Teori Kritis Axel Honneth

Seorang siswa Jurgen Habermas*, Axel Honneth kini ialah eksekutif Lembaga Riset Sosial Frankfurt. Setelah Habermas* pensiun, Honneth muncul sebagai teoritisi kritis yang utama. Untuk mencapai status itu, ia telah berbagi suatu pendirian teoritis yang membangun berdasarkan, tetapi mengkritik karya pemikiran kritis dan khususnya karya Habermas*.

Kritik Honneth terhadap pendahulunya, dan juga perspektif teoritisnya, didasarkan pada pandangan-pandangan fundamentalnya mengenai persyaratan-persyaratan suatu teori kritis*. Oleh alasannya ialah alasan yang satu, kritik itu harus didasarkan pada dan muncul dari kritik-kritik simpel yang ada di dunia sehari-hari. Seperti diajukan Honneth (1990/1995:xii), klarifikasi suatu fenomena sosial harus “sedemikian rupa sehingga suatu dimensi simpel kritik itu muncul sebagai syarat hakiki untuk pengertian kritis”.

Oleh alasannya ialah alasan yang lainnya, suatu teori kritis haruslah memiliki perhatian untuk mengemansipasi orang dari dominasi dan penindasan yang mereka alami di dunia nyata. Yakni, sejalan dengan perspektif Marxian tradisional, teori kritis harus memiliki suatu kepentingan integratif baik di dalam teori maupun praktik. Ia harus mengupayakan “penentuan daya pendorong masyarakat yang menempatkan daya pendorong itu di dalam proses historis itu sendiri baik untuk mengkritik maupun untuk mengatasi bentuk-bentuk dominasi yang sudah mapan (Honneth, 1990/1995:xii). Yakni, kepentingan emansipatoris teori kritis terletak di dalam (imanen di dalam) masyarakat itu sendiri.

Masalah mendasar dengan teori kritis klasik, khususnya teori Horkheimer* dan Adorno*, ialah bahwa pandangan yang diambil secara total atas dunia kapitalis menghasilkan negativisme; pandangan itu tidak meninggalkan impian untuk melaksanakan kritik simpel dan kemungkinan emansipatoris di dalam dunia sehari-hari dan di dalam teori kritis itu sendiri. Mengenai teori kritis, Honneth (1990/1995:xii) menyampaikan bahwa teori itu menganjurkan suatu “lingkaran tertutup di antara dominasi kapitalis dan manipulasi budaya, bahwa di sana mustahil ada zona yang tersisa di dalam realitas sosial di masa mereka untuk kritik praktis-moral”. Hal itu membawa Honneth pada kesimpulan bahwa masalah-masalah kunci bagi teori kritis masa kini, dan dengan demikian juga baginya sendiri, ialah bagaimana caranya “mengatasi struktur dominasi sosial dan juga mengidentifikasi sumber-sumber sosial untuk melaksanakan transformasi praktisnya” (Honneth, 1990/1995: xiii).

Di dalam konteks demikian, Honneth melihat teori komunikasi Habermas sebagai suatu langkah maju alasannya ialah memberi kita suatu cara menangani, dan menjangkau dunia kehidupan sehari-hari. Di dalam dunia itu ada “dalam bentuk pengharapan-pengharapan normatif interaksi”—suatu lapisan pengalaman-pengalaman moral... yang akan bertugas sebagai titik pola untuk suatu momen kritik imanen, namun melampauinya” (Honneth, 1990/1995:xiii). Akan tetapi, pada kesannya Honneth menemukan bahwa karya Habermas* tidak beranjak jauh, khususnya di dalam arah yang menjangkau reaksi-reaksi dan perasaan-perasaan moral yang ada di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh alasannya ialah itu, Honneth berusaha membangun berlandaskan Habermas*, tetapi melangkah lebih jauh menempuh arah yang berbeda dari arah yang diambil Habermas.

Sementara Habermas* memerhatikan komunikasi, Honneth berfokus pada pengukuhan klaim identitas yang dibentuk oleh individu dan kolektivitas. Konsisten dengan teori kritis, ia ingin membahas kekerasan yang dilakukan terhadap orang-orang yang mengklaim pengukuhan dan luka-luka dan patologi-patologi yang dihasilkan bagi para pengklaim. Para individu dan kelompok kemudian terlibat dalam perlawanan politis bukan alasannya ialah beberapa prinsip moral abstrak, tetapi alasannya ialah “pengalaman kekerasan pada konsepsi-konsepsi keadilan yang diandaikan secara intuitif (Honneth, 1900/1995:xiv). Yakni, mereka merasa pantas menerima pengakuan. Ketika mereka tidak mendapatkannya, perasaan mereka atas permainan yang adil terganggu, kemudian mereka melawan orang-orang yang dianggap tidak adil kepada mereka. Dan “pada dasarnya kekerasan terhadap klaim individu dan kolektif akan pengukuhan sosial di dalam dunia kehidupanlah yang akan dialami sebagai ketidakadilan moral” (Honneth, 1990/1995:xv). Untuk titik pola moral mereka, para teoritisi kritis, termasuk Honneth harus mencarinya di dalam kehidupan dunia sosial sehari-hari. Dunia sehari-harilah yang menawarkan “tumpuan moral bagi kritik sosial” (Honneth, 1990/1995:xv).

Di jantung karya Honneth ada suatu ide—“perjuangan untuk menerima pengakuan”—yang berasal dari Hegel*. Honneth menemukan ide-ide Hegel* menarik, bukan hanya alasannya ialah fokusnya pada pengenalan tetapi juga alasannya ialah menghubungkan moralitas dengan sentimen-sentimen moral rakyat, dan juga memperlihatkan cara perasaan-perasaan mengenai kurangnya pengukuhan sanggup menjadikan tindakan sosial dan konflik sosial. Orang merasa bahwa mereka sudah seharusnya mendapatkan pengakuan, dan bila pengukuhan itu tidak ada, khususnya jikalau berulang, mereka merasa tidak menerima penghargaan yang layak ia terima.

Secara historis orang sering telah merasa bahwa mereka tidak menerima pengukuhan yang pantas ia terima dan mungkin, bahkan besar kemungkinan, ada krisis pengukuhan yang semakin meningkat di dalam masyarakat kontemporer. Misalnya, sulit menerima pengukuhan bagi karya seseorang. Secara umum, ada kemunduran di dalam kemampuan banyak sekali forum (contohnya, keluarga, kerja) membuat jenis-jenis pengukuhan yang dibutuhkan orang.

Secara lebih spesifik, dan juga mengikuti Hegel, orang dilihat membutuhkan tiga bentuk pengukuhan dari orang lain. Pertama ialah cinta, atau kepedulian terhadap kebutuhan dan emosi seseorang. Orang menerima rasa percaya diri bila mereka mendapatkan pengukuhan tersebut. Kedua ialah penghargaan kepada martabat moral dan aturan seseorang, dan hal itu menghasilkan harga diri. Akhirnya, ada penghargaan untuk prestasi-prestasi sosial seseorang, hal tersebut menghasilkan rasa harga diri (Van den Brink dan Owen, 2007b). Bentuk-bentuk pengukuhan tersebut diperoleh dan dipelihara secara intersubjektif (suatu perspektif yang berasal dari Mead*). Yakni, semoga sanggup bekerjasama dengan mereka dengan cara ini (dan memiliki rasa percaya diri, penghargaan diri, dan rasa harga diri), orang harus mendapatkan pengakuan-pengakuan dari orang lain. Pada akhirnya, “Hubungan-hubungan pengukuhan ialah kondisi yang diharapkan bagi subjektivitas moral dan agensi kita” (Van den Brink dan Owen, 2007b: 4-5). Hanya dengan pengukuhan yang memadailah orang sanggup mewujudkan otonomi mereka sebagai umat manusia.


Sikap tidak menghargai (Honneth, 2000/2007) terjadi dikala orang tidak mendapatkan pengukuhan yang ia rasa pantas didapatkannya, dan sebaliknya hal itu mempengaruhi kemampuannya untuk membentuk identitas yang wajar. Perasaan akan kurangnya penghargaan bukan perasaan yang tidak sanggup dikaji melainkan didasarkan pada suatu standar normatif bahwa orang-orang pantas menerima bentuk-bentuk pengukuhan tertentu; secara paling umum mereka pantas menerima cinta, penghormatan, dan penghargaan. Konflik dan perlawanan kemungkinan besar terjadi dikala mereka tidak menerima pengukuhan yang oleh sistem normatif dikatakan seharusnya mereka dapatkan. Keberadaan standar normatif demikian tidak hanya terletak pada dasar tindakan tersebut, tetapi hal itu mengizinkan orang-orang luar (termasuk para teoritisi kritis*) memakai norma-norma yang sudah mapan untuk mengevaluasi tindakan-tindakan itu, dan klaim-klaim nyata untuk pengukuhan yang mendasari tindakan-tindakan mereka. Yakni, Honneth memberi kita suatu titik archimedean untuk mengevaluasi klaim-klaim pengakuan; pertimbangan kita atas legitimasi klaim-klaim itu tidak bersifat asal-asalan.

Setidaknya ada empat kritik utama atas teori kritik Honneth. Pertama, beberapa kritikus mempertanyakan daerah pengukuhan di jantung suatu teori sosial dan etis; apakah pengukuhan sepenting yang diduga Honneth? Apakah pengukuhan sepenting kerja dan tenaga kerja di dalam teori Marx* atau komunikasi di dalam teori Habermas*? Kedua, ada keragu-raguan perihal jenis teori monistik yang diciptakan oleh Honneth: apakah pengukuhan merupakan duduk kasus dari semuanya? Ketiga, seseorang mempertanyakan apakah ada tiga dasar pengakuan: mengapa tidak lebih atau kurang? Akhirnya, sulit untuk melihat dengan terang cara kerja kekuasaan di dalam teori Honneth.


Download di Sini


Sumber.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel