Uang

John Maynard Keynes (1883-1946), seorang ekonom neoklasik dalam bukunya Treaties on Money (1930) mendefinisikan money [is] that by delivery of which debt-contract and price-contracts are discharged, and in the shape of wich a store of General Purchasing Power is held, yaitu uang yakni alat penyelesaian kontraktual dan sebuah store of value, sebuah wahana purchasing power yang bergerak dalam lintasan waktu. Dengan demikian, uang secara umum dilihat dari fungsinya sanggup didefinisikan sebagai alat tukar (Komaruddin, 1991: 397-398). Uang pun berfungsi sebagai satuan ukuran (standard for valuing things) yang mempunyai fungsi turunan, ibarat sebagai standar perincian utang (standard deferred payments) dan sebagai alat penyimpan kekayaan.

Namun, dalam perkembangannya uang pun merupakan alat untuk menjalankan kekuasaan ekonomi. Karena uang memperlihatkan hak kekuasaan aneh atas barang dan jasa maka pada umumnya insan ingin mempunyai uang.

Uang berarti kekuasaan, pada sebuah masyarakat yang berlandaskan dasar individualistik, uang menjadi alat kekuasaan dalam tangan pemiliknya (Winardi, 1987: 35). Bahkan, jauh sebelumnya seorang begawan sosiolog yang dipengaruhi filsafat historisme Wilhelm Dilthey*, yakni Max Weber* (1864-1920) dalam karyanya General Economic History (Knight, 1961), pernah mengemukakan bahwa “uang yakni ayahnya partikelir”. Uang akan menjadi cikal bakal milik swasta, tentu saja sehabis melewati proses pembentukan harga dan pembentukan kekuasaan.

Dalam keadaan ekstrem, terlihat suasana yang memprihatinkan, “Uang yang semula hanya merupakan alat perubah menjadi tujuan, dari benda yang harus mengabdi sanggup menjelma penguasa” (Winardi, 1987: 42). Itu yakni suatu citra yang seram dari fenomena “pemujaan uang”. Apakah segala hal perihal uang niscaya berdampak negatif? Ternyata tidak selalu begitu alasannya uang pun mempunyai sifat sosial ekonomi. Karena melalui uang yang merupakan bab pokok dari suatu masyarakat, telah berperan dalam kemudian lintas pertukaran dan perdagangan, serta perindustrian. Ia sanggup diberikan cuma-cuma maupun dipinjamkan ke orang lain yang membutuhkan melalui santunan kredit, ia sanggup memungkinkan adanya pembentukan modal yang setiap ketika sanggup dialihkan bentuknya berupa barang-barang.


Download


Sumber
Supardan, Dadang. 2008. Pengantar Ilmu Sosial; Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Bumi Aksara. Jakarta

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel