Teori Konstruktivisme Dalam Pendidikan

Para konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran anak. Hal ini berbeda dengan pandangan umum dianut dunia pendidikan hingga sekarang, bahwa pengetahuan secara utuh dipindahkan dari pikiran guru ke pikiran anak, dengannya guru berusaha memasukkan sebanyak mungkin pengetahuan ke kepala siswa.

Teori Konstruksi Pengetahuan
Penelitian-penelitian sains mengungkapkan bahwa berguru sains merupakan suatu proses konstruktif yang menghendaki partisipasi aktif siswa (Inhelder&Piaget, 1958; Piaget, 1964). Menurut Bodner (1986), konstruktivis yang pertama yaitu Piaget*, walaupun perspektif konstruktivis sudah terungkap dalam goresan pena Glambattista Vico* pada tahun 1970. Melalui perspektif Piaget, pengetahuan diproses berdasarkan proses konstruksi selama hidup melalui suatu proses ekuilibrasi antara denah pengetahuan dan pengalaman baru. Antara perspektif Piaget* dan perspektif konstruktivis gres terdapat dua perbedaan. Piaget lebih memfokuskan pada general logical capabilities, sedangkan perspektif gres menekankan domain specific knowledge structures. Selain ini, penelitian-penelitian Piaget* mencakup konstruksi pengetahuan personal melalui interaksi individual dengan lingkungan, sedangkan perspektif gres mengikutsertakan juga proses-proses sosial dalam konstruksi pengetahuan. Dalam konstruksi pengetahuan, guru juga diharuskan aktif. Menurut Duckworth (1986), guru harus aktif menemukan cara-cara untuk memahami konsepsi siswa, menyarankan konsepsi alternatif, menstimulasi keheranan di antara para siswa, dan berbagi tugas-tugas kelas yang mengarah pada konstruksi pengetahuan.

Beberapa interpretasi
Walaupun para peneliti pendidikan sains mendapatkan teori konstruksi wacana belajar, Glasson (1993) melihat adanya perbedaan substantif dalam cara mereka menginterpretasi teori itu: Lawson, Abraham, dan Renner menekankan pada peranan pemikiran hipotesis-deduktif dalam pengembangan pengetahuan ilmiah siswa; Posner, Strike, Hewson, sedangkan Gertzog menekankan peranan pengetahuan yang sudah ada dan konflik konseptual dalam berguru sains; Vygotsky* mengungkapkan pentingnya faktor-faktor sosial dalam belajar. Selama belajar, terdapat saling efek antara bahasa dan tindakan dalam kondisi sosial.

Dengan Vygotsky* mengemukakan bahwa berguru itu harus berlangsung dalam kondisi sosial, terlihat betul peranan bahasa dalam berguru konstruktif. Akhir-akhir ini hal inilah yang menerima perhatian para peneliti konstruktif; mereka dikenal dengan nama konstruktivis sosial.

Selanjutnya Vygotsky* beropini bahwa fungsi-fungsi psikologis yang lebih tinggi, seperti logical memory, voluntary action, dan pembentukan konsep merupakan proses internalisasi. Fungsi-fungsi ini dimulai semenjak bayi sebagai kegiatan yang ditujukan pada benda-benda di sekitarnya; kemudian, fungsi-fungsi ini mengalami transformasi sebab hubungan antarmanusia untuk memperoleh kebermaknaan interpersonal yang mungkin gres tercapai selang waktu yang cukup lama. Jadi, pengembangan fungsi-fungsi psikologi tinggi ini merupakan suatu proses yang lambat dan kadang kala tidak hingga pada tingkat final.

Mengenai berguru sains, Vygotsky* menyarankan bahwa interaksi sosial itu penting dikala siswa menginternalisasi pemahaman-pemahaman yang sulit, masalah-masalah, dan proses. Selanjutnya, proses internalisasi melibatkan rekonstruksi kegiatan psikologis dengan dasar penggunaan bahasa. Jelas tampak bahwa penggunaan bahasa secara aktif yang didasarkan pemikiran merupakan sarana bagi para siswa untuk menegosiasi kebermaknaan pengalaman-pengalaman mereka.


Glaserfeld (1988) tidak begitu yakin dengan penggunaan bahasa dalam kelas konvensional, yaitu bahasa yang dipakai guru untuk memindahkan pengetahuan dari dirinya pada siswa. Menurutnya bahasa sanggup dipakai sebagai alat dalam proses membimbing siswa dalam membangun pengetahuannya.

Para konstruktivis sosial menekankan bentuk-bentuk bahasa untuk mempermudah konstruksi kebermaknaan anak, antara lain: pertanyaan dengan ujung terbuka, menulis kreatif, eksplanasi siswa, obrolan kelas, dan lain-lain.

Lawson* (1988) yang menyarankan tiga tipe siklus berguru dalam berguru sains berdasarkan model konstruktivis beropini betapa pentingnya peranan bahasa dalam bentuk argumentasi. Menurutnya orang yang terampil dalam beragumentasi, terampil pula dalam menalar. Dari pengalaman mengajar selama ini, kita rasakan bahwa dengan meminta para siswa berargumentasi, kita pupuk keterbukaan dalam diri mereka, yang merupakan suatu syarat untuk memperoleh daya logika yang tinggi.

Sumber
Dahar, Ratna Wilis. 2006. Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Erlangga. Jakarta


Download

Baca Juga


Baca Juga
1. Teori Konstruktivisme dalam Pendidikan. Konsepsi Anak
2. Teori Konstruktivisme. Proses Perubahan Konseptual

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel