Nasionalisme

Konsep nasionalisme, secara sederhana mempunyai arti rasa kebangsaan, di mana kepentingan negara dan bangsa menerima perhatian besar dalam kehidupan bernegara. Bahkan, berdasarkan Kenneth Minogue dari London School of Economic and Political Science mengemukakan bahwa nasionalisme pun merupakan keyakinan bahwa pada hakikatnya setiap bangsa mempunyai hak dan kewajiban untuk membentuk dirinya sebagai negara (Minogue, 2000: 695). Ia menambahkan bahwa secara umum, lahirnya nasionalisme muncul dalam suasana kebencian kosmopolitanisme yang mencuatkan emosi-emosi suatu bangsa terhadap bangsa lain yang merongrong sebab memarginalkan kebebasan dan kedaulatannya. Gagasan-gagasan romantik perihal kemanusiaan yang mendalam pada sosiobudayanya yang khas, telah menyebabkan kekaguman nostalgia masa kemudian yang jaya perihal kemajuan-kemajuan ekonomi dan seni budaya (lagu, puisi, cerita, drama, dan kreasi-kreasi lain) yang dipahami sebagai pengejawantahan jiwa nasional telah mendorong bangkitnya nasionalisme.

Begitupun nasionalisme Indonesia, kalau ditarik akar-akarnya secara formal, berawal dari berdirinya organisasi pergerakan nasional secara modern, yakni lahirnya Boedi Oetomo dan Sumpah Pemuda, yang secara teoretis-praktis sanggup dikatakan bahwa pada ketika itu, bangsa (nation) Indonesia yakni suatu imagined community sebagai sebuah komunitas gres yang merindukan masa kemudian seraya merancang masa depan yang penuh harapan. Anderson (1983: 15) menyebut sebuah bangsa atau nation dalam pendekatan antropologis yakni sebuah komunitas yang dibayangkan (an imagined political community) sebab setiap anggota komunitas tersebut bersama-sama tidak mengenal satu sama lainnya secara akrab, termasuk sebuah nation yang paling kecil sekalipun. Hanya dalam pikiran saja mereka hidup dalam kebersamaan.

Nilai-nilai nasionalisme semacam ini penting diajarkan kepada penerima didik, khususnya melalui pelajaran sejarah nasional sebab tanpa pemahaman nilai-nilai tersebut, mana mungkin segenap bangsa Indonesia sanggup mempertahankan persatuan dan kesatuannya. Dengan adanya pembelajaran sejarah dan PKn pun ternyata fenomena-fenomena disintegrasi bangsa dan gerakan-gerakan SARA lainnya, begitu menguat terjadi di Aceh, Kalimantan Barat (Ambon), dan Papua, terutama di Era Reformasi pasca krisis multidimensional ini (Supardan, 2004: vi-vii). Dapat dibayangkan, bagaimana nasib bangsa Indonesia kalau tidak diajarkan pentingnya nasionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Download


Sumber
Supardan, Dadang. 2008. Pengantar Ilmu Sosial; Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Bumi Aksara. Jakarta

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel