Fasihnya Kebisuan
Suatu studi objektif mengenai cara-cara makna disampaikan telah memperlihatkan bahwa makna lebih banyak disampaikan dari satu orang kepada orang lain melalui dan di dalam kebisuan ketimbang dalam kata-kata. Sesungguhnya kata-kata dan kalimat-kalimat terdiri dari ruang kosong-ruang kosong kebisuan-kebisuan yang ternyata lebih bermakna ketimbang suara-suara. Jeda-jeda yang penuh antara suara-suara dan perkataan-perkataan menjadi titik-titik yang berkilauan di dalam ruang kosong yang luar biasa: mirip elektron-elektron di dalam atom, mirip planet-planet di dalam tata surya. Bahasa menyerupai seutas tali kebisuan dengan simpul-simpul suara. Laksana simpul-simpul di dalam quipu orang Peru, di mana ruang-ruang kosong berbicara. Bersama Konfucius kita sanggup melihat bahasa sebagai sebuah roda. Jari-jarinya memusat, namun ruang-ruang kosong di antara jari-jari itulah yang menciptakan roda.
Begitu pula saat seorang ulama dulu, berjalan dalam hujan yang deras, namun tidak lembap kuyup, saat ia ditanya, ia menjawab, bahu-membahu terdapat jeda atau ruang kosong di antara titik air yang berjatuhan, dan saya berjalan di antara sela-sela atau jeda-jeda ruang kosong tersebut yang ternyata lebih luas dari derasnya air hujan itu sendiri. Atau mungkin kita bisa mencar ilmu dari agama kepercayaan zaman dulu sebelum kemudian diakulturasi oleh Islam, yaitu agama Kapitayan, yang menyembah Sang Hyang Taya (Kosong), tidak sanggup disentuh, tidak sanggup diraba, tidak sanggup diapa-apakan, bisu, hening, diam, namun manifestasi kekuatannya ada dimana-mana, ruang kosong, jeda atau jarak inilah yang dinamakan kebisuan, kebisuan inilah yang bahu-membahu mendasari semua makna kehidupan. Kematian yaitu kebisuan, maut yaitu jarak atau jeda yang merupakan jalan menuju Sang Maha Pemberi Makna yaitu Tuhan yang Maha Esa. Seluruh makna kehidupan ada pada kematian, dan jikalau Anda ingin mencari kesejatian makna hidup ini, bercerminlah pada kebisuan yang maha bisu yaitu kematian.
Dengan demikian, kita harus mempelajari kata-kata orang lain lebih sedikit daripada kebisuan-kebisuannya biar sanggup mengerti dia. Bukanlah kata-kata atau suara-suara kita yang begitu banyak yang memperlihatkan makna, melainkan bahwa kita akan menciptakan diri kita mengerti lewat jeda-jeda. Dan bahu-membahu mempelajari sebuah bahasa yaitu lebih banyak mempelajari kebisuan-kebisuannya ketimbang pada suara-suaranya. Kebisuan mengada bersama yang awet (coeternal silence).
Di kalangan insan yang berada dalam waktu, ritme yaitu suatu hukum, yang melaluinya percakapan kita menjadi yang-yin yaitu kebisuan dan suara. Sebuah bahasa yang hanya kita ketahui kata-kata atau suara-suaranya yaitu suatu pengingkaran dan pelanggaran terus-menerus yang tidak juga bisa untuk kita perbaiki.
Memang diminta lebih banyak waktu dan perjuangan serta kepekaan untuk mempelajari kebisuan seseorang ketimbang mempelajari suara-suaranya. Sedikit orang mempunyai talenta khusus untuk hal ini. Barangkali inilah yang menjelaskan kelangkaan ulama, ustadz, pemuka agama ataupun pemimpin, sekalipun mereka berusaha, tidak pernah bicara dengan tepat, berkomunikasi dengan lembut melalui kebisuan-kebisuan. Meski bicara banyak, memberi fatwa, hikmah ataupun melalui bahasa yang bisa dimengerti oleh orang kebanyakan, namun tetap ribuan mill jauhnya dari hati umat. Golput yaitu salah satu jenis kebisuan, MUI berfatwa haram golput dan wajib memilih, namun suara-suara itu tetap tidak bisa dipahami umat. Demikian, mempelajari tata bahasa kebisuan (the grammar of silence) yaitu sebuah seni yang lebih sulit dipelajari daripada tata bahasa bunyi (the grammar of sound).
Kebisuan mempunyai jeda-jeda dan keragu-raguannya, ritme-ritme dan ekspresi-ekspresi, dan modulasi-modulasi suaranya; usang dan tinggi rendah nadanya, dan waktu-waktu menjadi dan tidak menjadi. Persis mirip kata-kata kita, ada persamaan antara kebisuan kita bersama insan dengan kebisuan kita bersama Tuhan. Untuk mempelajari makna seutuhnya dari yang satu, kita harus mempraktikkan dan memperdalam yang lain. Ada beberapa jenis kebisuan; kebisuan pendengar murni, kepasifan mirip perempuan, kebisuan dari ketertarikan yang mendalam. Kebisuan-kebisuan tersebut terancam oleh jenis kebisuan yang lain yaitu kebisuan ketidakacuhan, kebisuan ketidaktertarikan yang mengandaikan bahwa tidak ada yang saya inginkan atau yang sanggup saya terima melalui komunikasi dengan orang lain. Misalnya kebisuan yang tidak menyenangkan dari seorang istri yang canggung mendengarkan suaminya berkenaan dengan hal-hal kecil yang sangat ingin diceritakan padanya, atau mungkin kebisuan seseorang yang sudah merasa tahu isi dan arah pembicaraan orang lain. Ia yaitu kebisuan dari batu, mati alasannya yaitu tidak berafiliasi dengan kehidupan. Orang yang memperlihatkan pada kita, bahwa ia mengetahui ritme kebisuan kita lebih erat kepada kita daripada orang yang menganggap bahwa ia tahu bagaimana berbicara.
Download di Sini
Begitu pula saat seorang ulama dulu, berjalan dalam hujan yang deras, namun tidak lembap kuyup, saat ia ditanya, ia menjawab, bahu-membahu terdapat jeda atau ruang kosong di antara titik air yang berjatuhan, dan saya berjalan di antara sela-sela atau jeda-jeda ruang kosong tersebut yang ternyata lebih luas dari derasnya air hujan itu sendiri. Atau mungkin kita bisa mencar ilmu dari agama kepercayaan zaman dulu sebelum kemudian diakulturasi oleh Islam, yaitu agama Kapitayan, yang menyembah Sang Hyang Taya (Kosong), tidak sanggup disentuh, tidak sanggup diraba, tidak sanggup diapa-apakan, bisu, hening, diam, namun manifestasi kekuatannya ada dimana-mana, ruang kosong, jeda atau jarak inilah yang dinamakan kebisuan, kebisuan inilah yang bahu-membahu mendasari semua makna kehidupan. Kematian yaitu kebisuan, maut yaitu jarak atau jeda yang merupakan jalan menuju Sang Maha Pemberi Makna yaitu Tuhan yang Maha Esa. Seluruh makna kehidupan ada pada kematian, dan jikalau Anda ingin mencari kesejatian makna hidup ini, bercerminlah pada kebisuan yang maha bisu yaitu kematian.
Dengan demikian, kita harus mempelajari kata-kata orang lain lebih sedikit daripada kebisuan-kebisuannya biar sanggup mengerti dia. Bukanlah kata-kata atau suara-suara kita yang begitu banyak yang memperlihatkan makna, melainkan bahwa kita akan menciptakan diri kita mengerti lewat jeda-jeda. Dan bahu-membahu mempelajari sebuah bahasa yaitu lebih banyak mempelajari kebisuan-kebisuannya ketimbang pada suara-suaranya. Kebisuan mengada bersama yang awet (coeternal silence).
Memang diminta lebih banyak waktu dan perjuangan serta kepekaan untuk mempelajari kebisuan seseorang ketimbang mempelajari suara-suaranya. Sedikit orang mempunyai talenta khusus untuk hal ini. Barangkali inilah yang menjelaskan kelangkaan ulama, ustadz, pemuka agama ataupun pemimpin, sekalipun mereka berusaha, tidak pernah bicara dengan tepat, berkomunikasi dengan lembut melalui kebisuan-kebisuan. Meski bicara banyak, memberi fatwa, hikmah ataupun melalui bahasa yang bisa dimengerti oleh orang kebanyakan, namun tetap ribuan mill jauhnya dari hati umat. Golput yaitu salah satu jenis kebisuan, MUI berfatwa haram golput dan wajib memilih, namun suara-suara itu tetap tidak bisa dipahami umat. Demikian, mempelajari tata bahasa kebisuan (the grammar of silence) yaitu sebuah seni yang lebih sulit dipelajari daripada tata bahasa bunyi (the grammar of sound).
Kebisuan mempunyai jeda-jeda dan keragu-raguannya, ritme-ritme dan ekspresi-ekspresi, dan modulasi-modulasi suaranya; usang dan tinggi rendah nadanya, dan waktu-waktu menjadi dan tidak menjadi. Persis mirip kata-kata kita, ada persamaan antara kebisuan kita bersama insan dengan kebisuan kita bersama Tuhan. Untuk mempelajari makna seutuhnya dari yang satu, kita harus mempraktikkan dan memperdalam yang lain. Ada beberapa jenis kebisuan; kebisuan pendengar murni, kepasifan mirip perempuan, kebisuan dari ketertarikan yang mendalam. Kebisuan-kebisuan tersebut terancam oleh jenis kebisuan yang lain yaitu kebisuan ketidakacuhan, kebisuan ketidaktertarikan yang mengandaikan bahwa tidak ada yang saya inginkan atau yang sanggup saya terima melalui komunikasi dengan orang lain. Misalnya kebisuan yang tidak menyenangkan dari seorang istri yang canggung mendengarkan suaminya berkenaan dengan hal-hal kecil yang sangat ingin diceritakan padanya, atau mungkin kebisuan seseorang yang sudah merasa tahu isi dan arah pembicaraan orang lain. Ia yaitu kebisuan dari batu, mati alasannya yaitu tidak berafiliasi dengan kehidupan. Orang yang memperlihatkan pada kita, bahwa ia mengetahui ritme kebisuan kita lebih erat kepada kita daripada orang yang menganggap bahwa ia tahu bagaimana berbicara.