Paradigma Dalam Sosiologi

Konsep Paradigma berasal dari bahasa Yunani yaitu paradeigma yang berarti pola, model atau rencana. Konsep ini menjadi begitu terkenal semenjak diterbitkannya karya Thomas Kuhn yaitu “The Structure of Scientific Revolutions” yang bertujuan menyingkap perkiraan perihal cara-cara yang terjadi dalam perubahan ilmu. Robert Friedrich (1970) memperlihatkan definisi paradigma sebagai pandangan yang fundamental dari suatu disiplin ilmu perihal apa yang menjadi pokok duduk kasus yang semestinya dipelajari. George Ritzer* (1975) yang lebih memandang konsep paradigma sebagai hasil komitmen (konsensus) para ilmuwan dari suatu disiplin ilmu perihal apa yang menjadi pokok duduk kasus (subject matter) yang semestinya dipelajari oleh suatu disiplin ilmu (Yulia Sugandi, “Rekontruksi Sosiologi Humanis menuju Praksis”, 2002, hal 56-57). Di mana komitmen tersebut pada hasilnya berkenan membentuk identitas dari suatu disiplin kelimuan.

Ritzer* (“Sosiologi sebagai Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda”, 1992) mengintisarikan bahwa konsep paradigma tersebut intinya mempunyai tiga kegunaan yaitu, pertama; sebagai pembeda antara komunitas ilmiah satu dengan lainnya, kedua; untuk membedakan antara tahap-tahap historis yang berbeda dalam perkembangan suatu ilmu, ketiga; sebagai pembeda antara cognitif groufings dalam suatu ilmu yang sama. Melalui fungsi yang ketiga Ritzer* mengkhususkan diri dalam kajiannya perihal ilmu-ilmu sosial (humaniora) yang memperlihatkan tugas yang cukup istimewa terhadap aspek kognitif dari subjek yang turut membentuk perkembangan sebuah disiplin keilmuan. Hal ini pula yang mendasari keberadaan sosiologi sebagai sebuah disiplin keilmuan yang semenjak awal mula pembentukannya mempunyai lebih dari satu paradigma.

Menurut Robert Friedrich (Doyle Paul Johnson, “Teori Sosiologi Klasik dan Kontemporer”, edisi II, 1991), berdasarkan apa yang menjadi pokok duduk kasus (subject matter) dari sosiologi sanggup dibedakan berdasarkan dua macam paradigma yaitu: paradigma sistem dengan pengutamaan pada konsensus, serta paradigma konflik yang menekankan pada disintegrasi dan paksaan.

Kedua paradigma ini pada gilirannya melahirkan perkiraan yang berlainan dalam pembentukan perspektif sebuah teori. Dalam hal ini terdapat hubungan yang aktual antara konsep paradigma dengan teori-teori sosial, di mana teori yaitu hanya merupakan serpihan dari paradigma yang lebih besar, dengan demikian sebuah paradigma sanggup mencakup dua atau lebih teori.

Berbeda dengan Friedrich, Ritzer* membagi paradigma sosiologi menjadi tiga serpihan yaitu paradigma fakta sosial, definisi sosial dan sikap sosial. Di sini Ritzer* meletakan teori konflik dan teori fungsional termasuk teori sistem dalam paradigma fakta sosial dengan perkiraan terdapat pokok kajian yang sama yaitu, fenomena struktur sosial skala luas dan institusi, serta efeknya terhadap pedoman dan agresi individu. Ritzer* melihat paradigma fakta sosial ini yaitu sebagai paradigma yang mempunyai warna deterministik, yaitu menghilangkan keunikan individu sebagai semata-mata imbas samping dari sistem yang berlaku. Di mana sistem kemasyarakatan dalam hal ini, bisa memaksa atau memperlakukan hidup individu sesuai dengan harapan dari struktur atau sistem kemasyarakatan yang berlaku, atau dengan kata lain berdasarkan Ian Craib (Ian Craib,”Teori Sosial Modern; dari Parson* hingga Habermas*”, 1981) paradigma yang dimaksudkan Ritzer yaitu paradigma strukturalis yang mewartakan maut subjek individu.

Ritzer* meletakan paradigma fakta sosial ini dalam kedudukan di antara kontinum makroskofik dan objektif, di samping tiga kontinum lainnya yaitu, makro-subjektif, mikro-objektif dan mikro-subjektif. Dalam hal ini, Ritzer mengambil eksemplar bagi paradigma fakta sosial dari seorang maestro sosiologi yaitu Emile Durkheim* melalui masterpiece-nya Suicede. Namun melalui pembagian paradigma tersebut berdasarkan Heru Nugroho sebetulnya Ritzer harus menghadapi posisi dilematis dari pernyataannya. Hal ini lebih dikarenakan pembagian paradigma yang dilakukan Ritzer*, yaitu dengan memasukan beberapa tokoh khas pada masing-masing paradigma yang didasarkan pada keberadaan level analisa dari keseluruhan model yang ia tawarkan (kontinum makro-mikro dan subjektif-objektif) merupakan pembagian yang bersifat kaku dan semena-mena. Akan halnya Suciede sendiri lebih merupakan pernyataan mikro dan makro objektif, demikian adanya dengan Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme karya Max Weber*, Ritzer mereduksi tokoh yang terakhir ini dengan memasukannya ke dalam penggolongan paradigma definisi sosial, padahal lebih cocok jikalau karya terbesar tokoh tersebut digolongkan dalam paradigma fakta sosial.


Sumber. Yulia Sugandi (2002:99)

Lain halnya dengan Yulia Sugandi (2002:99) yang lebih bisa melihat maksud Ritzer* tersebut pada pengembangan teladan pembagian antara empat kontinum tersebut di atas, sebagai upaya menjembatani ragam paradigma yang ada dalam sosiologi. Sehingga empat kontinum tersebut, berdasarkan Yulia Sugandi lebih merupakan penggambaran atas level analisa sosial (level of social analysis) dari masing-masing teori yang ada. Di mana Yulia Sugandi melihat teladan penggambaran atas realitas sosial yang dilakukan Ritzer tersebut cukup memadai dalam menjelaskan dan menggambarkan realitas sosial secara utuh dan menyeluruh. Hal tersebut, sejalan dengan pernyataan yang cukup menarik yang dikutip oleh penulis dalam studi metateorizing atas konsep multiparadigma Ritzer yang dilakukan oleh Yulia Sugandi menyebutkan bahwa, “Meskipun definisi paradigma Ritzer* memuat seperangkat komponen unik menyerupai yang disebutkan dalam pembahasan serpihan awal ini, akan tetapi Ritzer melabelkan integrated sociological paradigm atau paradigma sosiologi yang terpadu, sebagai sebutan lain untuk image pokok kajian sosiologi. Pada dasarnya, paradigma terpadu bermaksud mengintegrasikan level analisa sosial dan sebaliknya bukan antarparadigma yang eksis yakni paradigma fakta sosial, definisi dan sikap sosial. Penulis menangkap seruan Ritzer untuk memfokuskan perhatian pada upaya integrasi level analisa sosial yang berlangsung secara dialektis dalam pembentukan paradigma terpadu” (Yulia Sugandi, hal 99).

Dalam hal ini penggunaan konsep mikro-makro dan subjektif-objektif yang dipakai oleh Ritzer* hanya sebatas pada upayanya dalam menggambarkan realitas sosial (level of social analysis) nyata, bersifat menyeluruh dan yang seharusnya menjadi pokok kajian dalam sosiologi. Sebaliknya Ritzer* sendiri lebih memandang keberadaan Teori Karl Marx* dengan perspektif konfliknya (Friedrich di atas) merupakan jembatan antara paradigam yang ada, atau dengan kata lain Marx* membangun teorinya berdasarkan keempat level analisa di atas. Teori Marx oleh Ritzer diletakan sebagai starter point bagi pengembangan konsep paradigma terpadu, hal tersebut lebih dikarenakan bahwa, “Pengertian kesatuan subjektif objektif dimuali dari menengok kembali akar filsafat sosiologi dan mengangkat continnum atau kesatuan, tepatnya terminologi pemilahan antara idealism dan materialism” (Yulia Sugandi, Hal 100).


Download di Sini


Sumber.
Ramdani, Dani. 2005. Studi Komparasi antara Teori Karl Marx dan Teori Kritis Mazhab Frankfurt dalam Menganalisa Masyarakat Kapitalis. Skripsi. Universitas Lampung.

Baca Juga
1. Paradigma Sosiologi
2. Paradigma Sosiologi. Fakta Sosial
3. Paradigma Sosiologi. Definisi Sosial
4. Paradigma Sosiologi. Perilaku Sosial
5. Paradigma Terpadu
6. Teori-teori Karl Marx sebagai Model Pengembangan Paradigma Terpadu dalam Sosiologi

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel