Sistem Pengendalian Sosial (Social Control)
Di dalam percakapan sehari-hari, sistem pengendalian sosial* (social control) sering kali diartikan sebagai pengawasan oleh masyarakat terhadap jalannya pemerintahan, khususnya pemerintah beserta aparaturnya. Memang ada benarnya bahwa pengendalian sosial* berarti suatu pengawasan dari masyarakat terhadap jalannya pemerintahan. Akan tetapi, arti bekerjsama pengendalian sosial tidaklah berhenti pada pengertian itu saja. Arti sesungguhnya pengendalian sosial* jauh lebih luas, sebab pada pengertian tersebut meliputi segala proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak, atau bahkan memaksa warga-warga masyarakat mematuhi kaidah-kaidah dan nilai sosial yang berlaku. Makara pengendalian sosial sanggup dilakukan oleh individu terhadap individu lainnya (misalnya seorang ibu mendidik anak-anaknya untuk mengikuti keadaan pada kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku) atau dilakukan oleh individu terhadap suatu kelompok sosial, atau oleh suatu kelompok terhadap kelompok lainya, atau kelompok terhadap individu.
Pengendalian sosial* terutama bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Atau, suatu sistem pengendalian sosial bertujuan untuk mencapai keadaan tenang melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan atau kesebandingan.
Dari sudut sifatnya dapatlah dikatakan bahwa pengendalian sosial sanggup bersifat preventif atau represif, atau bahkan kedua-duanya. Prevensi merupakan suatu perjuangan pencegahan terhadap terjadinya gangguan-gangguan pada keserasian antara kepastian dengan keadilan. Sementara itu usaha-usaha yang represif bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang pernah mengalami gangguan. Usaha-usaha preventif, contohnya dijalankan melalui proses sosialisasi, pendidikan formal, dan informal. Sementara itu, represif berwujud penjatuhan hukuman terhadap para warga masyarakat yang melanggar atau menyimpang dari kaidah-kaidah yang berlaku.
Suatu proses pengendalian sosial* sanggup dilaksanakan dengan aneka macam cara yang pada pokoknya berkisar pada cara-cara tanpa kekerasan (persuasive) ataupun dengan paksaan (coercive). Kedua cara tersebut sangat bergantung pada siapa pengendalian sosial tadi hendak diperlakukan dan di dalam keadaan yang bagaimana. Di dalam suatu masyarakat yang secara relatif berada dalam keadaan yang tenteram, cara-cara persuasive mungkin akan lebih efektif daripada penggunaan paksaan sebab di dalam masyarakat yang tenteram sebagian besar kaidah-kaidah dan nilai-nilai telah melembaga atau bahkan mendarah daging di dalam diri para warga masyarakat. Sementara itu, paksaan lebih sering diharapkan di dalam masyarakat yang berubah sebab di dalam keadaan menyerupai itu pengendalian sosial juga berfungsi untuk membentuk kaidah-kaidah gres yang menggantikan kaidah-kaidah usang yang telah goyah.
Di samping cara-cara tersebut, dikenal pula teknik-teknik menyerupai compulsion dan pervasion. Di dalam compultion, diciptakan situasi sedemikian rupa sehingga seseorang terpaksa taat atau mengubah sikapnya, yang menghasilkan kepatuhan secara tidak langsung. Pada pervasion, penyampaian norma atau nilai yang ada diulang-ulang sedemikian rupa dengan impian hal tersebut masuk dalam aspek bawah sadar seseorang. Dengan demikian, orang tadi akan mengubah sikapnya sehingga harmonis dengan hal-hal yang diulang-ulang penyampaiannya itu.
Alat-alat yang biasa dipakai untuk melaksanakan pengendalian sosial* beraneka ragam. Suatu alat tertentu mungkin saja efektif bila diterapkan di dalam suatu masyarakat bersahaja. Akan tetapi, hampir-hampir mustahil dipakai pada masyarakat yang telah rumit susunannya. Dengan demikian, setiap masyarakat akan memakai alat-alat yang sesuai dengan kebutuhannya. Namun, yang terpokok ialah bagaimana caranya biar pengendalian sosial tersebut melembaga dan mendarah daging dalam masyarakat biar penerapannya efektif. (Baca Juga Materi Kelas X wacana Pengendalian Sosial).
Perwujudan pengendalian sosial mungkin ialah pemidanaan, kompensasi, terapi, ataupun konsiliasi. Standar atau patokan pemidanaan ialah suatu larangan yang apabila dilanggar akan menjadikan penderitaan (sanksi negatif) bagi pelanggarnya. Dalam hal ini kepentingan-kepentingan seluruh kelompok masyarakat dilanggar sehingga inisiatif tiba dari seluruh warga kelompok (yang mungkin dikuasakan kepada pihak-pihak tertentu).
Pada kompensasi, standar atau patokannya ialah kewajiban, di mana inisiatif untuk memprosesnya ada pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan akan meminta ganti rugi sebab pihak lawan melaksanakan cedera janji. Di sini ada pihak yang kalah dan ada pihak yang menang sehingga menyerupai halnya dengan pemidanaan, sifatnya ialah akusator.
Sementara itu, berbeda dengan dua wujud pengendalian sosial tersebut, terapi maupun konsiliasi sifatnya remidial, artinya, bertujuan mengembalikan situasi pada keadaan semula (yakni sebelum terjadinya perkara atau sengketa). Hal yang pokok bukanlah siapa yang menang atau siapa yang kalah, tetapi yang penting ialah menghilangkan keadaan yang tidak menyenangkan bagi para pihak (yang berarti adanya gangguan). Dengan demikian, pada terapi dan konsiliasi, standarnya ialah normalitas dan keserasian atau harmoni. Pada terapi, korban mengambil inisiatif sendiri untuk memperbaiki dirinya dengan dukungan pihak-pihak tertentu. Pada konsiliasi, masing-masing pihak yang bersengketa mencari upaya untuk menyelesaikannya, baik secara kompromistis ataupun dengan mengundang pihak ketiga.
Dengan adanya norma-norma, di dalam setiap masyarakat diselenggarakan pengendalian sosial atau social control. Apabila sikap insan diatur oleh aturan tertulis atau perundang-undangan (yakni keputusan-keputusan penguasa yang bersifat resmi dan tertulis, serta mengikat umum), maka diselenggarakan pengendalian sosial formal (formal social control). Artinya, norma-norma aturan tertulis tersebut berasal dari pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dan wewenang formal. Akan tetapi, tidak jarang pengendalian sosial diselenggarakan dengan norma-norma lain (yang bukan aturan tertulis) atau upaya-upaya lain, seperti, pendidikan, agama, desas-desus, dan seterusnya. Di dalam hal ini ada pengendalian sosial informal (informal social control).
Pengendalian sosial manakan yang sebaiknya diterapkan? Lazimnya, yang diterapkan terlebih dahulu ialah pengendalian sosial yang dianggap paling lunak, misalnya, nasihat-nasihat yang tidak mengikat. Taraf selanjutnya ialah menerapkan pengendalian sosial yang lebih ketat untuk kemudian jikalau diperlukan, diharapkan pengendalian sosial yang keras. Di dalam proses tersebut, norma aturan sebaiknya diterapkan pada tahap terakhir apabila sarana-sarana lain tidak menghasilkan tujuan yang ingin dicapai. Sudah tentu bahwa di dalam penerapannya senantiasa harus diadakan telaah terhadap masyarakat atau potongan masyarakat yang dihadapi.
Download di Sini
Materi Sosiologi SMA
1. Materi Sosiologi Kelas X. Bab 6. Pengendalian Sosial (KTSP)
2. Materi Sosiologi Kelas X. Bab 3. Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat (Kurikulum 2013)
3. Materi Sosiologi Kelas X Bab 3.3 Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat (Kurikulum Revisi 2016)
4. Materi Ujian Nasional Kompetensi Penyimpangan dan Pengendalian Sosial
Pengendalian sosial* terutama bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Atau, suatu sistem pengendalian sosial bertujuan untuk mencapai keadaan tenang melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan atau kesebandingan.
Dari sudut sifatnya dapatlah dikatakan bahwa pengendalian sosial sanggup bersifat preventif atau represif, atau bahkan kedua-duanya. Prevensi merupakan suatu perjuangan pencegahan terhadap terjadinya gangguan-gangguan pada keserasian antara kepastian dengan keadilan. Sementara itu usaha-usaha yang represif bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang pernah mengalami gangguan. Usaha-usaha preventif, contohnya dijalankan melalui proses sosialisasi, pendidikan formal, dan informal. Sementara itu, represif berwujud penjatuhan hukuman terhadap para warga masyarakat yang melanggar atau menyimpang dari kaidah-kaidah yang berlaku.
Suatu proses pengendalian sosial* sanggup dilaksanakan dengan aneka macam cara yang pada pokoknya berkisar pada cara-cara tanpa kekerasan (persuasive) ataupun dengan paksaan (coercive). Kedua cara tersebut sangat bergantung pada siapa pengendalian sosial tadi hendak diperlakukan dan di dalam keadaan yang bagaimana. Di dalam suatu masyarakat yang secara relatif berada dalam keadaan yang tenteram, cara-cara persuasive mungkin akan lebih efektif daripada penggunaan paksaan sebab di dalam masyarakat yang tenteram sebagian besar kaidah-kaidah dan nilai-nilai telah melembaga atau bahkan mendarah daging di dalam diri para warga masyarakat. Sementara itu, paksaan lebih sering diharapkan di dalam masyarakat yang berubah sebab di dalam keadaan menyerupai itu pengendalian sosial juga berfungsi untuk membentuk kaidah-kaidah gres yang menggantikan kaidah-kaidah usang yang telah goyah.
Di samping cara-cara tersebut, dikenal pula teknik-teknik menyerupai compulsion dan pervasion. Di dalam compultion, diciptakan situasi sedemikian rupa sehingga seseorang terpaksa taat atau mengubah sikapnya, yang menghasilkan kepatuhan secara tidak langsung. Pada pervasion, penyampaian norma atau nilai yang ada diulang-ulang sedemikian rupa dengan impian hal tersebut masuk dalam aspek bawah sadar seseorang. Dengan demikian, orang tadi akan mengubah sikapnya sehingga harmonis dengan hal-hal yang diulang-ulang penyampaiannya itu.
Alat-alat yang biasa dipakai untuk melaksanakan pengendalian sosial* beraneka ragam. Suatu alat tertentu mungkin saja efektif bila diterapkan di dalam suatu masyarakat bersahaja. Akan tetapi, hampir-hampir mustahil dipakai pada masyarakat yang telah rumit susunannya. Dengan demikian, setiap masyarakat akan memakai alat-alat yang sesuai dengan kebutuhannya. Namun, yang terpokok ialah bagaimana caranya biar pengendalian sosial tersebut melembaga dan mendarah daging dalam masyarakat biar penerapannya efektif. (Baca Juga Materi Kelas X wacana Pengendalian Sosial).
Perwujudan pengendalian sosial mungkin ialah pemidanaan, kompensasi, terapi, ataupun konsiliasi. Standar atau patokan pemidanaan ialah suatu larangan yang apabila dilanggar akan menjadikan penderitaan (sanksi negatif) bagi pelanggarnya. Dalam hal ini kepentingan-kepentingan seluruh kelompok masyarakat dilanggar sehingga inisiatif tiba dari seluruh warga kelompok (yang mungkin dikuasakan kepada pihak-pihak tertentu).
Pada kompensasi, standar atau patokannya ialah kewajiban, di mana inisiatif untuk memprosesnya ada pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan akan meminta ganti rugi sebab pihak lawan melaksanakan cedera janji. Di sini ada pihak yang kalah dan ada pihak yang menang sehingga menyerupai halnya dengan pemidanaan, sifatnya ialah akusator.
Sementara itu, berbeda dengan dua wujud pengendalian sosial tersebut, terapi maupun konsiliasi sifatnya remidial, artinya, bertujuan mengembalikan situasi pada keadaan semula (yakni sebelum terjadinya perkara atau sengketa). Hal yang pokok bukanlah siapa yang menang atau siapa yang kalah, tetapi yang penting ialah menghilangkan keadaan yang tidak menyenangkan bagi para pihak (yang berarti adanya gangguan). Dengan demikian, pada terapi dan konsiliasi, standarnya ialah normalitas dan keserasian atau harmoni. Pada terapi, korban mengambil inisiatif sendiri untuk memperbaiki dirinya dengan dukungan pihak-pihak tertentu. Pada konsiliasi, masing-masing pihak yang bersengketa mencari upaya untuk menyelesaikannya, baik secara kompromistis ataupun dengan mengundang pihak ketiga.
Dengan adanya norma-norma, di dalam setiap masyarakat diselenggarakan pengendalian sosial atau social control. Apabila sikap insan diatur oleh aturan tertulis atau perundang-undangan (yakni keputusan-keputusan penguasa yang bersifat resmi dan tertulis, serta mengikat umum), maka diselenggarakan pengendalian sosial formal (formal social control). Artinya, norma-norma aturan tertulis tersebut berasal dari pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dan wewenang formal. Akan tetapi, tidak jarang pengendalian sosial diselenggarakan dengan norma-norma lain (yang bukan aturan tertulis) atau upaya-upaya lain, seperti, pendidikan, agama, desas-desus, dan seterusnya. Di dalam hal ini ada pengendalian sosial informal (informal social control).
Pengendalian sosial manakan yang sebaiknya diterapkan? Lazimnya, yang diterapkan terlebih dahulu ialah pengendalian sosial yang dianggap paling lunak, misalnya, nasihat-nasihat yang tidak mengikat. Taraf selanjutnya ialah menerapkan pengendalian sosial yang lebih ketat untuk kemudian jikalau diperlukan, diharapkan pengendalian sosial yang keras. Di dalam proses tersebut, norma aturan sebaiknya diterapkan pada tahap terakhir apabila sarana-sarana lain tidak menghasilkan tujuan yang ingin dicapai. Sudah tentu bahwa di dalam penerapannya senantiasa harus diadakan telaah terhadap masyarakat atau potongan masyarakat yang dihadapi.
Download di Sini
Materi Sosiologi SMA
1. Materi Sosiologi Kelas X. Bab 6. Pengendalian Sosial (KTSP)
2. Materi Sosiologi Kelas X. Bab 3. Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat (Kurikulum 2013)
3. Materi Sosiologi Kelas X Bab 3.3 Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat (Kurikulum Revisi 2016)
4. Materi Ujian Nasional Kompetensi Penyimpangan dan Pengendalian Sosial