang lebih baik dan lebih memuaskan. Terutama dalam hati insan kita menyaksikan terjadinya konflik antara kutub berhingga dan kutub tak berhingga. Terutama hati yang tidak stabil itu dikemukakan Ricoeur sebagai the weak point, di mana yang jahat memasuki manusia.
Tetapi dengan menjelaskan kemungkinan terjadinya kejahatan belum disinggung kejahatan sendiri sebagai fakta. Dalam belahan kedua dari Keberhinggaan dan kebersalahan yang berjudul Simbol-Simbol perihal Kejahatan Ricoeur mempelajari kejahatan faktual dalam keberadaan manusia. Untuk sanggup menilik kejahatan sebagai kenyataan Ricoeur tidak bertolak dari pandangan-pandangan dan teori-teori perihal kejahatan, ia ingin menunjukkan bagaimana manusia—dan faktual itu berarti insan beragama—mengalami kejahatan atau—lebih tepat lagi—bagaimana insan itu “mengakui” kejahatan. Bahasa yang digunakan insan untuk mengakui pengalamannya perihal kejahatan bersifat simbolis. Maka dari itu langkah pertama dalam refleksi Ricoeur perihal kejahatan ini ialah mempelajari tiga simbol pokok yang digunakan insan untuk mengungkapkan pengalamannya itu: noda, dosa, dan kebersalahan (guilt).
Yang menandai simbol pertama—noda—adalah bahwa di situ kejahatan dihayati sebagai sesuatu “pada dirinya” (in itself). Kejahatan dilihat sebagai sesuatu yang merugikan yang tiba dari luar dan dengan cara magis menimpa serta mencemarkan manusia. Kejahatan di sini masih merupakan suatu kejadian objektif; misalnya, orang yang dengan tidak sengaja menjadi najis, terkena juga. Berbuat jahat berarti melanggar suatu orde atau tata susunan yang tetap harus dipertahankan ibarat apa adanya dan lantaran itu—kalau pernah dikacaukan—perlu dipulihkan kembali. Orang yang dinajiskan masih mengalami kejahatan setengah fisis dan setengah etis. Sifat objektif dan serentak subjektif itu tampak dalam ritus pentahiran (mencuci badan atau belahan tubuh) yang tidak pernah dihayati sebagai pembersihan yang semata-mata material. Mungkin lantaran alasan itu noda sebagai dimensi simbolis tidak pernah akan hilang seluruhnya dari penghayatan mengenai kejahatan, biarpun bagi orang modern dimensi ini kurang penting dibandingkan dengan insan dan masyarakat tradisional (yang tampak contohnya dalam penghayatan orang modern terhadap seksualitas).
Menurut simbol kedua—dosa—manusia melaksanakan kejahatan “di hadapan Tuhan”. Simbol ini untuk pertama kali tampil ke muka dalam kesadaran religius bangsa Israel pada zaman nabi-nabi. Berbuat jahat tidak lagi berarti melanggar suatu tata susunan yang magis dan anonym, melainkan ketidaktaatan terhadap Allah yang telah mengadakan suatu Perjanjian dengan bangsa-Nya. Dosa merupakan ketidaksetiaan bangsa Israel terhadap Allah yang setia. Dan reaksi terhadap dosa bukanlah suatu tanggapan buta dari suatu tata susunan anonym, melainkan marah Allah. Tetapi di sini juga tata susunan Perjanjian sanggup dan harus dipulihkan. Melalui pengasingan di daerah jauh dan hukuman-hukuman lainnya Israel dibebaskan dari dosanya.
Simbol “dosa” itu diungkapkan dalam banyak simbol lain lagi. Pertama-tama terdapat suatu kelompok simbol-simbol yang menggarisbawahi sifat negatif dari dosa sebagai terputusnya relasi dialogal dengan Allah. Dosa ialah “menempuh jalan kesesatan”, “pemberontakan” terhadap kekuasaan Allah atau “zinah” (Nabi Hosea). Mengganti kemuliaan Allah dengan berhala ialah “udara”, “kesia-siaan”, “asap”, dan “dusta”. Pendeknya, dosa adalah, “ketiadaan”. Memilih antara baik dan jahat tidak sama dengan menentukan antara dua kenyataan; pilihan itu antara Allah dan ketiadaan. Sekelompok simbol-simbol lain melukiskan dosa sebagai sesuatu yang lebih positif sifatnya, sebagai sesuatu yang real di luar manusia. Dosa contohnya dilambangkan sebagai “perbudakan”, “pengasingan”, “hati yang membatu”: pendeknya, suatu kuasa dari luar yang menimpa manusia. Di sini simbolisme lebih bersahabat dengan kenajisan dan noda. Sifat positif dosa itu antara lain tampak dari kenyataan bahwa dosa diampuni atau dihapus, malah dosa-dosa yang sudah dilupakan atau tidak disadari. Tetapi juga dalam konteks ini realitas dosa (termasuk besar kecilnya) tidak ditentukan oleh suatu tata susunan anonym, melainkan diukur dan ditentukan oleh pandangan Allah yang mengetahui segala sesuatu.
Simbol yang ketiga ialah kebersalahan (guilt). Cara penghayatan perihal kejahatan ini berkembang di Israel sehabis pengasingan di Babilonia selesai. Pada waktu itu kejahatan ditemukan sebagai kebersalahan pribadi. Simbol-simbol yang digunakan untuk mengungkapkan kebersalahan ini ialah terutama “beban” dan “kesusahan” yang menekan dan memberatkan hati nurani saya. Dari dosa yang menyangkut bangsa seluruhnya, kebersalahan menjadi sesuatu yang menyangkut saya pribadi. Dari sesuatu yang terdapat di luar saya, kebersalahan telah menjadi sesuatu di dalam diri saya. Telah berlangsung suatu proses internalisasi dan personalisasi dalam cara insan menghayati kejahatan. Kejahatan merupakan perbuatan saya yang bebas; bukan lagi suatu kuasa dari luar yang menyergap saya. Saya bersalah, lantaran saya bertanggungjawab. Dalam konteks kebersalahan, berbuat jahat dihayati sebagai suatu pengkhianatan terhadap hakikat saya yang sebenarnya, bukan—seperti dosa—sebagai suatu pemberontakan terhadap Tuhan. Kesempurnaan insan tercapai dengan memenuhi peraturan-peraturan dan perintah-perintah Tuhan secara seksama (aliran Farisi), tetapi dengan melanggar peraturan-peraturan dan perintah-perintah itu saya tidak bersalah terhadap Tuhan, melainkan terhadap diri saya sendiri. Orang yang bersalah menjadi terisolasi: ia sendiri ialah hakim dan terdakwa sekaligus. Ia terkurung dalam dirinya. Nah, seluruh situasi ini menghadapi suatu jalan buntu. Justru pemenuhan peraturan-peraturan (Hukum Taurat) dan pelaksanaan kesempurnaan yang saya sendiri wujudkan ialah dosa, lantaran saya sebagai “orang saleh” meninggikan diri terhadap Allah yang hanya sanggup menawarkan kesempurnaan sebagai anugerah (Rasul Paulus, khususnya dalam surat kepada umat di Roma). Pembebasan hanya mungkin, kalau ketertutupan insan dibuka dan ia dibenarkan oleh kebaikan Tuhan dengan tidak memperhitungkan kebersalahannya.
Setelah menguraikan simbol-simbol dasar yang mengungkapkan penghayatan insan terhadap kejahatan, dalam suatu langkah kedua Ricoeur mempelajari mitos-mitos yang menceritakan dari mana asalnya kejahatan (dalam arti segala hal yang kurang beres di dunia ini: dosa, kematian, kesusahan) dan bagaimana kesudahannya atau bagaimana kejahatan itu sanggup diatasi. Mitos-mitos boleh disebut “simbol-simbol sekunder”, lantaran membeberkan dalam bentuk dongeng simbol-simbol dasar yang dipelajari tadi, yang merupakan simbol-simbol primer. Mitos-mitos perihal kejahatan berdasarkan Ricour memiliki tiga fungsi. Pertama, mitos-mitos itu menyediakan suatu universalitas faktual bagi pengalaman insan perihal kejahatan. Pahlawan, leluhur atau insan pertama dari mitos merupakan “model” bagi umat insan seluruhnya. Kedua, dengan dongeng perihal awal mula dan kesudahan kejahatan itu mitos membawa suatu orientasi dan ketegangan dramatis dalam hidup manusia: pengalaman insan dikaitkan dengan suatu “sejarah” yang menyangkut kebinasaan dan keselamatan. Ketiga, yang paling penting ialah bahwa dalam bentuk dongeng mitos menjelaskan peralihan dari keadaan insan tak berdosa yang orisinil ke keadaannya kini yang penuh noda, dosa, dan kebersalahan. Mitos memiliki suatu aspek ontologis: memandang relasi antara keadaan insan yang orisinil dengan keadaan historisnya kini yang ditandai alienasi.—Tetapi, dari semula perlu disadari bahwa mitos tidak sama dengan alegori. Simbol-simbol yang digunakan dalam mitos mustahil diterjemahkan dengan konsep-konsep; bahasa mitis tidak pernah diganti begitu saja dengan bahasa rasional.
Orang yang ingin mempelajari mitos-mitos perihal kejahatan harus mulai dengan mengadakan klasifikasi. Ia harus berusaha membedakan beberapa tipe mitos. Ricoeur membedakan empat macam mitos yang menyangkut awal mula dan kesudahan kejahatan: mitos kosmis, mitos tragis, mitos perihal Adam, dan mitos Orfis.
Mitos Babilonia yang berjulukan Enuma Elish sanggup dianggap sebagai salah satu referensi khas perihal mitos kosmis. Dalam mitos itu kejahatan disamakan dengan “khaos” (keadaan kacau balau) yang terdapat pada awal mula. Dan sebaliknya, keselamatan atau pembebasan dari kejahatan disamakan dengan penciptaan dunia. Dunia diciptakan dengan kemenangan tuhan Marduk atas naga maritim Tiamat. Jadi, dunia diciptakan sebagai akhir perkelahian antara dewa-dewa, di mana Tiamat melambangkan keadaan kacau balau. Dengan kemenangan Marduk, “khaos” diatasi dan segera lahirlah “kosmos” (dunia yang teratur) yang dibuat dari bagian-bagian mayit Tiamat. Manusia diciptakan sebagai akhir suatu perkelahian lain lagi, ketika tuhan Ea—atas nasihat Marduk—membentuk insan dari darah seorang tuhan lain yang telah dikalahkannya. Dengan demikian penciptaan insan ialah kemenangan definitive atas khaos dan serentak juga dikala definitive didirikannya dunia yang teratur. Dalam pandangan mitis ini penciptaan dan keselamatan dianggap identik. Bisa terjadi, adakala khaos dari awal mula itu tampil ke muka lagi; kalau begitu, dengan ritus-ritus kemenangan Marduk yang pertama sekali lagi harus diulangi.
Mitos tragis berdasarkan bentuknya yang paling terang dijumpai dalam tragedy-tragedi Yunani, khususnya tragedy-tragedi yang ditulis Aiskhylos. Menurut pandangan tragis perihal manusia, tuhan merupakan asal-usul kejahatan; tuhan yang tidak berwujud persona, yang disebut Moira (suratan nasib, takdir), theos (tanpa kata sandang: ketuhanan), kakos daimon (roh jahat). Dewa mengakibatkan pendekar (artinya manusia) menjadi bersalah dan terkutuk lantaran bersalah. Kejahatan ialah “takdir” yang menimpa seseorang lantaran ketidaktahuan atau kebutaan. Orang yang melaksanakan kejahatan lebih ibarat dengan korban daripada dengan penjahat. Oidipus tidak mengetahui dan tidak menghendaki apa yang telah dilakukannya, ketika ia membunuh ayahnya dan menikahi ibunya. Kenajisan yang menimpa dirinya lantaran perbuatan itu tidak lain dan tak bukan ialah kutuk yang telah ditakdirkan menjadi nasibnya. Tragik memuncak lagi bila sang pendekar menentang nasib yang telah ditakdirkan dan diramalkan perihal dia. Justru dengan menentang dan berusaha melarikan diri, ia mewujudkan nasib yang menimpa dirinya dengan tidak mengenal ampun. Drama bencana yang menggambarkan kehidupan insan itu menimbulkan fobos (ketakutan) akan kehidupan insani yang terancam dan terkutuk, tetapi juga eleos (kasihan) dengan keberadaan insan yang lantaran takdir ilahi itu jahat dan penuh kesusahan. Dalam bencana Yunani perasaan-perasaan dibahasakan dan dinyanyikan oleh paduan bunyi yang bertindak sebagai penonton dan komentator. Tetapi di sini juga terbuka kemungkinan untuk semacam keselamatan, bukan dalam arti ia dibebaskan dari penderitaan melainkan dalam arti ia diperdamaikan dengan nasibnya. Dengan menyaksikan petualangan-petualangan sang pendekar di pentas dan turut menghayati apa yang dinyanyikan oleh paduan suara, si penonton mencapai catharsis, pembersihan hati, lantaran ia mengerti bahwa insan harus mengalah kepada takdir yang tak terhindarkan. Pathei mathos—kata Aiskhylos--, insan harus menderita untuk sanggup mengerti. Kebebasan di sini sama dengan mendapatkan apa yang mutlak harus terjadi.
Dalam mitos perihal Adam yang diceritakan dalam Kitab Kejadian, kitab pertama dari Kitab Suci Yahudi, insan sendirilah ditunjukkan sebagai asal-usul kejahatan. Semua hal yang tidak beres masuk dunia lantaran insan (Adam berarti “manusia”). Di sini kita menjumpai suatu mitos antropologis perihal kejahatan. Cerita perihal Adam itu mengungkapkan dengan cara mitis penghayatan bangsa Israel mengenai asal mula kejahatan yang sudah kita pelajari dalam simbol dosa. Karena monotheismenya yang memiliki pandangan etis yang luhur, Israel menolak setiap mitos yang mengasalkan kejahatan dari Allah. Kejahatan berasal dari lubuk hati manusia; kejahatan disebabkan lantaran insan tidak setia, lantaran ia “jatuh”. Penciptaan Tuhan itu sendiri baik dan sempurna, hanya insan bertanggung jawab atas segala ketidakberesan dalam dunia.
Menurut Ricoeur, mitos Hibrani ini memiliki dua segi dan balasannya sanggup dibaca dengan dua cara. Menurut suatu sketsa pertama peralihan dari keadaan baik ke keadaan jahat berlangsung lantaran satu orang, satu perbuatan dan pada satu saat. Satu orang yaitu Adam, mewakili seluruh umat manusia; bersama dengan diri Adam setiap insan jatuh dalam dosa. Kejadian itu berlangsung dengan satu perbuatan, yaitu memakan buah terlarang dan dengan demikian pada satu dikala keadaan tak berdosa bermetamorfosis keadaan terkutuk. Dengan mendadak terjadilah keretakan dalam ciptaan Tuhan yang selaras dan tepat itu; dunia yang diciptakan begitu manis telah menjadi busuk. Di samping itu terdapat suatu sketsa kedua di mana terjatuhnya insan digambarkan sebagai suatu drama yang mengikutsertakan beberapa tokoh dan beberapa fase. Selain dari Adam memainkan peranan juga Hawa dan ular. Ular mengingatkan kita pada naga-naga dari mitologi Babilonia, tetapi berdasarkan mitos Hibrani ular itu bukanlah tuhan melainkan ciptaan: “Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala hewan di darat yang dijadikan oleh Tuhan Allah (kej. 3:1). Ular menggodai Hawa, yang kiranya melambangkan kerapuhan dan kelemahan manusia. Dan Hawa kemudian menggodai Adam. Dalam kejadian penggodaan ini menjadi terang bahwa dosa tidak berasal dari insan saja. Pendosa telah digodai. Kejahatan yang dilakukannya sudah ada sebelum ia jatuh. Kejahatan mendahului manusia. Ular melambangkan kejahatan yang berada di luar manusia, ibarat halnya dengan simbol “noda”. Manusia tidak berbuat lain daripada melanjutkan kejahatan yang sudah ada sebelumnya. Dosa tidak pernah merupakan sesuatu yang baru, tetapi hanya meneruskan serta mengikutsertakan kuasa jahat yang mendahului manusia.—Dalam pandangan ini keselamatan tidak lagi bertepatan dengan penciptaan, ibarat halnya dalam mitos kosmis. Keselamatan menjadi eskatologis (menyangkut tamat zaman). Keselamatan ditunggu dari seorang Penebus—Adam yang kedua—yang pada kiamat akan menyelesaikan penebusan yang sudah dimulai, dengan membuat “bumi yang baru” dan menggenapkan sejarah umat manusia.
Masih terdapat mitos tipe lain yang memiliki kedudukan agak terisolasi tetapi pengaruhnya besar sekali dalam kebudayaan Barat. Oleh Ricoeur mitos ini disebut “mitos perihal jiwa yang diasingkan” atau juga “mitos Orfis”, lantaran berasal dari tradisi keagamaan Yunani yang dikenal sebagai Orfisme. Suatu fatwa keagamaan yang menjalankan imbas mendalam atas perkembangan filsafat Yunani, khususnya Platoisme, dan Neoplatonisme. Mitos ini memecah insan ke dalam jiwa dan tubuh. Jiwa tiba dari daerah lain dan memiliki status ilahi tetapi kini terkurung dalam tubuh. Jadi, insan telah “jatuh” lantaran jiwanya dikaitkan dengan badan dan dalam keadaan itu kejahatannya semakin bertambah dan semakin bertambah pula kerinduan akan pembebasan. Pembebasan itu diperoleh melalui jalan pengetahuan, khususnya pengetahuan bahwa badan itu hanya hawa nafsu dan bahwa jiwa harus menentangnya untuk sekali lagi sanggup mencapai “taraf ilahi”.
Sebagai filsuf kita dihentikan membatasi diri pada suatu analisa perihal simbol-simbol dan mitos-mitos yang mengungkapkan pengalaman insan terhadap kejahatan. Filsuf harus berusaha juga untuk menggali dan memahami kebenaran yang terkandung dalam semuanya itu. Ricoeur beropini bahwa di sini ia harus mengadakan suatu pertaruhan (le pari; kata yang tentu saja mengingatkan kita pada Pascal*). Ia bertaruh bahwa suatu refleksi filosofis mengenai kejahatan harus berpusatkan mitos perihal Adam. Dari situ semua mitos lain akan sanggup dimengerti dan sebagian dibenarkan sebagian dikritik. Pilihannya berakar dalam kenyataan bahwa mitos Yahudi itu memberi daerah kepada kebebasan dan tanggung jawab manusia. Namun demikian, mitos perihal Adam itu menjelaskan kejahatan tidak semata-mata etis; insan bukan saja bersalah lantaran ia melaksanakan kejahatan dengan cara bebas, secara tak terelakkan ia juga menjadi korban kejahatan lantaran ia mengalah pada kejahatan yang sudah merajalela. Yang terakhir itu ialah kebenaran dari mitos tragis, sebagaimana juga mitos-mitos lain memuat unsur-unsur kebenaran. Bila kita membaca mitos-mitos lain dalam perspektif mitos perihal Adam itu, tampaklah dimensi-dimensi supra-etis dari kejahatan dan serentak juga batas-batas suatu pandangan langsung etis perihal kejahatan. Mitod Hibrani ini membutuhkan mitos-mitos yang lain, supaya teologinya tidak menjadi suatu monotheisme etis yang terlalu simplistik (Allah sebagai legislator dan Hakim sepenuh-penuhnya berhadapan dengan subjek etis yang selalu dan seluruhnya bebas). Dengan demikian, Allah pada akhirnya tetap Deus Absconditus (Allah yang Tersembunyi) dan insan tidak saja bersalah tetapi juga menjadi korban suatu mysterium iniquitatis (misteri kejahatan), lantaran hal-hal yang tidak beres di dunia ini tidak pernah merupakan semata-mata eksekusi saja.
Download di Sini
Baca Juga
Sumber:
Bertens. K. "Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.
Baca Juga
1. Faul Ricoeur. Biografi
2. Faul Ricoeur. Menuju Filsafat Bahasa