Menafsirkan Realitas Sosial

Secara mudah kita hidup dalam realitas yang majemuk, bermacam-macam ibarat hidup dalam jaring-jaring kusut. Duduk di dingklik sekolah dan mencamkan isi pelajaran dapat mempunyai arti berusaha memahami jaring-jaring yang kusut itu, bagaimana kekusutannya, untuk merapikan atau “menata”nya. Namun, penataan pun sebuah pembentukan realitas, setidaknya dalam kesadaran. Apa yang diperoleh dalam kesadaran dapat terlahir ke luar kesadaran. Dengan menata kekusutan itu dalam pikiran, atau menganalisisnya, kita dapat bertindak dengan pikiran itu untuk mewujudkan penataan itu. Realitas negara Pancasila dalam kesadaran sebagian diusahakan terlahir ke luar kesadaran, yaitu sistem-sistem sosio-politis masyarakat dan negara Indonesia yang kini kita alami ini.

Menafsirkan apa itu “realitas” menjadi sangat penting untuk mewujudkan realitas itu sendiri, teristimewa dalam realitas sosial. Di dalam situasi masyarakat kontemporer ini, bunyi ilmu-ilmu sosial budaya dalam menafsirkan realitas itu tentu lebih diyakini daripada bunyi man in the street (orang awam). Namun, tafsiran itu, atau lebih tepatnya tafsiran-tafsiran itu, tidak dikeluarkan dari satu suara.

Ada banyak bunyi yang berebut menyerbu untuk menafsirkan satu realitas. Semuanya mengklaim diri sebagai bunyi yang paling benar, penafsiran yang paling sahih atas realitas, atau singkatnya paling objektif. Artinya, penafsiran itulah yang paling sesuai dengan realitas apa adanya, tidak tergantung pada sang penafsir sendiri. Penafsiran apa adanya inilah yang disebut potret realitas sosial.

Potret semacam ini tentu sangat penting untuk menggambarkan mekanisme-mekanisme objektif yang menjalankan realitas itu. Jadi, kalau lembaga-lembaga negara, ormas-ormas, orpol-orpol, pranata-pranata budaya, sosial, agama dalam negara kita, dan seterusnya dipotret, kita akan menemukan bagaimana semuanya itu berhubung-hubungan menjalin satu realitas, realitas sosial itu. Potret objektif semacam ini tentu penting, tetapi sebagaimana halnya potret, menangkap salah satu momen dari bencana itu. lain halnya, bila realitas itu di “film” kan. Lalu, kita akan melihat aliran bencana yang menuju realitas itu. namun, “film” ini pun, sebagaimana disajikan oleh historiografi atau ilmu sejarah, dapat merupakan sebuah film yang berjalan berdasarkan skenario pembuatnya, bukan menangkap realitas apa adanya. Lantas juga ada duduk perkara objektivitas dalam ilmu sejarah.

Satu hal yang dapat kita pegang yaitu bahwa realitas itu bukan sekedar ibarat sebuah “potret”, melainkan juga “film”, dinamis, bergerak, mengalir, atau singkatnya, selalu berada dalam “proses menjadi”. Penafsiran-penafsiran ilmu-ilmu sosio-historis terhadap realitas itu mempunyai dua pengandaian. Pertama, tafsiran-tafsiran itu dianggap lepas dari penafsirannya, atau “objektif”. Kedua, realitas yang ditafsirkan dipandang sebagai fakta yang dihentikan dinilai, kalau tak mau dikatakan sebagai “wajar terjadi”. Keluar dari dua pengandaian tersebut, seorang ilmuwan sosial dapat beralih fungsi menjadi man in the street. Namun, penafsiran faktual macam ini memang menjadi ciri refleksi tahap pertama. Dalam arti tertentu, masyarakat kontemporer ditandai oleh keyakinan yang cukup besar akan, kalau tidak mau dikatakan memutlakkan, penafsiran-penafsiran macam ini. Lalu, yang paling berkuasa untuk menafsirkan realitas sebagai realitas yaitu ilmu-ilmu pengetahuan, dan pada taraf tertentu jadilah realitas itu berdasarkan penafsiran yang diyakininya.


Download di Sini


Sumber
Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel