Tuntutan-Tuntutan Sopan Santun Harmoni
Marilah kita mencermati konsep kewajiban di dalam tabiat harmoni. “Kewajiban” dimengerti sebagai tuntutan-tuntutan normatif dari masyarakat kepada individu. Tuntutan-tuntutan manakah yang diberikan oleh tabiat harmoni? Di sini saya tidak akan membicarakan rincian norma, melainkan dengan tipe ideal mensketsakan tuntutan-tuntutan dasariah yang menata kekerabatan orang Jawa satu sama lain. Hal itu tidak bersangkutan dengan tuntutan-tuntutan aturan tertulis, sebagaimana dikembangkan di Barat, melainkan menyangkut ekspektasi-ekspektasi timbal-balik yang bersifat pra-politis dari pemain drama sosio-kultural. Tuntutan-tuntutan dasariah tersebut dikonkretkan di dalam kewajiban-kewajiban sosial. Sementara yang satu memilih hubungan-hubungan horizontal di antara individu-individu di dalam kehidupan bermasyarakat, yang lainnya menyangkut hubungan-hubungan vertikal dengan para pemegang otoritas.
Tuntutan dasariah horizontal itu adalah—dalam bahasa Jawa—rukun. Kata itu—sebuah adjektif—berarti ‘damai’, ‘tanpa pertentangan’, ‘harmonis’, ‘serasi’. Dalam pergaulannya dengan orang-orang lain orang Jawa berupaya untuk menjaga keselarasan dan menghindari pertentangan. Dia cenderung untuk menghindar dari semua tegangan yang mengganggu harmoni, sekalipun untuk itu beliau harus menekan perasaan-perasaan dan keinginan-keinginannya. Menjaga biar orang tidak kecewa ialah sebuah seni dan bahkan sebuah keutamaan bagi orang Jawa. Orang tidak pernah menyatakan perasaan-perasaannya yang sesungguhnya, terutama perasaan-perasaan negatif, di hadapan orang lain di luar lingkungan intimnya. Tuntutan untuk rukun bukanlah sebuah disposisi etis suatu subjek, melainkan hubungan-hubungan sosial yang harmonis, sekurang-kurangnya tampak demikian dari luar. Dalam tuntutan untuk rukun ini prioritas masyarakat atas individu cukuplah jelas. Segala yang mengganggu harmoni yang ada mesti disingkirkan: konflik-konflik kepentingan, ambisi individu, ketamakan, agresi, emosi dst. Para individu dituntut untuk bertindak selaras dengan kelompoknya. Di dalam gotong royong, sebagaimana dalam pemakaman, pembangunan rumah atau proyek-proyek pedesaan lainnya, tuntutan untuk rukun itu terwujud dengan jelas.
Tuntutan dasariah yang vertikal adalah—dalam bahasa Jawa—urmat. Kata itu—sebuah substantif—berarti “respek”, “penghargaan”, “hormat”. Yang diacu di sini ialah kekerabatan dengan otoritas, orang-orang yang lebih renta atau singkatnya: dengan semua orang yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi.
Di dalam kebudayaan Jawa semua kekerabatan sosial tertata secara hirarkis. Orang Jawa menghormati dan menghargai tatanan kosmos yang di dalamnya setiap unsur kosmis mempunyai “tempatnya yang cocok” (bahasa Jawanya cocog) di dalam suatu keseluruhan yang tersusun dengan baik. Sama ibarat tatanan kosmis tatanan sosial juga tertata demikian: Setiap orang harus mengambil daerah yang cocok untuk dirinya sedemikian rupa sehingga semua orang berada di dalam kekerabatan yang selaras bagaikan orkes gamelan. Tuntutan untuk urmat berbunyi bahwa “setiap orang dalam bahasa dan ungkapan harus selalu mengungkapkan perilaku hormat kepada orang lain sesuai dengan peringkatnya”. Bagi orang Jawa tak terbayangkan berkomunikasi dengan orang lain tanpa mengindahkan peringkat orang itu. Dalam hal ini orang Jawa semenjak kecil membatinkan perasaan-perasaan tertentu yang mereka rasakan dalam berafiliasi dengan orang-orang yang tinggi posisinya: Dia merasa pakewuh (segan), jikalau menghadapi orang dengan posisi yang tinggi; dan isin (malu), jikalau beliau tidak mengatakan respek terhadap orang itu.
Tuntutan untuk rukun dan urmat ini berlaku sebagai prinsip organisasi kebudayaan Jawa. Keduanya merupakan komponen-komponen pokok sebuah kebudayaan konsensus yang menilai kontradiksi sebagai malu bagi masyarakat. Selain itu keduanya menyiratkan bahwa tradisi harmoni Jawa bertolak dari ketidaksamaan di antara manusia-manusia sehingga usaha untuk kesamaan dianggap sebagai gangguan keseimbangan sosial dan kosmis. Mentalitas semacam ini kiranya sanggup ditemukan dalam suku-suku lain di Indonesia dan bahkan mungkin juga di antara bangsa-bangsa di Asia.
Kultur konsensus ibarat itu atau—dalam istilah Hans Kung—ethos semacam itu tidaklah kebal terhadap instrumentalisasi ideologis ataupun politis. Justru jikalau diusulkan sebagai kewajiban juristis dan politis, ethos tersebut akan mempunyai ciri memaksa sehingga ethos itu juga sanggup berkembang menjadi menjadi sebuah alat penindasan yang efektif atas setiap upaya oposisional dan demokratis. Hal itu terlihat dalam apa yang disebut model negara integralistik yang diperkenalkan oleh Supomo pada 31 Mei 1945 dalam perdebatan perihal konstitusi RI dan yang kemudian diambilalih oleh pemerintahan Suharto. Gambaran perihal negara yang juga disebut paham negara kekeluargaan ini merupakan sebuah kombinasi dari aneka macam filsafat Barat (Spinoza*, Hegel*, dan Adam Muller) dan prinsip-prinsip harmoni Jawa yang mengidealkan ketunggalan antara pihak yang berkuasa dan pihak yang dikuasai, antara bapak dan para anggota keluarga lainnya. Model semacam itu sanggup mengecoh kenyataan sosial yang bergotong-royong ditandai dengan tegangan-tegangan, konflik-konflik dan kesenjangan-kesenjangan dengan cara meromantisasi masyarakat secara politis. Negara yang ibarat keluarga yang di dalamnya yang memerintah dan yang diperintah merupakan suatu kesatuan sulit sekali untuk diubahsuaikan dengan kompleksitas masyarakat Indonesia modern yang dicirikan dengan aneka macam pengelompokan dan gaya hidup yang majemuk. Karena itu konsep tersebut merupakan delusi yang berbahaya bagi demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Oposisi politis sama sekali tidak sanggup diperdamaikan dengan “skenario keluarga besar ini, sebab hanya akan berarti gangguan atas harmoni.
Download
Batas-Batas Etika Harmoni
Sumber
Hardiman, Budi.F. 2001. Hak-Hak Asasi Manusia; Polemik dengan Agama dan Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta
Tuntutan dasariah yang vertikal adalah—dalam bahasa Jawa—urmat. Kata itu—sebuah substantif—berarti “respek”, “penghargaan”, “hormat”. Yang diacu di sini ialah kekerabatan dengan otoritas, orang-orang yang lebih renta atau singkatnya: dengan semua orang yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi.
Tuntutan untuk rukun dan urmat ini berlaku sebagai prinsip organisasi kebudayaan Jawa. Keduanya merupakan komponen-komponen pokok sebuah kebudayaan konsensus yang menilai kontradiksi sebagai malu bagi masyarakat. Selain itu keduanya menyiratkan bahwa tradisi harmoni Jawa bertolak dari ketidaksamaan di antara manusia-manusia sehingga usaha untuk kesamaan dianggap sebagai gangguan keseimbangan sosial dan kosmis. Mentalitas semacam ini kiranya sanggup ditemukan dalam suku-suku lain di Indonesia dan bahkan mungkin juga di antara bangsa-bangsa di Asia.
Kultur konsensus ibarat itu atau—dalam istilah Hans Kung—ethos semacam itu tidaklah kebal terhadap instrumentalisasi ideologis ataupun politis. Justru jikalau diusulkan sebagai kewajiban juristis dan politis, ethos tersebut akan mempunyai ciri memaksa sehingga ethos itu juga sanggup berkembang menjadi menjadi sebuah alat penindasan yang efektif atas setiap upaya oposisional dan demokratis. Hal itu terlihat dalam apa yang disebut model negara integralistik yang diperkenalkan oleh Supomo pada 31 Mei 1945 dalam perdebatan perihal konstitusi RI dan yang kemudian diambilalih oleh pemerintahan Suharto. Gambaran perihal negara yang juga disebut paham negara kekeluargaan ini merupakan sebuah kombinasi dari aneka macam filsafat Barat (Spinoza*, Hegel*, dan Adam Muller) dan prinsip-prinsip harmoni Jawa yang mengidealkan ketunggalan antara pihak yang berkuasa dan pihak yang dikuasai, antara bapak dan para anggota keluarga lainnya. Model semacam itu sanggup mengecoh kenyataan sosial yang bergotong-royong ditandai dengan tegangan-tegangan, konflik-konflik dan kesenjangan-kesenjangan dengan cara meromantisasi masyarakat secara politis. Negara yang ibarat keluarga yang di dalamnya yang memerintah dan yang diperintah merupakan suatu kesatuan sulit sekali untuk diubahsuaikan dengan kompleksitas masyarakat Indonesia modern yang dicirikan dengan aneka macam pengelompokan dan gaya hidup yang majemuk. Karena itu konsep tersebut merupakan delusi yang berbahaya bagi demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Oposisi politis sama sekali tidak sanggup diperdamaikan dengan “skenario keluarga besar ini, sebab hanya akan berarti gangguan atas harmoni.
Download
Baca Juga
Batas-Batas Etika Harmoni
Sumber
Hardiman, Budi.F. 2001. Hak-Hak Asasi Manusia; Polemik dengan Agama dan Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta